Nasional

Diskusi Paramadina Institute: Pengaruh Spiritual Bagi Kemajuan Sosial Ekonomi

Oleh : very - Rabu, 03/04/2024 20:15 WIB

Diskusi Beragama Maslahat: Pengaruh Spiritual dan Kemajuan Sosial Ekonomi. (Foto: Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID - Jika diukur dari religiosity index, negara yang paling mampu membuat warganya bahagia adalah negara dengan populasi yang cenderung menganggap agama tidak penting dalam kehidupan warganya.

Hal itu disampaikan oleh Prof. Dr. Ahmad Najib Burhani, M.A., Peneliti di bidang Ilmu Sosial, Budaya dan kajian agama BRIN dalam Kajian Etika dan Peradaban ke-26 Paramadina Institute for Ethics and Civilizations (PIEC), bertajuk “Beragama Maslahat: Pengaruh Spiritual dan Kemajuan Sosial Ekonomi”.

Acara diselenggarakan di Hotel Ambhara, Jakarta, Rabu (27/3/2024) dan dimoderatori oleh Dr. Ica Wulansari, Dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Paramadina.

Najib mengatakan, negara yang masyarakatnya didominasi oleh mayoritas beragama dan menyatakan agama merupakan sesuatu yang penting, cenderung pemerintahannya korup.

“Maka dari itu agama dikaitkan dengan perekonomian, pembangunan infrastruktur, dan lain sebagainya. Sehingga dengan ini ada korelasi atau kebersinggungan antara agama dan kehidupan,” ujarnya seperti dikutip dari siaran pers.

Di beberapa daerah di Indonesia, katanya, pembangunan sekolah yang terpinggirkan, tidak dilakukan oleh pemerintah. Biasanya pembangunan sekolah dilakukan oleh ormas keagamaan, di antaranya Muhammadiyah, NU dan lain sebagainya.

Ia juga memberikan contoh bahwa Uni Emirat Arab dan negara Islam lainnya di kawasan Timur Tengah saat ini memiliki kenaikan perekonomian dan juga adanya keseimbangna dengan nilai keagamaannya.

“Ini merupakan potret dari kesuksesan di akhirat, merupakan hasil dari kesuksesan di dunia,” imbuhnya.

“Makna Min Atsaris Sujud tidak bisa dalam bentuk fisik seperti diri kita, seharusnya dari dalam diri, lalu doktrin Al-Ma’un di mana kita bisa hidup dengan nyaman dan membiarkan kaum miskin, sakit dan lain sebagainya hidup di sekitar. Sudah seharusnya kita dapat saling membantu satu sama lain,” tambah Prof. Ahmad Najib.

Sementara itu, ketua PIEC, Pipip A. Rifai Hasan, Ph.D, mengungkapkan sebuah paradoks dan kontroversi antara agama dan etika. “Sebagai  contoh bahwa dalam agama-agama di India mereka mempraktikkan ajaran etika untuk berlaku secara etis dalam pekerjaan, tetapi korupsi, penyuapan, nepotisme sangat merajalela,” ungkapnya.

Kegairahan agama yang sangat kuat di India itu juga banyak berlaku di Indonesia. Contohnya saat Pemilu Februari 2024 lalu. “Religuitas dan spiritualitas berbasis agama bisa mendukung perilaku yang tidak etis, kemudian bisa mempengaruhi cara seseorang dalam bersikap terhadap lingkungan kerja,” kata Pipip.

“Tiap individu yang berperilaku tidak sesuai dengan etika keagamaan yang diklaim, bisa jadi dilakukan karena eksternal. Seperti halnya di Indonesia, korupsi tersebut bukan dilakukan oleh orang yang tidak memiliki uang melainkan karena keserakahan dari orang yang melakukan tindakan tersebut,” tuturnya. ***

Artikel Terkait