Opini

Menguatnya Kartel Oligarki dalam Pemilu 2024

Oleh : Rikard Djegadut - Sabtu, 24/02/2024 23:52 WIB


Oleh Hasnu Ibrahim (Penulis Buku Undang-Undang Cipta Kerja Di Indonesia: Kontroversi, Oligarki dan Tantangan Demokrasi)

Jakarta, INDONEWS.ID - Mengkaji Demokrasi Indonesia kontemporer, ada kontes yang amat ketat antar kekuatan ekonomi (oligark) dan kekuatan demokrasi (rakyat).

Kartel oligarki pada dasarnya adalah suatu konsep yang dapat dipakai dalam menjelaskan dinamika ekomomi politik di Indonesia pasca orde baru.

Kartel oligarki (Boni Hargens, 2018) mengatakan, sebagai strategi ekonomi dan politik oleh segelintir elit politik dan elit bisnis untuk mengkooptasi negara demi politik bagi-bagi pasca pemilu.

Lebih lanjut, Boni Hargens, menggambarkan, kartel oligarkis ini adalah proses perkawinan silang antar elit politik (parpol) dan elit ekonomi (bisnis/pengusaha) untuk memonopoli demokrasi ekonomi dan politik pertahanan kekayaan serta kekuasaan sebagai wujud konkret interpenetrasi kolutif antar Negara dan Partai.

Untuk memahami kartel oligarki dalam kajian ekonomi politik di Indonesia, maka kita akan memposisikan omnibus law UU Cipta Kerja sebagai basis utama kajian dalam memotret ke mana arah gerak kapal besar bernama "INDONESIA" akan bergerak pasca Pemilu 2024 ini.

Mengapa Omnibus Law Cipta Kerja cukup menarik dikaji dan bagaimana korelasinnya dengan Pemilu 2024? Kalau kita memutar ulang, di mana sejak proses perumusan, pembahasan, dan pengesahaan Omnibus Law Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja tentu mendapatkan banyak sorotan dan protes oleh publik.

Kalau rumusan sebetulnya, konsep Omnibus Law adalah sesuatu yang baru dalam konstruksi hukum ketatanegaraan Indonesia. Jadi menggabungkannya saja, itu sesuatu hal yang harus dikonsultasikan dengan publik.

Pun demikian, ada masalah di soal materi gabungan dari 70 materi Undang-undang lintas sektoral tersebut. Terkait dengan materinya, energinya untuk berkonsultasi, itu satu hal yang perlu ditanya.

Bahkan, proses perumusan Omnibus Law itu bagi banyak pihak terbilang kacau. Artinya, kebijakan tersebut tidak tertib metodologi, tidak tertib hukum, tidak tertib legislasi.

Akibat ketidaktertiban semua itu yang kelihatan adalah pemaksaan kehendak yang secara gamblang oleh elit politik dan elit bisnis di mana terdapat kepentingan yang akan di untungkan dari Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja ini.

Kendati demikian, UU ini juga terdapat kecacatan baik formil maupun materil. Bahkan, secara telanjang di mana aspek formal dan formilnya "sangat kacau".

Hal tersebut terkonfirmasi melalui keputusan Mahkamah Konstitusi (MK). Sejumlah kecacatan formil dan materil; pertama, Ide Omnibus Law tidak pernah didiskusikan. Jadi yang membuat rumusan Omnibus Law tidak pernah dibicarakan. Kedua, naskah akademiknya tidak pernah dimunculkan. Padahal, logika ini dibutuhkan publik karena sangat penting. Ketiga, materi-materi yang digabungkan yaitu soal sektor-sektor itu, kenapa tidak soal sektor kemiskinan, masalah-masalah sosial, kok masalah investasi dan bisnis yang digabung. Keempat, soal perumusan masalah. Materi-materi itu mempermudah izin investasi. Jadi ada kecacatan betul di sana. Omnibus Law itu sebetulnya hanya untuk memuluskan kekuasaan pusat. Undang-undang ini sebetulnya fasilitasi materi atau substansi kekuasaan yang sentralistik seperti orde baru (Orba).

Padahal, kita mengetahui secara seksama, kepastian demokrasi berjalan harus menyertai kepastian tatanan hukum. Sialnya, selama perumusan dan pembahasan Omnibus Law Cipta Kerja terjadi pengabaian norma peraturan Perundang-undangan.

Makin hari rakyat dipertontonkan dengan sirkus-sirkus elit politik yang salah satunya muncul lewat pembahasan dan pengesahan Omnibus Law Undang-undang Cipta Kerja. Jadi omong kosong jika rezim ini dinilai sangat demokratis, karena makin hari menimbulkan ketidakdemokratisan.

Seperti diketahui, Omnibus Law Ciptaker terdapat 11 klaster. Sejumlah klaster tersebut adalah agenda untuk menggabungkan puluhan Undang-undang untuk kemudahan bisnis. Namanya saja Cipta Kerja, tapi Cipta Kerja bagi kalangan pembisnis.

Hal tersebut paradoks, kalau dibilang bahwa ada cipta kerja untuk kalangan ke bawah itu sebagai dampak saja sebagai bahasa alasan yang dipakai seolah-olah menciptakan lapangan pekerjaan buat kelas menengah ke bawah tapi sebetulnya mengambil keuntungan dari semua ini adalah kelompok pembisnis, investor dan industri besar.

Anomali dalam klaster tersebut, masyarakat tidak dilibatkan dalam membahas. Pertanyaan reflektifnya adalah sejauh mana peran masyarakat sipil dan hak-hak sosial diakomodir dalam klaster dimaksud? Kapasitas warga sipil dalam ruang-ruang industri dan bisnis ini yang difasilitasi oleh Omnibus Law tersebut dengan adanya Undang-undang Cipta Kerja menjadi sangat kecil. Misalkan, kita mengkroscek Undang-undang ketenagakerjaan para pekerja (karyawan) tidak boleh protes. Kalau protes sedikit, langsung dipecat atau Pemberhentian Hubungan Kerja (PHK). Kemudian, pengambil-alihan ruang-ruang terbuka hijau masyarakat adat, ancaman pidana terhadap mereka, mempersulit ruang partisipasi di daerah karena semua akan di bawah ke pusat, pemerintah daerah tidak mempunyai peran. Itu semua menjadi konsen masyarakat sipil akibat kerusakan tatanan dengan adanya Omnibus Law yang merusak tatanan demokrasi.

Di lain aspek, Omnibus Law Cipta Kerja semacam memberikan legitimasi kepada korporasi dengan menggunakan instrument kekerasan (represif) dalam mengesekusi pembangunan. Tanpa adanya Omnibus Law sudah sering, apalagi dengan adanya Omnibus Law. Makin legitimate seolah-olah makin kuat begitu pihak negara dan korporasi memainkan instrument represinya terhadap masyarakat sipil. Karena kepentingan pemerintah dan industri makin terfasilitasi dengan adanya omnibus law ini. Kemudian dampaknya akan banyak serangan, pemenjaraan, penistaan terhadap masyarakat sipil.

Padahal, partisipasi masyarakat sipil sudah cukup baik. Selama pembahasan berlangsung, publik membangun kapasitasnya sendiri. Beda cerita dengan kelompok bisnis, Mereka difasilitasi oleh negara. Sebagai bukti, masuknya Mereka ke tim perumusnya Airlangga Hartato Menko Perekonomian itu seolah-olah mereka masyarakat sipil, padahal mereka masyarakat bisnis. Kalau masyarakat sipil justru mereka membangun kapasitasnya sendiri, membangun inisiatif, sudah optimal dan bagus dengan berbagai cara tidak hanya demonstrasi tapi membuat kajian-kajian, kelompok akademiknya juga muncul.

Demokrasi substansial mengarusutamakan adannya partisipasi sebagai roh utama demokrasi. Celakanya, Demokrasi Indonesia hari ini adanya di warga atau masyarakat sipil bukan di pemerintah dan kelompok bisnis.

Sejak proses awal pembahasan sampai dengan proses akhir berupa pengesahan Omnibus Law Ciptakerja terdapat sejumlah penolakan seperti aksi massa dari masyarakat sipil, bahkan, sejumlah masyarakat sipil melakukan judical review (JR) ke Mahkamah Agung.

Penolakan Masyarakat sipil pada Omnibus Law Cipta Kerja, sebetulnya karena memunculkan ide, pencantuman tema-temanya, pembahasan materinya, sampai soal pengesahan tidak tertib sesuai Undang-undang PPP tentang tata cara pembuatan Undang-undang.

Selain itu, materinya sendiri bahayakan sejumlah hal lain yang dianggap penting. Masalah manusia ini kan bukan saja masalah bisnis dan industri ada soal-soal lain, itu yang justru Undang-undang ini seolah-olah hanya berpihak pada sektor bisnis dan industry. Di mana sektor bisnis dan industri itu hanya dikuasai oleh sejumlah elit politik lewat bisnis tertentu.

Sejumlah fakta politik dan fakta hukum mengendus adannya operasi kartel oligarki dalam pembahasan Omnibus Law Ciptakerja. Terkonfirmasi semisal Tim ahli Airlangga Hartanto Menko Perekonomian yang ditunjuk sebagai leading sector pembahasan Undang-undang ini di dalamnya adalah kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan dengan bisnis dan industri. Di sini terlihat institusi oligarki untuk kepentingan pembahasan omnibus law ini.

Lebih jauh lagi, kartel oligarki terhubung dengan aktor-aktor penting di lingkaran pembahasan Omnibus Law UU Ciptakerja 2020.

Untuk membuktikannya, soal tim ahli atau perumus (satuan tugas), level narasi muncul narasi-narasi dari pemerintah yang berpihak pada kepentingan-kepentingan bisnis, level aksi ada represi terhadap kelompok masyarakat yang harusnya didengar tapi justru malah direpresi, banyak penyiksaan dan penangkapan.

Jadi mulai dari level institusi, level narasi dan level aksi, sekarang di level uang atau kelopok finansial kalau kita ambil remah-remah dari studi yang ada kelompok-kelompok bisnis ini kan terfasilitasi dapat bantuan berupa APBN maupun dari kebijakan untuk kepentingan industrinya, di untungkan dengan disahkannya Omnibus Law Cipta Kerja ini.

Ada sejumlah sektor yang membuktikan kartel oligarki ini terhubung dengan aktor-aktor penting dalam pembahasan Omnibus Law Undang-undang Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Pemangku kebijakan-kebijakan itu adalah pelaku-pelaku industri. Setengah dari kabinet ini adalah pelaku bisnis yang diuntungkan melalui Omnibus Law, makanya mereka berpihak terhadap Undang-undang tersebut.

Di lain aspek, publik menemukan adannya indikasi konflik kepentingan dan keuntungan kartel oligarki pada pembahasan Omnibus Law Ciptakerja 2020 melalui pasal-pasal tertentu.

Sebagai contoh sektor perizinan. Sektor ini adanya disekitar istana, dengan adanya Ommnibus Law ini simbolisasinya lingkaran istana. Nah, setengah kabinet tadi itu kan sekitar istana, setengah orang di kabinet itu kan pelaku bisnis, itu memudahkan mereka dalam hal-hal perizinan pertambangan, sawit, batubara, nah itu menjadi bisnis terbaik bagi mereka akhirnya semua orang yang mempunyai bisnis-bisnis terkait itu di level menengah ke bawah mereka harus mengempal ke kelompok-kelompok besar tadi itu. Kelompok besar ini menjadi kartel, karena mereka punya kelebihan proses kebijakan di level istana.

Fakta menarik, publik dapat menelusuri dari komposisi Satgas (Satuan Tugas) dan Panja (Panitia Kerja) Omnibus Law Cipta Kerja.

Seperti disebutkan di atas, orang-orang yang ada di tim Airlangga Menko Perekonomian itu merepresentasinan satgas.

Kemudian, eks Ketua Kadin Arsyad Rasyd, merupakan pemilik usaha atau industry multi sektor. Mereka kan diuntungkan dengan surat keterangan ketenagakerjaan sektor perizinan. Jadi ini bukan lagi membuktikan kartel oligarki terhubung, mereka sudah di dalam situ. Mereka sudah sampai menunggangi. Ini bukan pemerintah menunggangi oligark, tapi oligark (kelompok bisnis) yang menunggangi pemerintah.

Kalau panja, adanya di DPR. DPR itu orang-orang partai, orang-orang partai itu uangnya dari kelompok bisnis (oligark) juga makanya orang ramai-ramai masuk ke koalisi penguasa, tujuannya begitu. DPR (parpol) harus gabung (koalisi) biar anda dapat porsi, maksudnya begitu. Komposisi DPR RI mencapai 200 lebih pembisnis, tapi secara keseluruhan budget kegiatan politik mereka dari pembisnis. Karena semua kegiatan bisnis yang berelasi dengan APBN dan berelasi dengan regulasi itu kan urusannya di DPR budgeting sampai dengan pengawasan itu, fungsi legislasikan adanya di DPR.

Parahnya, partisipasi masyarakat sipil diabaikan dalam pembahasan Omnibus Law Ciptakerja. Proses pengabaian tersebut dapat dinilai melanggar nilai atau hak kewarganegaraan seperti hak berdemokrasi publik.

Partisipasi masyarakat sipil diabaikan karena materinya masyarakat sipil jadi mengganggu rencana bagi-bagi ruang perampokan dengan bungkusan sektor bisnis dan industry.

Kenapa mengganggu aktor bisnis (oligark) dan pemerintah (negara), karena masyarakat sipil datang dengan bicara soal perlindungan masyarakat adat, tenaga kerja, partisipasi daerah, itu kan justru yang di kampanyekan oleh para pendukung omnibus bahwa daerah dan hal-hal sosial ini justru menghambat pertumbuhan ekonomi dan bisnis.

Selanjutnya, mereka sudah mengerti menghantam dan menghalaui masyarakat sipil. Sudah kebaca masyarakat sipil ini. Kalau proses pengabain melanggar tata tertib legislasi, melanggar hak-hak partisipasi warga, itu sudah di depan mata.

Dampak dominasi kartel oligarki dalam Omnibus Law Ciptakerja beririsan langsung terhadap konsolidasi demokrasi di Indonesia. Mengapa menjadi ancaman bagi demokrasi? Karena dominasi kartel oligarki makin memperparah indeks demokrasi Indonesia.

Demokrasi Indonesia memburuk dua tahun masa Jokowi. Kenapa memburuk? Karena adanya praktek represi, adanya praktek tidak partisipatif, terhadap masyarakat sipil atau pun pada warga. Mengapa itu semua diperlukan, Jokowi itu tidak mempunya konsep atau tidak ada gagasan bagaimana bangsa ini harus diurus dan bagaimana bangsa ini di masa depan. Akhirnya, mengapa Jokowi dijaga dua periode bahkan ada isu sampai 3 periode? Karena secara tidak tertulis itu “oligark itu bilang begini dengan Jokowi kita memang jadi sikut-sikutan dengan oligark yang lain tetapi kita jadi lebih hidup di zaman Jokowi, regulasi kita yang tentukan, permainan kita yang tentutukan, tinggal soal berbagi saja para oligark”.

Dengan situasi itu, kekuasaan akhirnya tidak bisa memberikan ruang partisipasi, tidak bisa memberikan hak untuk warga karena kekuasaan lebih sibuk disandera dan akhirnya memilih menjadi bagian dari oligark. Itu otomatis di mana-mana yang oligark nya tinggi maka disaat bersamaan negara akan menjadi lemah dan warga akan menjadi lemah, jadi otomatis demokrasi pasti menjadi hancur.

Oligark itu tetap ada mau di negara yang demokratis seperti apapun, tetapi negara yang menentukan, jadi bukan ekonomi pasar yang menentukan. Idealnya, negara harus menganut system ekonomika artinya negara yang lebih mendominasi dalam mengurusi ekonomi pasar, agar negara mendapat keuntungan dari situ. Negara-negara yang menganut negara kesejahteraan seperti Norwegia, Swedia, itu mereka menganut negara kesejahteraan. Konsep kesejahteraan itu artinya negara yang lebih dominan, urusan ada oligark iya ada. Tapi oligark tunduk terhadap negara.

Mengapa Satgas dan Panja Omnibus Law Cipta Kerja harus dipersoalkan publik ?Komposisi Satgas dan Panja itu sangat dominan pro terhadap Omnibus Law. Kemudian, relasinya dengan Menteri Perekonomian Airlangga Hartanto sebagai politisi parpol Golkar yang berlatar belakang pembisnis.

Komunikasinya tidak terjadi, karena mekanisme-mekanisme Omnibus Law semua mereka saja. Itu yang harus ditolak atau yang dipermasalahkan.

Publik tentu memiliki rasa khawatir yang amat serius terhadap UU Cipta Kerja. Mengapa? Karena Omnibus Law Cipta Kerja bukan lagi didominasi oleh kelompok oligarki. Tapi Omnibus Law diciptakan untuk para oligark. Apa yang menjadi ke khawatiran, karena demokrasi membatasi agar pengusaha dan pembisnis itu tidak boleh mendominasi kekuasaan politik. Kekuasaan itu harus dijalankan oleh orang-orang yang independen. Kalau tidak, maka kekuasaan dijalankan oleh orang pembisnis sebut saja "Bisnis Covid" di mana yang dapat untung Menteri Luhut, Menteri Airlangga, dan Menreri Erick.

Di mana orang-orang yang ada dalam kekuasaan yang tahu informasi. Mereka yang bikin kebijakan dan mereka yang mengambil proyek tersebut, nah itu yang tidak boleh.

Kelompok oligarki dalam pembahasan Omnibus Law Cipta Kerja banyak sekali. Oligark di sektor sawit, oligarki sektor tambang, oligarki sektor migas, oligarki sektor otomotif, itu ada semua di mana Mereka yang paling dominan di sektor-sektor tersebut. Karena mereka pengusaha uang yang besar.

Sejatinya, Negara yang menganut sistem demokrasi, maka kekuatan partisipasi menjadi prasyarat mutlaknya. Artinya, ada keterlibatan publik pada level pembuatan suatu kebijakan. Dalam omnibus law cipta kerja, publik diabaikan.

Maka dari itu, UU tersebut tidak mendapatkan kepercayaan publik. Hanya menciptakan konflik. Karena sudah tidak percaya masyarakat, maka masyarakat tidak akan mau memahami. Masyarakat hanya bertahan, komprominya, kompromi negative.

Jadi, selama belum dapat celah untuk melawan, masyarakat hanya berusaha mengikuti alur supaya mereka tidak tersisihkan. Tetapi, suatu saat nanti akan menciptakan kemiskinan dan ketimpangan yang sangat parah. Dan itulah yang akan meledak, dia akan menjadi biang kerok dari kesenjangan yang semakin menyusahkan. Nah itu lah dampak jangka panjang. Kalau dalam waktu singkat, dampaknya seperti korupsi. Misalkan, ribut soal perizinan, perebutan investor, lalu sengketa soal lahan. Tapi nanti setelah selesai tahap itu, konflik-konflik itu nanti masuk ke konflik soal keuangan dan kesejahteraan.

Perlu dicatat, dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan-undangan mengamanatkan bahwa proses pembuatan UU salah satunya ada keterlibatan publik.

Mengacu putusan Mahkamah Konstitusi (MK), Undang-undang Cipta Kerja banyak melanggar soal prosedur, akhirnya DPR dan Pemerintah disebut aktor utama pelanggar Undang-undang PPP. Karena MK menyatakan "Inkonstitusinal Bersyarat".

Kalau kita cermati, walaupun MK mengatakan demikian, Pemerintah dan DPR seolah-olah melakukan pemaksaan untuk mengejar penuntasan UU ini.

Revisi Undang-undang PPP tidak bisa dijadikan acuan. Karena Undang-undang Omnibus Law itu sudah dinyatakan inkonstitusional maka pembahasannya mulai dari awal. Tapi itu gampang, yang lebih sulit kenapa pemerintah sekarang terus menggunakan uang negara untuk membuat aturan-aturan di bawah omnibus law.

Padahal, yang diperintahkan MK, Pemerintah dan DPR harus memperbaiki dulu undang-undang tersebut. Jadi, dasarnya harus diperbaiki. Tapi turunan dari pada omnibus law ini sudah pada susun. Itu nanti kekacaun regulasi lagi. Karena kan asumsinya dengan perubahan omnibus law maka ada perubahan bisnis lebih banyak. Jadi penyusunan regulasi itu nanti bakal sia-sia.

Mestinya, Pemilu 2024 ini harus menjadi pertaruhan bagi daulat rakyat dalam menentukan nasibnya sendiri. Namun sekali lagi, rakyat dikalahkan, sementara oligark makin solid dan kuat.

Wacana 3 periode bagi Presiden Jokowi telah gagal, namun, pengrusakan MK untuk selundupkan Gibran sebagai Cawapres sebagai satu rentetan operasi.

Usai gagal, kini, Presiden Jokowi menunjuk orang dalam rangka untuk menyelamatkan omnibus law ini untuk memastikan agendanya dapat berjalan.

Makannya, rezim-rezim oposisi dan kekuatan politik alternatif dijadikan ancaman serius bagi pemerintahan hari ini, maka dari itu, sulit bagi publik untuk mengakui Pemilu kali ini dijalankan secara demokratis dan jujur, Dirty Vote sebagai bukti di mana sejak awal adannya suatu desain kecurangan pemilu yang sulit terbantahkan hingga kini.

Artikel Lainnya