Jakarta, INDONEWS.ID - Untuk mewujudkan pemilu jujur dan adil serta menyelamatkan demokrasi, segala bentuk keburukan yang terjadi pada Pilpres 2024 lalu harus dihentikan dan tidak boleh dilanjutkan.
Penyelenggaraan Pemilu 2024 lalu disinyalir melibatkan mobilisasi politik dan memasung netralitas TNI dan Polri, lembaga peradilan, ASN, aparat desa, pembagian bansos, dan politik uang yang merajalela, yang semuanya telah menyelewengkan demokrasi dan konstitusi.
“Karena itu, publik harus mendorong semua pihak untuk menghentikan semua keburukan tersebut,” demikian kesimpulan diskusi media PARA Syndicate, di Jakarta, Jumat (21/6).d
Diskusi yang dipandu peneliti PARA Syndicate Lutfia Harizuandini, dihadiri pembicara Direktur Lingkar Madani Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti, Koordinator TePI Indonesia Jeirry Sumampow, dan Direktur Eksekutif PARA Syndicate Ari Nurcahyo.
Publik pasti tak melupakan dissenting opinion dari tiga hakim MK dalam sengketa Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK). Pendapat berbeda tersebut menjadi fakta hukum yang mengafirmasi bahwa telah terjadi kebrutalan politik selama proses Pemilu 2024, yang dicatat banyak pihak sebagai pemilu paling buruk dalam sejarah demokrasi di negeri ini.
Kebrutalan itu terjadi lantaran ditengarai terjadi upaya melegalkan nepotisme dan dinasti politik dan dugaan praktik kecurangan dengan menggunakan sumberdaya negara untuk memenangkan kontestasi elektoral. Meskipun secara hukum telah selesai di MK, namun secara politik persoalan ini belumlah selesai.
Fakta politik menunjukkan hukum telah diinstrumentasi secara ugal-ugalan melalui proses yang seolah legal untuk kepentingan politik kekuasaan. Pola yang seolah berulang.
Belakangan putusan Mahkamah Agung (MA) terkait batas usia calon kepala daerah dan diikuti manuver elite politik yang terjadi, seakan membuka lagi mimpi buruk publik.
Jika betul begitu, publik pantas bertanya: apakah keburukan di Pilpres lalu akan berlanjut di Pilkada nanti? Apa yang bisa publik lakukan bersama untuk mengawal demokrasi?
Ari Nurcahyo memprediksi potensi keburukan yang terjadi selama proses Pilpres akan tereplikasi di Pilkada nanti. Ia menjelaskan tiga indikasi yang mengarah pada potensi tersebut.
Pertama, ada kecenderungan Jokowi melakukan cawe-cawe di Pilkada melalui instrumentasi Koalisi Indonesia Maju (KIM), yang berencana melanjutkan kerja sama politik hingga Pilkada.
Sebelumnya, KIM di Pilpres mengusung pasangan jagoan Jokowi, Prabowo-Gibran. Kerjasama ini membuat dinamika koalisi partai di Pilkada dalam banyak hal jadi terkondisikan.
“KIM akan tetap kompak. Ini bisa jadi kendaraan politik bagi Jokowi agar tetap memberi pengaruh, terutama setelah dirinya selesai jadi presiden Oktober nanti,” papar Ari.
Karena itu, katanya, faktor Jokowi masih diperhitungan di Pilkada.
Menurutnya, cawe-cawe Jokowi terlihat jelas dari manurver politik pengusulan menantu Jokowi, Bobby Nasution di Pilgub Sumatera Utara, yang mendapat dukungan Golkar – dan menyingkirkan kader partai sendiri Musa Rajekshah (Ijeck) dari bursa kandidasi.
Hal yang sama juga terbaca dari dinamika elite politik dalam bursa kandidasi Pilgub Jakarta. Kabarnya KIM didorong oleh Jokowi untuk mengusung Ridwan Kamil demi menghadang Anies Baswedan di Jakarta.
Indikasi kedua, lanjut Ari, masih terjadi instrumentasi hukum yang ditengarai untuk kepentingan melanggengkan dinasti politik penguasa. Publik membaca ada aroma politik di balik Putusan MA terkait syarat batas usia calon kepala daerah di tengah tahapan Pilkada yang sudah berlangsung.
Putusan tersebut dicurigai akan memuluskan jalan bagi Kaesang Pangarep maju di Pilgub. “Ini persis polanya seperti yang terjadi menjelang Pilpres, di mana MK saat itu menerbitkan putusan yang menjadi karpet merah bagi Gibran ke Pilpres,” terangnya.
Selanjutnya, indikator ketiga, menurut Ari, ada potensi penyelewengan demokrasi dan konstitusi melalui politisasi bansos dan politik uang. Politisasi bantuan sosial (bansos) berpotensi kembali terjadi, mengingat kebijakan penyaluran bansos dikabarkan akan dilanjutkan Presiden Jokowi sampai Desember 2024.
Ia juga menyoroti mobilisasi politik yang membuat netralitas TNI-Polri dipertanyakan serta netralitas Pj Kepala Daerah dan ASN rawan konflik kepentingan.
Meski saat ini demokrasi Indonesia sedang tidak baik-baik saja, namun di tengah kegelapan itu, Ari berharap optimisme harus tetap diupayakan bersama. “Kita sedang ditantang dan dipanggil untuk jangan pernah letih untuk mencintai Indonesia,” ujarnya.
Di kesempatan yang sama, Ray Rangkuti menekankan lagi bahwa Pemilu 2024 merupakan Pemilu terburuk sepanjang sejarah Reformasi, baik dari sisi substantif maupun teknis.
Senada dengan Ari, Ray menilai keburukan itu berpotensi berlanjut hingga Pilkada. Ray yakin politisasi bansos hingga politik uang, yang dianggap tak terbukti secara hukum oleh MK dan Badan Pengawas Pemilu, kembali terjadi di proses Pilkada.
“Karena sampai kapan pun tidak akan terbukti karena memang buktinya tak konkret, tak berbentuk fisik,” pungkasnya.
Ray menyayangkan Pemilu dan Pilkada justru jadi pintu masuk bagi berkembangnya nepotisme dan dinasti politik untuk terus merajalela. Alih-alih mencari pemimpin dengan sungguh-sungguh, menurutnya, manuver politik belakangan ini menunjukkan bahwa ada daerah-daerah tertentu di Pilkada yang dikapling oleh dinasti.
“Sehingga nanti keluarga tertentu saja yang memerintah di daerah-daerah tertentu secara terus-menerus…. Jadi, apakah Pemilu dan Pilkada sekadar untuk melegalisasi nepotisme?” ujarnya.
Pengusungan Kaesang di Pilgub, kata Ray, apabila Kementerian Dalam Negeri nanti merilis jadwal pelantikan kepala daerah setelah Kaesang berusia 30 tahun, maka artinya Kaesang diakomodasi untuk lolos Pilgub. “Kita tunggu dan lihat saja,” imbuhnya.
Adapun Jeirry Sumampow menyoroti ketidakpastian hukum dalam proses Pemilu lalu, dan hal ini mulai muncul lagi menjelang Pilkada. Selalu ada regulasi yang diubah di tengah jalan, termasuk soal Putusan MA.
“Padahal harus jelas aturan mainnya di depan,” tegasnya.
Jeirry juga menyoroti Komisi Pemilihan Umum (KPU), selaku penyelenggara Pemilu, yang cenderung lebih sigap untuk menyesuaikan Peraturan KPU terhadap putusan-putusan yang menyokong nepotisme atau politik dinasti, alih-alih yang menyangkut aspirasi khalayak luas seperti afirmasi 30 persen perempuan dan aturan mengenai peserta pemilu mantan narapidana. Selain itu, KPU juga ditengarai terlibat kasus manipulasi dan jual beli suara di beberapa daerah.
Menengok apa yang terjadi di Pilpres, lanjut Jeirry, peserta pemilu berpotensi menormalisasi yang sebelumnya terjadi di Pilpres, termasuk menyoal pemasangan baliho dan spanduk di luar waktu kampanye. Peran pemerintah di Pemilu lalu juga ia anggap berlebihan sehingga memungkinkan cawe-cawe politik, termasuk memobilisasi TNI-Polri dan ASN serta politisasi bansos.
“Peran pemerintah mestinya dibatasi… Ke depan, kita tidak boleh lagi termakan oleh politik populisme, yang digunakan membangun dinasti, untuk itu kita harus melampaui populisme itu” kata Jeirry.
Ia juga mendorong agar angka partisipasi pemilih yang dirilis ke publik harus dipastikan betul kebenarannya. Pasalnya ada preseden bahwa pasca pemungutan suara Pemilu 2024 Februari lalu, yang muncul hanya persentase jumlah perolehan suara. “Maka dari itu, mari kita amati dan awasi, karena kalau tidak, ini rawan manipulasi. Keburukan Pilpres jangan berlanjut di Pilkada,” ujarnya. ***