Opini

Jerman Menghentikan 3 PLTN Terakhirnya sebagai Komitmen untuk Beralih ke Penggunaan Energi Terbarukan

Oleh : very - Jum'at, 28/04/2023 12:35 WIB

PLTN. (Foto: Ilustrasi)

Oleh: Atmonobudi Soebagio*)

Jerman Telah Mengakhiri Penggunaan PLTN.

Jerman mulai menghentikan tiga pembangkit listrik tenaga nuklirnya (PLTN) yang tersisa pada Desember 2022, sebagai bagian dari transisi yang telah lama direncanakan menuju energi terbarukan.  Keputusan tersebut mendapat sambutan antusias dari para pecinta lingkungan yang telah berkampanye untuk langkah tersebut.  Penutupan reaktor Emsland, Neckarwestheim II dan Isar II, yang disetujui lebih dari satu dekade lalu, diawasi ketat di luar negeri.  Negara-negara industri lainnya, seperti Amerika Serikat, Jepang, Cina, Prancis, dan Inggris, hingga saat ini masih mengandalkan energi nuklir hasil reaksi fisi untuk menggantikan bahan bakar fosil yang menghangatkan atmosfir bumi. Keputusan Jerman untuk berhenti menggunakan ketiganya telah ditanggapi dengan skeptis oleh negara-negara pengguna  PLTN, serta seruan di menit-menit terakhir yang gagal untuk menghentikan penutupan.

Sikap tegas Jerman untuk mengakhiri PLTN di negaranya tidak lepas dari perhatian dan keprihatinan masyarakat dunia atas terjadinya bencana yang dialami oleh PLTN Chernobyl, Three Mile Island, dan Fukushima (karena tsunami), sehingga memandang perlu untuk meninjau kembali agenda-agenda nuklir dan kebijakan di negara-negara dunia.

 

Tekad Anggota Peserta COP26 untuk Mengakhiri Penggunaan PLTU Batubara

Inti dari COP26 adalah kebutuhan mendesak untuk mengurangi emisi gas rumah kaca yang 80 persennya berasal dari pembangkitan dan penggunaan energi. Sehari pada acara COP26 didedikasikan untuk mengambil perhatian akan energi bersih, melihat beberapa pengumuman inisiatif baru, dana dan janji untuk mengurangi dan mengakhiri penggunaan batubara, serta bahan bakar fosil yang paling kotor.

Ada empat sasaran dari COP26 di Glasgow pada November 2021, yaitu: (1) Amankan nol bersih global pada pertengahan abad ini dan pertahankan jangkauan 1,5 derajat Celsius di atas suhu bumi di awal Revolusi Industri; (2) Beradaptasi untuk melindungi masyarakat dan habitat alami; (3) Memobilisasi keuangan, dan (4) Bekerja sama untuk melaksanakannya.

 

Informasi tentang Progres Pembangunan Reaktor Fusi ITER.

ITER, yang merupakan singkatan dari International Thermonuclear Experimental Reactor adalah sebuah proposal eksperimen Tokamak (magnetic confinement fusion) yang dirancang untuk menunjukkan kemungkinan dari penggunaan reaktor tenaga fusi skala-penuh secara saintifik dan teknologi.  Reaktor nuklir fusi ITER didirikan pada 24 Oktober 2007di Cardache, Perancis Selatan.   ITER dibangun atas hasil riset yang dilakukan atas alat-alat seperti TFTR, JET, JT-60, dan T-15, dan akan lebih besar dari kesemuanya. Program ini diperkirakan akan berlangsung selama 30 tahun:  10 tahun untuk pembuatan, dan 20 tahun operasi serta menghabiskan biaya sekitar US$ 10 miliar.

Reaktor ini menggunakan prinsip Tokamak, dan karena itu dikenal sebagai pengembangan Tokamak. Tokamak merupakan singkatan dari kata-kata Rusia: toroidalnaya, kamera, magnitnaya.  Tokamak ditemukan oleh Igor Yevgenyevich Tamm dan Andre Sakharov sekitar tahun 1950 dan merupakan teknologi reaksi fusi yang paling populer saat ini.  Dilihat dari singkatannya, dapat digambarkan bahwa tokamak adalah reaktor berongga toroidal (bentuk donat) yang diselimuti oleh sejumlah kumparan kawat bermuatan magnet (magnetic confinement).

Reaktor diperkirakan akan dibangun dan memakan waktu 10 tahun, dan ITER telah merencanakan untuk menguji plasma pertamanya pada tahun 2020 dan mencapai fusi penuh pada tahun 2023.   Namun jadwal sekarang telah diubah, yaitu untuk menguji plasma pertama pada tahun 2025 dan fusi penuh pada tahun 2035.  Untuk menentukan tanggal pasti Plasma Pertama ITER, ratusan insinyur, teknisi, dan penjadwal bekerja selama hampir 18 bulan untuk merujukkan informasi terbaru dari produsen di lebih dari dua puluh negara dengan kemajuan konstruksi di lokasi. Sejumlah variabel juga diperhitungkan—seperti berapa banyak waktu yang dapat diperoleh dengan mempekerjakan lebih banyak spesialis atau menambah anggaran.  Dan hasilnya adalah kalender yang diperbarui dan tanggal baru untuk Plasma Pertama adalah pada Desember 2025.  Menurut proyeksi waktu, para ilmuwan ITER akan menjalankan eksperimen dengan daya input paling cepat tahun 2041 – hanya 18 tahun dari sekarang.  Maka pembangunannya akan menjadi lama karena dibangun sambil melakukan penelitian.

 

Tanggapan atas RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan.

Saat ini, RUU tersebut masih dalam tahap pembicaraan tingkat satu antara Panja DPR dan Panja perwakilan pemerintah. “Nuklir dapat meningkatkan bauran energi baru terbarukan dalam bauran energi nasional mencapai target net zero emission (NZE).  Selain itu Indonesia juga memiliki  bahan galian yang dapat diolah menjadi bahan bakar reaktor nuklir,” kata Dadan Kusdiana, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konversi Energi Kementerian ESDM di Jakarta.

Dari ulasan di atas, ternyata PLTN yang dibahas masih mengandalkan prinsip reaksi fisi, atau pembelahan atom untuk menghasilkan energi termal, yang mulai ditinggalkan oleh negara-negara penggunanya.  Alasannya adalah, bahwa limbah pellet nuklir yang telah melemah tidak dapat dibuang di sembarang tempat.  Limbah yang masih bersifat radioaktif ini memerlukan tempat penyimpanan limbah yang tidak boleh bocor.  Sifat radioaktif pada limbah tersebut berumur puluhan tahun, bahkan lebih dari seratus tahun.  Karena risiko bocor ketika disimpan dalam waktu lama, maka sudah barang tentu akan membutuhkan biaya perawatan limbah yang sangat mahal.  Sudah barang tentu biaya perawatan limbah tersebut akan dibebankan ke dalam tarif listrik yang dibayar oleh para pelanggan.  Apakah pemerintah siap memberi subsidi agar tarifnya tetap murah dan terjangkau masyarakat?

Tidak tertutup kemungkinan bahwa apabila Indionesia menerapkan reaktor nuklir reaksi fisi sebagai PLTN, akan banyak permintaan dari negara-negara pemakai PLTN untuk menitipkan agar limbah mereka disimpan/dibuang di wilayah Indonesia; meskipun mereka mungkin harus membayar mahal karena tidak ingin menyimpan limbahnya di negara mereka sendiri.  Pertanyaan lebih jauh, apakah kita rela bila negara-negara tersebut meletakkannya di wilayah Indonesia dengan menenggelamkannya di dasar laut-laut dalam di Indonesia?  Siapa yang dapat mengawasi kapal-kapal asing maupun domestik yang berada di perairan kita mungkin dititipi untuk menenggelamkan ribuan drum berisi limbah buangan PLTN yang masih bersifat radioaktif selama puluhan tahun?

Sepantasnya, masalah pembangkit listrik tenaga nuklir dihapus dari pasal-pasal yang ada di RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan.  Sebaliknya, potensi energi dari gelombang dan arus laut, sinar matahari, angin, energi geothermal, OTEC, yang jelas sangat ramah terhadap lingkungan patut diberi tempat dan menjadi sentral pembahasan dalam UU tersebut. Kita perlu mengingat kembali definisi “Pembangunan Berkelanjutan”, yaitu: pembangunan untuk memenuhi kebutuhan generasi masa kini tanpa membahayakan generasi yang akan datang dalam memenuhi kebutuhan mereka. 

Kiranya dapat menjadi perhatian dan pertimbangan kita bersama.

*) Prof. Atmonobudi Soebagio MSEE, Ph.D. adalah Guru Besar dalam bidang Energi Listrik dan Terbarukan pada Universitas Kristen Indonesia.

Artikel Terkait