Opini

Mitigasi Pemanasan Global Lewat Pedagangan Karbon: Kerjasama Australia dan Indonesia sebagai Model Hibah

Oleh : indonews - Rabu, 08/06/2022 15:59 WIB

Hutan Kalimantan. (Foto: Ist)

Oleh: Atmonobudi Soebagio*)

Perubahan Iklim sebagai Dampak Pemanasan Global

INDONEWS.ID - Perubahan iklim terjadi karena adanya perubahan komposisi atmosfir, terutama karena adanya peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK). Sekitar 20% dari peningkatan GRK disebabkan oleh pelepasan CO2 yang telah tersimpan selama ratusan hingga ribuan tahun sebagai biomassa di atas permukaan tanah dan di dalam tanah gambut. Aktivitas pembangunan yang cukup tinggi di Indonesia telah menempatkan Indonesia sebagai salah satu penyebab emisi ketiga di dunia, terutama emisi yang berasal dari deforestasi dan degradasi hutan serta lahan gambut.  Namun begitu, orientasi Pemerintah lewat program menghutankan kembali dan perluasan mangrove di kawasan pesisir masih terus berlangsung demi menjaga suhu atmosfir bumi, khususnya bagi Indonesia. Oleh sebab itu industrialisasi di Indonesia harus diimbangi dengan program reboisasi secara besar-besaran.

Laju perubahan iklim belakangan ini semakin mengkhawatirkan.  Banyak negara, diantaranya Amerika Serikat, Cina, dan negara-negara Afrika, bahkan Indonesia telah mengalami peristiwa dan bencana iklim yang belum pernah atau jarang dialami sebelumnya. Untuk itu perlu dilakukan upaya-upaya mitigasi atau pengurangan emisi karbon dioksida secara global demi mengurangi laju pemanasan global, penyebab perubahan iklim. Salah satu instrumen kebijakan yang efektif untuk meningkatkan upaya mitigasi perubahan iklim adalah skema pasar karbon, yaitu perdagangan antara negara penyebab karbon dioksida dan negara penghasil oksigen.

 

Potensi Indonesia dalam Menurunkan Emisi Karbon Dunia

Kondisi negara-negara di dunia dapat dikelompokkan ke dalam: (a) negara dengan empat musim dan dua musim; (b) negara maju, negara berkembang, dan negara kurang mampu; (c) negara dengan padang gurun, negara dengan hutan dan vegetasi pesisir yang luas; dan (d) tingkat kepadatan penduduk, yang diukur dari jumlah penduduk per satuan luas wilayah daratannya. 

Keempat kelompok tersebut sangat mempengaruhi kemampuan pemerintah setiap negara dalam menyikapi perubahan iklim akibat pemanasan global.  Letak geografis suatu wilayah akan memberikan pengaruh tertentu terhadap wilayah tersebut.   Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang memiliki 17.000 pulau, baik yang berpenduduk maupun yang kosong.  

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melaporkan, luas lahan berhutan seluruh daratan Indonesia sebesar 95,6 juta hektare (ha) pada 2020. Jumlah itu setara dengan 50,9% dari total daratan Indonesia.  Dari jumlah itu, seluas 46,9 juta ha merupakan hutan primer (25%), 43,1 juta ha (23%) merupakan hutan sekunder, serta 5,4 juta ha (2,9%) merupakan hutan tanaman. Sementara itu, luas lahan non-hutan Indonesia tercatat sebesar 92,1 juta ha (49,1%).

Dari Peta Mangrove Nasional yang resmi dirilis oleh KLHK tahun 2021, diketahui bahwa total luas mangrove Indonesia seluas 3.364.076 ha. Dari 3.364.076 ha mangrove Indonesia terdapat 3 (tiga) klasifikasii kondisi mangrove sesuai dengan persentase tutupan tajuk, yaitu: mangrove lebat, mangrove sedang, dan mangrove jarang.  Merujuk pada SNI 7717-2020, kondisi mangrove lebat adalah mangrove dengan tutupan tajuk > 70%, mangrove sedang dengan tutupan tajuk 30-70%, mangrove jarang dengan tutupan tajuk <30%.  Dari total luasan mangrove Indonesia seluas 3.364.076 ha, kondisi mangrove lebat seluas 3.121.239 ha (93%), mangrove sedang seluas 188.363 ha (5%), dan mangrove jarang seluas 54.474 Ha (2%). Adapun fokus pemerintah dalam melakukan rehabilitasi kawasan mangrove ada di mangrove dengan kondisi tutupan yang jarang.

 

Sistem Perdagangan Karbon Dioksida.

Dari luas hutan termasuk hutan tanaman mangrove, Indonesia sangat potensial sebagai sumber penghasil oksigen bagi bumi.  Upaya mempertahankan luas hutan alami maupun perluasan hutan mangrove bukanlah hal yang mudah karena memerlukan dana yang sangat besar.  Di sisi lain, penduduk seluruh dunia sangat bergantung kepada negara- negara yang menjadi produser oksigen melalui kekayaan hutan alam maupun hutan tanaman mangrove seperti Indonesia.  Indonesia tidak hanya mengandalkan pada hutannya saja, melainkan juga dari luas wilayah lautnya dalam wujud mikro-organisme lautan yang bernama fitoplankton. Fitoplankton mampu menghasilkan sekitar 50-85 persen oksigen di bumi per tahun, sedangkan tumbuhan (pohon) hanya menghasilkan sekitar 20 persen saja.

Dalam mengantisipasi dampak perubahan iklim serta meningkatnya kebutuhan oksigen bagi manusia maupun makhluk hidup lainnya, maka dapat dipetakan mana negara-negara yang menghasilkan oksigen dan mana negara-negara yang sangat membutuhkannya.  Negara-negara yang tergolong negara industri dapat digolongkan ke dalam negara penyebab gas-GRK, termasuk karbon dioksida.   Potensi Indonesia sebagai penghasil oksigen sangat besar, sehingga dapat dinikmati oleh negara-negara tetangganya, bahkan oleh negara di bagian bumi yang jauh dari Indonesia.

Indonesia sangat berpeluang sebagai negara donor dalam hal oksigen bagi negara lain, namun bisa dipertahankan eksistensinya melalui dukungan dana untuk merawat dan memperluas hutan tanaman lainnya, yaitu mangroveSistem perdagangan emisi (ETS) dapat memainkan peran utama dalam kerangka kebijakan iklim yang hemat biaya. Baik penautan langsung ETS maupun penautan tidak langsung melalui mekanisme pemberian kredit bersama dapat mengurangi biaya tindakan.

Di luar sistem ETS, Indonesia juga dapat memperoleh imbal balik atas produksi oksigennya dalam wujud dana hibah yang bersifat sukarela, tergantung dari kemampuan finansial negara pemberi hibah.  Dalam konteks ini, kita tidak dapat mendasarinya secara hitam-putih atas nilai hibah tersebut, melainkan lebih ditekankan demi masa depan dan kelangsungan hidup umat manusia dan makhluk hidup lainnya di setiap negara.

 

Kerjasama Australia dan Indonesia berupa Hibah Kompensasi Oksigen

Australia adalah sebuah negara benua, artinya negara yang menghuni seluruh benua Australia.  Kini penduduk Australia mencapai lebih dari 21 juta jiwa. Lebih dari 43 persen penduduk Australia kelahiran luar negeri atau memiliki orang tua yang lahir di luar negeri. Penduduk asli Australia diperkirakan berjumlah 483.000, atau 2,3 persen.

Luas wilayah Benua Australia adalah 8.945.000 km2 dengan lebar sekitar 3.200 km dan panjang 3.700 km.  Hanya satu negara dalam satu benua merupakan keunikan lainnya dari Benua Australia, sehingga negara Australia memiliki luas wilayah yang sangat besar. Meski demikian sekitar dua pertiga wilayahnya berupa gurun. Jika ditinjau dari kerapatan penduduknya, Australia memiliki kerapatan penduduk yang rendah, namun menjadi padat karena mereka umumnya tinggal di kawasan pesisir Australia. Dengan kondisi alamnya yang berupa gurun, penduduknya lebih memilih tinggal di kawasan pesisir.  Populasi Australia diproyeksikan meningkat dari 25,7 juta pada 2020-21 menjadi 29,3 juta pada 2031-32. 

Dalam konteks hubungan bilateral antara Australia dan Indonesia, Indonesia merupakan negara tetangga yang sangat dekat, baik secara geografis maupun dalam kerjasama.  Bagi Australia, Indonesia adalah negara sahabat dalam arti sebenarnya, karena merupakan negara tetangga yang menempati urutan ke-8 dunia sebagai penghasil oksigen bagi bumi.  Semoga kerjasama antara Indonesia dan Australia dapat berlangsung langgeng karena didasari oleh semangat saling membutuhkan.

*) Prof. Atmonobudi Soebagio MSEE, Ph.D. adalah GB Universitas Kristen Indonesia dan pemerhati Pembangunan Berkelanjutan dan Tujuannya.

 

Artikel Terkait