Opini

Politik Kaum Agamawan

Oleh : very - Minggu, 14/01/2024 20:56 WIB

Abdul Mukti Ro’uf adalah Pengajar Filsafat dan Pemikiran Islam pada Program Pascasarjana IAIN Pontianak. (Foto: Ist)

Oleh: Abdul Mukti Ro’uf*)

Jakarta, INDONEWS.ID – Di balik pasangan capres-wcawapres dalam Pilpres 2024 terdapat pendukung yang datang dari kalangan tokoh agama. Secara umum, keberadaannya tidak lain sebagai penguat moral karena alasan eksistensi agamawan sebagai penjaga moral dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia.

Secara historis, kaum agamawan, selain kaum nasionalis, adalah pemeran utama dalam perjalanan dan percaturan politik Indonesia bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka. Sehingga, kesejarahan politik  Indonesia tidak bisa dilepaskan dari peran dan fungsi kaum agamawan.

Maka tidak heran, dalam safari pembentukan koalisi prtai-partai untuk pilpres 2024, kunjungan ke rumah-rumah kyai dan lembaga pesantren menjadi pemandangan lima tahunan.

Selain karena alasan  legitimasi keagamaan, secara sosiologis, kyai merupakan katalisator bagi banyak kepentingan yang dalam hal ini adalah kepentingan “elektoral politik”. Diharapkan, dengan bergabungnya kyai tertentu, paslon akan mendapatkan dua manfaat sekaligus: manfaat legitimasi dan manfaat elektoral.

 

Dunia Politik Kyai

Dalam urusannya dengan dunia politik, setidaknya ada dua pandangan utama sebagai rujukan padangan dan prilaku masyarakat atasnya.

Pertama, pandangan yang mengatakan bahwa kyai seharusnya cukup berperan sebagai pengayom umat terutama dalam kehidupan beragama, sehingga akan lebih baik jika kyai menghindarkan diri dari kegiatan politik praktis, sehingga tidak terjebak pada peran ganda.

Kedua, bahwa tidak ada alasan kyai untuk meninggalkan politik praktis sebab berpolitik merupakan bagian dari kehidupan agama itu sendiri. Karena alasan dalil keagamaan baik yang bersifat normatif maupun hsitoris, pandangan pertama lebih tampak dominan dibandingkan pandangan kedua. Namun demikian, pandangan pertama yang dianut oleh mayoritas bukan lantas sepi dan terhindar dari problematikanya sendiri terutama dalam menjaga keteguhan atas nilai-nilai moral yang menjadi misi utamanya. Pendeknya, misi moral para kyai yang terlibat dalam politik praktis seringkali terjatuh pada pelukan pragamtisme politik yang seringkali terlepas dari urusan keumatan.

Fungsi kesejarahan kyai dalam konstruksi dan perubahan sosial politik di Indonesia telah banyak diungkap oleh para peneliti kelas dunia yang menempatkan kyai sebagai agen perubahan sosial (Hiroko Horikosi, 1978) dan sebagai makelar budaya/cultural brokers (Geertz,1960).

Dari banyak teori tentang posisi dan peran kyai dan relasinya dengan kehidupan sosial masyarakat Indonesia, benang merah yang dapat ditarik adalah bahwa fatwa dan nasehat kyai senantiasa dijadikan sebagai preferensi sosial-politik yang dipatuhi umatnya. Bahkan dengan otoritas kuasa dan moral yang dimilikinya, kyai mampu menggerakkan masyarakat dalam menentukan pilihan politiknya.

 

Politik Kyai di Pilpres 2024

Istilah patron-client untuk menggambarkan hubungan kyai dan umatnya sebagaimana yang dikenalkan oleh sosiolog Marx Weber (1968) akan menjadi daya tarik elektoral sendiri dalam ajang Pilpres Februari mendatang. Dalam konteks ini kyai adalah patron bagi umatnya (client) dalam sebuah relasi yang paternalistik.

Para kyai yang berada di belakang tiga pasang capres-cawapres memiliki pengikutnya sendiri yang dalam politik elektoral akan dihitung sebagai suara. Para kyai dan santrinya, oleh bakal capres akan diposisikan sebagai pemilik dan pemegang suara hingga mewujud dalam keputusan pilihan elektoral di bilik-bilik suara.

Sebagai langkah pragamatisme politik, relasi capres-kyai tidak bisa dihindari dari transaksi politik yang cenderung praktis. Sebuat saja, “siapa dapat apa dan berapa”. Transaksi model ini harus dianggap sebagai “transaksi duniawi” yang bisa diukur dari parameter dan logika kekuasaan. Fenomena ini sekaligus menjadi konsekuensi logis sekaligus anomali dari pandangan kebersatuan agama (kyai) dan politik.

Salahkah? Jawabannya bukan salah atau benar. Tetapi sejauh bagaimana kyai menempatkan kesejatian perannya dalam politik kekuasaan: apakah untuk tujuan kekuasaan itu sendiri ataukah hanya sebagai alat/wasilah untuk tujuan (ghayah) yang lebih besar.

Pilihan pertama akan menghilangkan peran kesejarahan adiluhung dari politik kyai. Pilihan kedua akan memelihara praktek kesejarahan kyai sepanjang bangsa ini berdiri: menjaga empat pilar berbngsa dan bernegara: NKRI, Bhineka Tunggal Ika, UUD 1945, dan Pancasila.

Feneomena bagi-bagi uang oleh salah satu kyai pendukung paslon tertentu di tahun politik akan memaksa pandangan tentang kemerosotan peran moral kyai dalam politik. Tindakan bagi-bagi uang yang memviral itu tidak lagi dipandang sebagai tindakan kedermawanan seseorang. Melainkan sebagai tindakan politik dalam framing kekuasaan politik.

Selain itu, dalam pilpres 2024, ada ujian berat bagi para kyai terutama dalam masalah isu dan fakta demoralisasi politik yang telah terjadi sejak di Mahkamah Konstitusi. Keberadaan para kyai yang berada di barisan pendukung “pengabai” masalah etika menjadi rancu sebagai kekuatan penjaga moral.

Jika ahli hukum berpendapat sah dan legal atas lolosnya Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres, maka bagaimana dengan pendapat para penjaga moral dengan fakta pelanggaran etik? Kan, tidak mungkin dengan menjawab: “etis ndasmu”! lantas, bagaimana dengan “kewibawaan moral agama” yang melekat pada diri seorang kyai.

Ya, sekali lagi, dilema ini menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari risiko dunia kyai yang memasuki arena politik kekuasaan. Biasanya akan ada dalil yang bisa meloloskan berbagai ujian dan aneka kekhawatiran—untuk tidak mengatakan tuduhan—bagi mereka yang memutuskan untuk berada dalam arena politik. Jika “dunia dugem” yang gelap saja bisa diterangi, apalagi “dunia politik” yang sudah terang. Benar tidak Gus? Wallahu a’lam bi Shawab.

*) Pengajar Filsafat dan Pemikiran Islam di Program Pascasarjana IAIN Pontianak

Artikel Terkait