Penulis: Prof. Atmonobudi Soebagio MSEE, Ph.D. ( guru besar Universitas Kristen Indonesia dan mantan Rektor UKI (2000 sd 2004))
Dari sudut pandang bisnis masa depan dalam biaya penggunaan listrik, energi matahari yang dikonversikan menjadi energi istrik merupakan solusi terbaik untuk menurunkannya. Pelanggan rumah tangga akan menjadi yang paling menikmati manfaatnya. Satoshi Shinden, dari Asahi Shimbun menuliskan bahwa estimasi baru dari Kementerian Ekonomi, Perdagangan dan Industri (Jepang) tentang biaya-biaya dari pemanfaatan energi matahari akan mengalahkan energi nuklir pada tahun 2030. Diumumkannya estimasi tersebut jelas akan memiliki implikasi yang sangat bermakna pada kebijakan energi nasional Jepang. Biaya yang diestimasikan untuk membangkitkan listrik dengan energi nuklir semakin meningkat setiap kali dibuat kalkulasi baru. Sebaliknya, kalkulasi biaya yang diestimasikan pada penggunaan energi matahari pada sektor bisnis sebesar 12,5 – 12,9 yen pada tahun 2020 akan turun menjadi 8 – 11,9 yen pada tahun 2030. Pada sektor rumah tangga dari 17,5 – 17,9 yen pada tahun 2020 akan menjadi 9,5 – 14,4 yen pada tahun 2030. Sedangkan biaya energi listrik dari sektor PLTN sebesar 11,5 yen pada tahun 2020 akan menjadi 11,5 yen atau lebih, pada tahun 2030 (Asahi Shimbun, 13 Juli 2021).
Tuntutan global akan energi meningkat dengan cepat dan akan terus berlanjut demi memenuhi kebutuhan perkembangan ekonomi. Pada saat yang bersamaan, kesadaran akan perlunya menurunkan emisi gas-gas rumah kaca menjadi semakin nyata. Kita hanya dapat menaikkan suplai energi secara signifikan jika penurunan emisi gas rumah kaca oleh pembangkit-pembangkit listrik baru tidak dilepas ke atmosfir sebagai tempat pembuangannya.
Energi-energi terbarukan, a.l. angin, matahari (foton dan termal), dan biomassa dipastikan akan memegang peran penting pada ekonomi energi di masa depan. Namun, sumber-sumber energi tersebut tidak dapat dinaikkan kapasitasnya secara cepat untuk menghasilkan daya listrik yang murah dan andal untuk memenuhinya pada skala nasional. Bagi Indonesia yang terletak di garis ekuator bumi, pemanfaatan energi-energi terbarukan tersebut sangat dirasakan, khususnya bila dibandingkan dengan negara-negara yang terletak di wilayah subtropik. Indonesia juga berpeluang untuk melakukan “perdagangan karbon” dengan negara-negara industri yang selama ini merupakan penyebab utama emisi gas CO2 secara global. Sayangnya, peluang perdagangan tersebut belum ditanggapi secara serius oleh negara-negara tersebut.
Selisih tentang estimasi biaya listrik dari energi matahari dan PLTN di Jepang tentunya akan semakin lebar bila diterapkan di Indonesia, karena perangkat untuk mengkonversikan kedua jenis sumber energi tersebut menjadi energi listrik masih harus diimpor, khususnya reaktor PLTN maupun pellet uranium selaku bahan bakarnya harus diimport mengingat kita belum menguasai teknologi pembuatannya. Estimasi biaya pembangkitan listrik melalui PLTN tersebut di atas belum termasuk biaya untuk decommissioning untuk reaktor nuklir serta decontaminating berbagai fasilitas di PLTN, sebagaimana dapat kita lihat pada PLTN Fukushima pasca bencana tsunami 2011 yang lalu.
Indonesia mulai membangun ibukota negara Nusantara di Kalimantan Timur. Pemindahan tersebut tidak sekadar pindah ibukota, tetapi juga dalam “perubahan pola pikir baru” dalam rangka menyongsong Indonesia menjadi Negara Maju di tahun 2045, yang bersamaan waktunya dengan “bonus demografi” di negara kita. Perubahan pola pikir tersebut telah diterapkan lewat pemilihan sumber-sumber pembangkit listrik di IKN Nusantara yang diperoleh dari sumber-sumber energi hijau maupun sel surya yang lebih ramah lingkungan. Negara ini kaya akan potensi lautnya lewat pemanfaatan energi dari gelombang, arus, maupun kondisi pasang-surut lautnya sebagai pembangkit listrik. Juga sebagai penghasil hidrogen yang berasal dari air, bahan bakar tersebut akan menggantikan bahan bakar fosil (bensin, avtur, solar), maupun sebagai baterai bagi kendaraan listrik, lewat teknologi hydrogen fuel cells (HFC).
Masih adanya pemikiran dari sebagian aparat pemerintah maupun kalangan ilmuwan untuk tetap membangun PLTN jenis reaksi fisi di Indonesia, merupakan upaya mempertahankan pola pikir lama untuk dibawa ke Era Indonesia Baru.
Perkembangan dan pemanfaatan teknologi nuklir lewat pemanfaatan energinya, jelas sangat berisiko; khususnya terhadap kesehatan, maupun terjadinya cacat genetika (pada bayi yang masih dalam kandungan) di masyarakat, apabila mereka terpapar partikel radioaktif karena terjadinya kebocoran pada reaktor akibat human error, maupun gempa bumi / tsunami.