Nasional

Romo Magnis: Presiden Mirip Pemimpin Organisasi Mafia Jika Hanya Menguntungkan Pihak Tertentu

Oleh : very - Selasa, 02/04/2024 22:11 WIB

Romo Magnis Suseno saat dihadirkan sebagai ahli oleh tim hukum Ganjar-Mahfud dalam sidang sengketa Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (2/4/2024)(Tangkapan Layar YouTube MK RI)

 

Jakarta, INDONEWS.ID - Guru Besar Filsafat STF Driyakara, Franz Magnis Suseno mengatakan jika seorang presiden menggunakan kekuasaan hanya untuk menguntungkan keluarga dan kelompoknya maka hal itu tindakan yang sangat memalukan.

“Kalau seorang presiden memakai kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh bangsanya untuk menguntungkan keluarganya sendiri, itu amat memalukan. Sebab, hal itu membuktikan bahwa dia tidak mempunyai wawasan presiden `hidupku 100% demi rakyatku` melainkan hanya memikirkan diri sendiri dan keluarganya,” ujar Rohaniwan Katolik itu saat tampil sebagai Saksi Ahli oleh kubu Ganjar Pranowo-Mahfud MD dalam sidang sengketa hasil pemilihan presiden (Pilpres) 2024 di MK, Selasa (2/4/2024).

Romo Magnis – sapaannya – mengatakan bahwa jika seorang presiden menggunakan kekuasaan hanya untuk menguntungkan pihak-pihak tertentu maka dia mirip dengan pemimpin organisasi mafia.

"Memakai kekuasaan untuk menguntungkan pihak-pihak tertentu membuat presiden menjadi mirip dengan pimpinan organisasi mafia," kata Romo Magnis.

Rohaniwan Katolik ini mengatakan, presiden adalah penguasa atas seluruh masyarakat. Karena itu, dia dituntut untuk memiliki kesadaran bahwa tanggung jawabnya adalah mengusahakan keselamatan seluruh bangsa, sehingga tidak boleh menggunakan kekuasaan demi keuntungan pribadi dan keluarganya.

Romo Magnis mengatakan, ketika seseorang sudah dilantik menjadi presiden, maka dia harus menjadi milik semua, bukan hanya milik mereka yang memilihnya.

"Kalaupun dia misalnya berasal dari satu partai, begitu dia menjadi presiden segenap tindakannya harus demi keselamatan semua," kata Romo Magnis.

Romo Magnis mengatakan, menurut Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) pendaftaran Gibran sebagai calon wakil presiden (Cawapres) merupakan pelanggaran etika berat. Pasalnya pendaftaran itu dilakukan meskipun Majelis Kehormatan MK menetapkan Keputusan MK yang memungkinkan Gibran menjadi cawapres sebagai pelanggaran etika yang berat.

"Sudah jelas mendasarkan diri pada keputusan yang diambil dengan pelanggaran etika yang berat merupakan pelanggaran etika yang berat sendiri. Penetapan seseorang sebagai cawapres yang dimungkinkan secara hukum hanya dengan suatu pelanggaran etika berat juga merupakan pelanggaran etika berat," ujar Romo Magnis.

Selanjutnya, kata Romo Magnis, presiden boleh saja memberi tahu bahwa dia mengharapkan salah satu calon menang. "Tetapi begitu dia memakai kedudukannya, kekuasaannya, untuk memberi petunjuk pada ASN, polisi, militer, dan lain-lain, untuk mendukung salah satu paslon serta memakai kas negara untuk membiayai perjalanan-perjalanan dalam rangka memberi dukungan kepada paslon itu, dia secara berat melanggar tuntutan etika bahwa dia tanpa membeda-bedakan adalah presiden semua warga negara termasuk semua politisi," ujarnya.

 

Kehilangan Wawasan Etika Sebagai Presiden

Romo Magnis mengatakan bahwa bansos bukan milik presiden, melainkan milik bangsa Indonesia. Karena itu, pembagiannya menjadi tanggung jawab kementerian terkait dan ada aturan pembagiannya.

"Kalau presiden berdasarkan kekuasaannya begitu saja mengambil bansos untuk dibagi-bagi dalam rangka kampanye paslon yang mau dimenangkannya, maka itu mirip dengan seorang karyawan yang diam-diam mengambil uang tunai dari kas toko. Jadi itu pencurian ya pelanggaran etika," kata Romo Magnis.

"Itu juga tanda bahwa dia sudah kehilangan wawasan etika dasarnya tentang jabatan sebagai presiden bahwa kekuasaan yang dia miliki bukan untuk melayani diri sendiri, melainkan melayani seluruh masyarakat," tambahnya.

Romo Magnis mengatakan, jika proses pemilu dimanipulasi, itu merupakan pelanggaran etika berat. Ini karena merupakan pembongkaran hakekat demokrasi.

"Misalnya waktu untuk memilih diubah atau perhitungan suara dilakukan dengan cara yang tidak semestinya. Praktik semacam itu memungkinkan kecurangan terjadi yang sama dengan sabotase pemilihan rakyat. Jadi suatu pelanggaran etika yang berat," ujar Romo Magnis.

Romo Magnis mengingatkan bahwa sikap pemerintah yang menguntungkan kepentingannya sendiri dapat menyebabkan situasi tidak aman.

Mengutip filsuf Immanuel Kant, Romo Magnis mengatakan bahwa masyarakat akan menaati pemerintah apabila bertindak atas dasar hukum yang berlaku.

Karena itu, apabila penguasa bertindak tidak atas dasar hukum dan tidak demi kepentiangan seluruh masyarakat, melainkan memakai kuasanya untuk menguntungkan kelompok, kawan, keluarganya sendiri, motivasi masyarakat untuk menaati hukum akan hilang.

"Akibatnya, hukum dalam masyarakat tidak lagi aman, negara hukum akan merosot menjadi negara kekuasaan dan mirip dengan wilayah kekuasaan mafia," ujarnya. ***

Artikel Terkait