Bisnis

Masalah APBN, Utang dan Tax Ratio Rendah: Pekerjaan Rumah Bagi Presiden Terpilih

Oleh : very - Rabu, 07/02/2024 11:59 WIB


Diskusi “Masalah APBN, Utang dan Tax Ratio Rendah: PR Presiden yang Akan Datang”. Diskusi yang diselenggarakan oleh Universitas Paramadina ini digelar secara daring pada Senin, (5/2/2024). (Foto: hasil tangkapan layar)

 

Jakarta, INDONEWS.ID – Rasio perpajakan (Tax ratio) tahun 2022 tercatat 10,4% (Audited). Pada 2023 turun menjadi 10,2% (unaudited). Pada tahun 2024 Sri Mulyani memperikirakan akan menjadi 9,53%, tahun 2025 sebesar 10,12%, 2026 sekitar 10,31% dan 2027 menjadi 10,41%.

“Dari data-data di atas bisa dipertanyakan mengapa tax ratio Indonesia tidak bisa mencapai angka maksimal seperti periode pemerintahan sebelumnya,” ujar Dirjen Pajak periode  2001 – 2006, Dr. Hadi Poernomo, dalam diskusi “Masalah APBN, Utang dan Tax Ratio Rendah: PR Presiden yang Akan Datang”. Diskusi yang diselenggarakan oleh Universitas Paramadina ini digelar secara daring pada Senin, (5/2/2024).

Hadi mengutip Bung Karno yang pernah menyebutkan dalam satu peraturan pengganti UU No 2/65 khususnya pasal 12 ayat 2 yang menyatakan bahwa, pajak atau penerimaan negara itu sukses kalau rahasia bagi aparatur pajak ditiadakan.

Ia juga mengingatkan bahwa pada 01 Januari 1984 Presiden Soeharto mengubah Undang-undang Perpajakan yang sebelumnya Official Assesment yaitu pemerintah menentukan jumlah pajak dari wajib pajak, menjadi Self Assessment.

“Jadi wajib pajak diberi kesempatan menghitung sendiri pajaknya, membayar sendiri, dan melapor sendiri pajaknya,” paparnya.

Saat ini, yang dihitung adalah SPT dengan petugas pajak tidak mempunyai monitoring untuk menguji benarkah jumlah, item, sumber-sumber keuangan di SPT. “Dari situlah timbul terus persoalan seolah-olah terjadi macam-macam. Padahal itulah kesempatan yang diberi UU, untuk tidak ditutup,” ujarnya.

Hadi juga menjelaskan bahwa dalam UU No 9/2017 menyatakan rahasia perbankan tidak berlaku bagi perpajakan. Demikian pula rahasia bagi penanaman modal dan bank syariah, juga tidak berlaku dalam hal perpajakan.

“Itulah kekuatan dari Undang-undang Perpajakan sekarang. Kalau saja semua pihak melaksanakan hal-hal itu sesuai dengan Undang-undang, maka seharusnya tax ratio Indonesia akan tinggi sekali,” jelasnya.

Dr. Handi Risza, Wakil Rektor Universitas Paramadina melihat banyak negara yang mengalami kegagalan dalam mengelola utangnya seperti Yunani, Argentina, Venezuela, Ekuador dan Sri Lanka.

Padahal beberapa negara di Amerika Latin seperti Venezuela mempunyai sumberdaya minyak bumi yang memadai, tetapi hal tersebut tidak berdampak besar sehingga tetap memiliki utang.

Handi mengambil contoh kasus lain yang tak kalah mengkhawatirkan, “Whoosh atau Kereta Cepat Jakarta - Bandung semula dianggarkan 7 miliar USD kemudian membengkak signifikan menjadi 11 miliar USD. Jika tidak hati-hati dan segera melunasi utang, maka khawatir kasus yang terjadi pada Pelabuhan Hambantota di Srilanka akan terjadi juga di Indonesia,” ujarnya.

Menurutnya kunci utama pengelolaan utang patut dicontoh dari Jepang, Korea dan Cina. Pasalnya di negara tersebut dilakukan penegakan hukum yang kuat, budaya malu untuk melakukan penyimpangan keuangan negara dan pengendalian fiskal yang ketat terhadap utang.

“Selama tujuh tahun terakhir, terhitung sejak 2017 utang Indonesia memiliki kecenderungan naik secara signifikan. Hingga puncaknya, kenaikan tersebut semakin terlihat dengan jelas pada tahun 2020-2023,” tambahnya.

Handi mengingatkan bahwa Presiden SBY, mewariskan utang negara kepada Jokowi sebesar Rp2.608,7 triliun. Namun kurang dari 10  bulan sebelum masa akhir pemerintahan Presiden Jokowi, posisi utang Indonesia telah mencapai angka Rp8,041 triliun atau naik 4 kali lipat dalam 10 tahun terakhir.

Beban utang yang ditanggung oleh APBN secara total yang mencakup pokok dan bunga sekitar Rp 500 triliun tiap tahun, katanya, sangat membebani APBN. Sehingga wajar saja balance budget negara tidak kunjung positif, karena penarikan utang baru sebagian besar digunakan untuk menutupi pembiayaan-pembiayaan utang yang sedang berjalan.

Sementara itu, Eisha M Rachbini, Ketua Center Ekonomi Digital dan UKM INDEF  melihat perkembangan APBN 2023 sebagai bentuk Realisasi Penerimaan Negara yakni Pajak Penerimaan Rp. 1.869 T (tumbuh 8% yoy). PPh Non migas sebesar Rp 993 T (53,1% dari total penerimaan pajak), tumbuh 7,9%. Komponen PPh Badan (tumbuh 20%), PPh 21 (tumbuh 15.5%) PPh Final (tumbuh 25%). PPN/PPnBM sebesar Rp 764 T (40,89% dari total penerimaan pajak, tumbuh 11% yoy), PPN DN (tumbuh 22%) dan PPN Impor tumbuh 5,5 %.

“Penerimaan Bea Cukai menurun yakni Penerimaan Cukai (-2,23%) seputar masalah rokok ilegal. Bea Masuk (-0,47%) seputar penurunan nilai impor. Bea Keluar (-66,03%) seputar  harga sawit rendah, tembaga dan bauksit juga rendah,” kata Eisha.

Dia mengatakan, realisasi penerimaan negara lain seputar PNBP meningkat karena setoran dividen BUMN seputar PNBP Kekayaan Negara dipisahkan. Penerimaan SDA Non-Migas 14,96% seputar kenaikan tarif royalti batubara (walaupun harga komoditas turun). PNBP lainnya: PNBP K/L. PNBP turun: SDA Migas seputar harga minyak ICP menurun (- 21% pendapatan SDA). Penerimaan BLU (- 0,52%) seputar harga CPO turun BPDPKS pendapatannya turun. PNBP lainnya: Penjualan hasil tambang – 8,52% seputar pendapatan batubara menurun.

“Tax Ratio mengalami tren menurun sejak tahun 1980. Tax ratio pada tahun 2022 sebesar 10,4%. Tax Ratio 2023 mengalami penurunan menjadi 10,21%” tambah Eisha.

Eisha juga memberikan pembanding lainnya. “Tax Ratio Indonesia (2021) berada di bawah negara Asia Pacific (20%) dan China (21%). Dibandingkan negara ASEAN, Vietnam, Philippines, Cambodia berkisar di level 18%, dan Thailand 16%. Sedangkan Jepang memiliki tax ratio 33% dan OECD 34%,” pungkasnya. ***

Artikel Lainnya