Daerah

Terkait Kasus Pasar Danga, Edi Hardum: Polres Nagekeo Tidak Perlu Malu Keluarkan SP3

Oleh : very - Sabtu, 16/12/2023 07:41 WIB


Siprianus Edi Hardum, S.H.,M.H. (Foto: Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID – Kapolres Nagekeo dan jajarannya diminta tidak perlu malu mengeluarkan Surat Penghentikan Penyidikan Perkara (SP3) terhadap tiga orang tersangka yang diduga terlibat kasus korupsi Pasar Danga, Negekeo jika buktinya tidak cukup.

“Kapolres Nagekeo perlu memahani KUHAP bahwa kalau sebuah perkara yang kurang bukti, sekalipun sudah ditetapkan tersangka harus keluarkan SP3. Kalau ini yang dilakukan maka polisinya terutama penyidiknya adalah ksatria. Sikap ksatria merupakan bagian dari pribadi yang professional. Semua aparat penegak hukum harus professional, terutama dalam hal ini adalah polisi,”  kata pengajar Ilmu Hukum Pidana Universitas Tama Jagakarsa, Siprianus Edi Hardum, S.H.,M.H., di Jakarta, Jumat (15/12/2023).

Edi - sapaannya - mengutip, Pasal 109 Ayat (2) KUHAP yang berbunyi,”Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut  ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntu umum, tersangka atau keluarganya”.

Dari bunyi  Pasal 109 Ayat (2) KUHAP itu, tegas Edi, alasan terbitnya SP3 itu ada tiga yaitu  (1) tidak cukup bukti, (2) peristiwa tersebut bukan tindak pidana, dan (3) demi hukum.

Dari bunyi norma tersebut, kata Edi, penyidik mengeluarkan SP3 bukan karena adanya upaya hukum dari tersangka seperti praperadilan. “Praperadilan itu salah satu cara, tetapi kalau penyidik menyadari sendiri berdasarkan gelar perkara intern penyidik bahwa tidak cukup bukti atau dua alasan lainnya di atas (Pasal 109 ayat 2 KUHAP), maka penyidik keluarkan SP3,” kata Sekjen Forum Advokat Manggarai Raya (Famara) Jabodetabek ini melalui siaran pers.

Alumnus Doktor Ilmu Hukum Pidana dari Universitas Trisakti Jakarta ini menambahkan, alasan tidak cukup bukti artinya penyidik tidak memiliki minimal dua alat bukti yang sah dalam menetapkan seseorang dan beberapa orang menjadi tersangka.

Menurutnya, ada beberapa alasan – walau tidak memiliki dua alat bukti yang cukup - seseorang atau beberapa orang ditetapkan menjadi tersangka.

Pertama, kata Edi, bisa penyidik kurang hati-hati. Kekuranghati-hatian penyidik bisa karena perkara yang bersangkutan adalah perkara pesanan atau hanya untuk melampiaskan balas dendam atau ada target pribadi tertentu.

Kedua, bisa juga ketika penyidik menetapkan seseorang atau beberapa orang menjadi tersangka,  penyidik telah memiliki dua alat bukti yang sah. Namun ketika didalami lagi saat penyidikan berlangsung, ternyata alat bukti tersebut kurang yakin atau tidak tepat sebagai dasar ditetapkan menjadi tersangkanya seseorang atau beberapa orang.

“Maka pada tataran inilah penyidik mengeluarkan SP3. Bahkan penyidik meminta maaf kepada seseorang atau beberapa orang yang telah ditetapkan menjadi tersangka serta kepada masyarakat luas karena murni kekeliruan penyidik sendiri,” kata advokat dari kantor Hukum “Edi Hardum and Partners” ini.

Terkait  pengusutan dugaan korupsi pembangunan Pasar Danga, Kabupaten Nagekeo yang belum tuntas, Edi menduga penetapkan tiga orang menjadi lebih kepada alasan sebagaimana diatur dalam Pasal 109 Ayat (2) KUHAP terutama pada poin kurang cukup bukti.

“Kenapa? Karena penetapan tersangka pada Maret 2023 namun sampai saat ini berkasnya belum P-21. Seharusnya kalau benar-benar kasus tersebut adalah peristiwa pidana dan bukti cukup, maka sekarang tiga orang tersebut sudah diputus bersalah oleh pengadilan,” kata Edi.

 

In Criminalibus, Probationes Bedent Esse Luce Clariores

Terkait lamanya penyidikan kasus dan terkatung-katungnya nasib tiga orang yang ditetapkan menjadi tersangka tersebut, Edi kembali meminta Kapolri agar memindahkan Kapolres Nagekeo, AKBP Yudha Pranata.

“Saya mengusulkan beliau dipindah ke Papua atau ke Pulau lain bukan berarti di Papua atau Pulau lain merupakan tempat yang rendah atau terbuang, tetapi lebih kepada agar Kapolres Nagekeo mendapat suasana yang baru. Bisa juga pindah ke Sumba, ke Timor atau Jawa atau ke Sumatera seperti Aceh atau Sumatera Barat,” kata Edi.

Menurut Edi, sesuai dengan KUHAP, polisi menerima laporan masyarakat untuk dimulainya penyelidikan minimal dua alat bukti. Dugaan dua alat bukti didalami dalam proses penyelidikan melalui pemanggilan para saksi termasuk terlapor. Setelah semua saksi dan terlapor atau para terlapor dimintai keterangan, dilakukan gelar perkara untuk menentukan ada peristiwa pidana atau tidak. Kalau ditemukan peristiwa pidananya sesuai dugaan awal dengan dua alat bukti, maka dinaikan statusnya ke tingkat penyidikan. Kemudian di tingkat penyidikan kembali para saksi dan para terlapor diperiksa untuk ditentukan siapa tersangkanya.

Pada tingkat penyidikan ini kembali penyidik mendalami dan berkoordinasi dengan pihak kejaksaan. Pihak Kejaksaan pasti menolak berkas dari penyidik Polri kalau buktinya tidak lengkap atau kurang bukti.

“Kalau bukti tidak cukup, maka penyidik harus segera menghentikan penyidikan kasus yang dimaksud,” tegas Edi.  

Edi mengingatkan Kapolres Nagekeo dengan ungkapan yang menyatakan bahwa “lebih baik membebaskan 1.000 orang yang bersalah daripada menahanan satu orang yang tidak bersalah”.

“Ini artinya aparat penegak hukum dalam hal ini Polri memproses siapa pun secara hukum apalagi menetapkannya menjadi tersangka harus berdasarkan bukti yang cukup,”  kata dia.

Edi mengatakan, ada sebuah prinsip dalam hukum pidana yaitu bukti harus lebih terang dari cahaya/seterang cahaya (In criminalibus, probationes bedent esse luce clariores).

Edi juga membaca di media massa bahwa Kapolres Nagakeo membentuk Group WhatsAPP bersama KH Destroyer. “Berdasarkan yang baca di media massa bahwa anggota grup ini suka menteror siapa pun terutama wartawan mengkritisi kebijakan Kapolres Nagekeo. Kalau ini benar, saya menyayangkan. Kapolda NTT mohon pantau, dan segera menindak Kapolres kalau memang benar,” kata Alumnus S2 Ilmu Hukum UGM, Yogyakarta ini.

Edi  mengatakan, dirinya tidak sedang membenci Kapolres Nagekeo tetapi lebih kepada memberikan masukan hukum kepada Polri terutama Polres Nagekeo dan pencerahkan hukum kepada masyarakat.

Edi menduga, Kapolres Nagekeo dan jajarannya merasa harga dirinya terganggu (gengsi) mengeluarkan SP3 atas penetapan tersangka atas tiga orang dalam kasus tersebut di atas.

“Gengsi ini saya pikir terjadi juga di beberapa Polsek dan Polres di Indonesia. Namun banyak Polres dan Polsek yang ksatria juga keluarkan SP3 tanpa tekanan dari siapa pun tapi atas kesadaran penyidik sendiri,” kata dia.

Edi meminta siapa pun advokat di Indonesia terutama di Nagekeo tidak boleh menyesatkan masyarakat bahkan anggota Polri dengan memberikan masukan hukum yang keliru.  “Anggota Polri yang keliru harus diingatkan atau dikritisi demi Indonesia sebagai negara hukum,” kata Edi. ***

Artikel Lainnya