Nasional

Simak! Ini Sikap Pengamat Narkotika Asri Hadi Soal Rencana Pemerintah Legalkan Tanaman Kratom

Oleh : Rikard Djegadut - Minggu, 23/06/2024 10:22 WIB


Penggiat Anti Narkoba Asri Hadi (Kiri) dan Prof Henry Yosodiningrat Ketum DPP Granat (Kanan)

Jakarta, INDONEWS.ID - Pengamat Narkotika yang juga merupakan Pemimpin Redaksi Indonews.id Drs. Asri Hadi, MA buka suara terkait rencana pemerintah yang melegalkan Tanaman KratoM dan tidak memasukkan Tanaman Kratom dalam daftar tanaman terlarang sebagai Narkotika Golongan I.

Asri Hadi menegaskan mendukung kebijakan Presiden Jokowi untuk melakukan penelitian lebih mendalam dan komprehensif sebelum melegalkan Tanaman Kratom. Artinya pemerintah harus serius mengkaji manfaat dari tanaman ini dilihat dari berbagai aspek.

"Pada prinsipnya saya mendukung kebijakan pemerintah untuk melakukan penelitian yang komprehensif terkait tanaman kratom ini sebelum dilegalkan. Jadi dikaji ulang tentang manfaat dan mudaratnya baik dari segi ekonomi, kesehatan dan keamanan," ujar Asri Hadi di Jakarta, Minggu (23//6/24).

Sosok yang sudah puluhan tahun menjadi aktivist anti narkoba ini mengingatkan pemerintah untuk perlu melibatkan stakeholder dari BNN, penggiat anti narkoba, BPPOM, dan pakar obat dan narkotika dalam melakukan kajian.

“Agar kebijakan dan keputusan yang dihasilkan sudah melalui kajian yang komprehensif dan diterima semua pihak, apakah tananam Kratom ini memang mengandung unsur bahan membahayakan bagi seseorang menjadi sebuah ketergantungan yang sistem bekerjanya seperti Narkotika,” papar Asri Hadi yang juga penggiat anti narkoba BERSAMA.

Lebih lanjut, Asri Hadi mengatakan, jika tanaman Kratom memang sangat membahayakan dan tidak direkomendasi lembaga narkotika internasional maka memang sebaiknya segara dibuat keputusan untuk melarang tata niaga, perdagangan dan budi daya tanaman Kratom.

“Pemerintah harus bijak dalam hal ini untuk melindungi warga negaranya dari bahaya ketergantungan bahan narkotika dan obat-obatan terlarang,” kata Asri Hadi.

GRANAT Menolak 

Sebelumnya, Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Nasional Anti Narkotika (Ketum DPP GRANAT) menolak rencana pemerintah melegalkan budidaya dan tata niaga perdagangan tanaman kratom melalui aturan. Pasalnya, GRANAT menilai, tanaman kratom merupakan narkotika jenis baru dan masuk dalam narkotika Golongan Satu.

Hal ini disampaikan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Nasional Anti Narkotika (Ketum DPP GRANAT) Prof. Henry Yosodiningrat melalui keterangan tertulisnya di Jakarta, Sabtu (22/6/2024)

“DPP GRANAT menolak legalisasi terhadap penanaman atau budidaya dan tata kelola serta tata niaga kratom. Karena Kratom adalah Narkotika jenis baru dan masuk dalam Narkotika golongan I,” ungkap Ketua Umum GRANAT Henry Yosodiningrat.

Selain itu, DPP GRANAT juga mendesak DPR RI bersama Pemerintah untuk memasukkan Kratom sebagai Narkotika Golongan I dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas UU RI No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika dalam Prolegnas Prioritas.

Lebih lanjut Henry menjelaskan, kratom memiliki resiko ketergantungan yang tinggi, sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut untuk memvalidasi penggunaannya sebagai terapi.

“Tidak ada bukti empiris atau riwayat penggunaan kratom sebagai obat tradisional atau jamu di Indonesia,” ujarnya.

Selain itu, sambung Anggota DPR RI Periode 2014-2019 tersebut, untuk menjadikan kratom sebagai obat, dibutuhkan riset ekstensif guna membuktikan sisi keamanan, khasiat dan kualitasnya sesuai standard internasional.

“Sebelum membuat regulasi terkait budi daya, distribusi dan penggunaan kratom, terlebih dahulu harus ditentukan dan dipastikan mengenai persyaratan perijinan untuk budi daya dan distribusi kratom serta otoritas regulasinya dan harus dipastikan akan melakukan inspeksi serta pengecekan kepatuhan secara rutin,” tegas Prof. Henry.

Di sisi lain, masih kata Henry, juga harus dilakukan program pendidikan dan kesadaran publik mengenai resiko dan manfaat penggunaan kratom. Dan yang tidak kalah pentingnya harus dan wajib dilakukan pengujian serta kontrol kualitas produk untuk memastikan keamanan produk.

“Hal tersebut diterapkan di Phillipine oleh Phillipine Drugs Enforcement Agency (PDEA). Dimana dalam pembuatan regulasi harus didasari pertimbangan akan resiko kesehatan yang terkait dengan penggunaan kratom, meliputi potensi ketergantungan, interaksi negatif dengan zat lain, dikarenakan kualitas produk yang tidak konsisten akibat kurangnya regulasi,” papar Henry.

Henry memaparkan bahwa UNODC Early Warning Advisory menginformasikan bahwa pengelolaan narkotika jenis baru seperti kratom, memberikan wawasan mengenai trend regulasi global dan langkah-langkah kontrol efektif yang dapat diadaptasi secara lokal.

“Laporan Pratinjau WHO Expert Committee on Drug Dependence (WHO ECDD) tahun 2021 tentang kratom, mitragynine dan 7-Hydroxymitragynine, pada pokoknya berpendapat bahwa kratom memiliki potensi penyalahgunaan dan pengguna dapat mengalami efek kesehatan yang fatal dan tetap menjadi obat terlarang,” tukas Prof. Henry.

Selain itu, kembali ditegaskan oleh Henry, National Anti Drugs Agency (NADA Malaysia) juga menyatakan bahwa di Malaysia pada tanggal 01 Agustus 2016, Islamic Legal Consultative Committee of Federal Territories, memutuskan bahwa “Usulan Penanaman Pohon Kratom dilarang” dan bahaya yang lebih besar daripada manfaatnya.

Di Myanmar, kata Prof. Henry, kratom dinyatakan sebagai obat terlarang sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Narkotika dan Psikotropika serta Peraturan Kementerian Kesehatan Myanmar “Pelaku pelanggaran diancam dengan pidana 5 hingga 10 tahun penjara”.

“Penjelasan saya ini hubungkan dengan pernyataan Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Jenderal TNI (Purn) Dr. Moeldoko yang menyebutkan “Menteri Kesehatan mengatakan bahwa kratom tidak masuk kategori Narkotika” adalah pernyataan yang keliru dan menyesatkan,” ungkap Henry.

“Karena pernyataan itu memberikan kesan bahwa Pemerintah Indonesia tidak menganggap kratom sebagai narkotika, sehingga kratom merupakan barang yang halal dan boleh digunakan untuk keperluan apa saja (tidak ubahnya seperti daun singkong),” imbuh politikus PDIP ini.

Ia menilai KSP Moeldoko telah menutup mata serta tidak memperdulikan Rekomendasi dari Komite Nasional Perubahan Penggolongan Narkotika dan Psikotropika yang merekomendasikan bahwa kratom merupakan Narkotika Golongan I.

Moeldoko juga dinilai tidak memperdulikan Surat Edaran Kepala BNN RI Nomor B/3985/X/KAKPLO2/2019/BNN tahun 2019 yang menyatakan kratom sebagai narkotika Golongan 1 dan juga tidak memperdulikan rekomendasi serta pendapat dari Lembaga Internasional yang menyatakan kratom memiliki potensi penyalahgunaan dan pengguna dapat mengalami efek kesehatan yang fatal sehingga kratom tetap menjadi obat terlarang.

Menanggapi pandangan pemerintah yang mengakui bahwa Kratom mengandung zat sedatif meskipun dianggap sangat kecil, Henry mengatakan anggapan bahwa kandungan sedatif yang kecil itu tidak berdasarkan hasil dari suatu penelitian.

Selain itu pemerintah mengakui Kratom akan mengakibatkan ketergantungan, akan tetapi ketergantungan itu dikategorikan rendah. Menanggapi hal ini Henry mengatakan pernyataan pemerintah bahwa tingkat ketergantungan yang rendah itu tanpa didasari suatu penelitian atau riset yang dapat dipertanggungjawabkan.

“Oleh karenanya pernyataan Jenderal TNI (Purn) Moeldoko tersebut dapat menyesatkan masyarakat,” tandas Henry.

“Dari seluruh rangkaian penjelasan Jenderal Moeldoko dalam keterangan persnya itu, kami DPP GRANAT tidak melihat sisi manfaat dari Kratom kecuali “salah satu unsur dari kratom sebagai obat kanker dan anti nyeri”,” bebernya.

“Selebihnya “tersirat” adanya kepentingan lain yaitu keuntungan secara materi dari budi daya dan ekspor kratom dari sisi devisa yang tidak dijelaskan secara komprehensif, sehingga dapat menimbulkan pertanyaan bahkan kecurigaan bahwa tidak dimasukkannya kratom sebagai Narkotika Golongan I dan akan dibuatnya tata Kelola dan tata niaga kratom hanya akan menguntungkan pihak tertentu karena ini dianggap sebagai bisnis raksasa,” tambah Prof. Henry.

Hal tersebut, lanjut dia, dikaitkan dengan pernyataan Kepala KSP Moeldoko yang menyatakan bahwa “Kementerian Perdagangan akan menentukan ekportir terbatas agar kualitas bisa terjaga dengan baik”.

Pernyataan Kepala KSP Moeldoko yang menyatakan bahwa “Menunggu hasil riset untuk menentukan kratom berbahaya atau tidak, karena kalau berbahaya-nya hanya bila dikonsumsi dalam jumlah besar, maka akan sama masalahnya dengan kopi, rokok dan tembakau”.

“Pernyataan tersebut kami anggap mengandung makna “bahwa kalaupun dikonsumsi dalam jumlah besar, hal itu juga tidak dilarang (karena tidak berbahaya). Karena kratom itu sama halnya dengan kopi, rokok dan tembakau”. Apalagi kalau dikonsumsi dalam jumlah kecil (sudah barang tentu tidak akan menimbulkan bahaya, oleh karenanya mengkonsumsi dalam jumlah yang besar maupun dalam jumlah yang kecil tidak akan dilarang,” pungkas Henry.

Latar Belakang Pelarangan Kratom

Bahwa di beberapa negara, setidaknya 32 negara telah menetapkan Kratom sebagai Narkotika Golongan satu. Dan WHO serta UNODC juga pada tahun 2013 telah menetapkan Kratom sebagai NPS (New Psychoactive Substances/ Narkotika jenis baru)

Pemerintah Indonesia telah menetapkan bahwa Kratom adalah bahan yang dilarang dalam suplemen makanan dan melarang penggunaan Kratom dalam obat tradisional serta suplemen kesehatan.

Hal ini diatur dalam Keputusan Kepala BPPOM Nomor HK.00.05.23.3644 tahun 2004 dan surat edaran Deputi BPPOM Nomor HK.04.4.42.421.09.16.1740 tahun 2016. Pelarangan tersebut juga diatur dalam Perka BPPOM Nomor 7 Tahun 2018 tentang bahan baku yang dilarang dalam bahan olahan dan Kratom termasuk bahan yang dilarang dalam bahan olahan.

Selain daripada itu, berdasarkan berdasarkan Perka BPPOM No 25 tahun 2023 tentang kriteria dan tata laksana registrasi obat, secara tegas menyatakan Kratom termasuk bahan yang dilarang dalam bahan makanan.

Bahwa meskipun Kementrian Kesehatan belum mencantumkan Kratom sebagai Narkotika, akan tetap Komite Nasional Perubahan Penggolongan Narkotika dan Psikotropika telah mengeluarkan rekomendasi bahwa Kratom merupakan Narkotika Golongan I.

Bahwa BNN telah memberikan dukungan atas keputusan Komite Nasional Perubahan Penggolongan dan Psikotropika tersebut di atas, sebagaimana dinyatakan dalam Surat Edaran Kepala BNN No B/3985/X/KA/PLO2/2019/BNN tahun 2019 yang menyatakan Kratom sebagai Narkotika Golongan I.*

Artikel Lainnya