Penulis: Edi Hardum, Doktor Ilmu Hukum, Advokat dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Tama Jagakarsa, Jakarta
ADA sejumlah kritikan terhadap Kabinet Pemerintahan Prabowo-Gibran yang diberi nama Kabinet Merah Putih. Antara lain terlalu gemuk yang bisa memboroskan anggaran negara.
Selain itu, ada sejumlah orang yang diangkat menjadi menteri dan setingkat menteri tidak mempunyai kapasitas. Mereka diangkat diduga sekadar balas jasa atas usaha mereka memenangkan Prabowo-Gibran pada Pilpres 2024.
Terlepas dari banyaknya kritikan terhadap Kabinet Merah putih ini, penulis menemukan sejumlah keunggulan.
Salah satu keunggulan Kabinet Merah Putih ini menurut penulis adalah adanya kementerian yang baru yakni Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan (PAS).
Kelihatan berwibawa dan garang kementerian baru ini karena dipimpin (menteri) oleh seorang Jenderal Bintang Tiga Polri yakni Komjen Agus Andrianto.
Penulis menyambut baik dibentuknya kementerian baru ini. Kenapa? Karena di bagian Imigrasi dan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) serta rumah tahanan (Rutan) termasuk tahanan di tinggkat Polri dan Kejaksaan sampai saat ini, masih menyimpan kalau tidak dikatakan memelihara masalah besar.
Di bagian Imigrasi misalnya begitu banyak calon pekerja migran Indonesia ilegal lolos ke luar negeri. Para calon pekerja migran ilegal ini umumnya menggunakan visa umroh, yang sepertinya bekerja sama dengan oknum petugas imigrasi.
Sementara di Lapas dan Rutan sungguh banyak dan pelik masalahnya, yang sepertinya dari menteri ke menteri (Menteri Hukum dan HAM selama ini) susah diberantas.
Bahkan penulis menduga bukannya tidak bisa diberantas atau dihilangkan masalahnya, tetapi memang sengaja dipelihara. Tulisan ini lebih fokus kepada persoalan Lapas serta usulan penuntasannya.
Permasalahan Lapas
Ada pun kondisi Lapas dan Rutan di Indonesia sampai saat ini, pertama, kelebihan kapasitas. Jumlah Lapas dan Rutan sampai saat ini sebanyak 525 unit.
Berdasarkan data Kementerian Hukum dan HAM per Maret 2021, dari 525 jumlah Lapas dan Rutan itu, sebanyak 404 Lapas dan Rutan atau setara dengan 77 persen total Lapas dan Rutan yang menampung penghuni melampaui kapasitasnya.
Masih menurut data Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), terdapat 252.384 warga binaan pemasyarakatan yang terdiri atas narapidana (napi) dan tahanan. Sementara kapasitas Lapas dan Rutan negara saat ini hanya untuk 135.704 orang.
Dari 33 Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) di Indonesia, hanya tiga yang secara keseluruhan daerah pembinaannya tidak mencatatkan kelebihan penghuni. Ketiga Kanwil tersebut adalah Daerah Istimewa Yogyakarta, Gorontalo, dan Maluku Utara.
Dampak buruk dari kelebihan kapasitas ini, pertama, bisa terjadi hubungan kelamin sesama jenis, perkelahian, bahkan kebakaran Lapas dan Rutan.
Kedua, penghuni Lapas dan Rutan didominasi napi narkoba. Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM melaporkan per Agustus 2021, dari 151.303 napi tindak pidana khusus sebanyak 96 persennya (145.413) adalah napi narkoba. Dari jumlah itu, sebanyak 116.930 pengedar, sementara sisanya (28.483) pengguna.
Wilayah dengan jumlah napi pengedar narkoba terbanyak adalah Sumatera Utara yakni 18.005 orang. Sedangkan napi pengguna narkoba paling banyak ada di wilayah Jawa Timur, yakni 4.821 orang. Jumlah tersebut masih lebih banyak dibandingkan dengan narapidana kasus korupsi yang hanya 4.671 orang.
Ketiga, maladministrasi. Maladministrasi ini ditemukan Ombudman tahun 2016. Dari analisa lembaga ini, diketahui potensi maladministrasi terkait pengajuan untuk potongan masa hukuman berupa pembebasan bersayarat (PB), cuti bersyarat (CB), dan lainnya.
Keempat, Lapas dan Rutan sebagai sarang narkoba. Data Badan Narkotika Nasional (BNN) tahun 2023 menyatakan, hampir semua Lapas di Indonesia menjadi sarang penjualan narkoba dari sebagai berbagai jenis.
Ketika pengedar jenis narkoba tertentu berinisial A ditangkap, A mengaku membeli dari B, ketika B ditangkap, B mengaku dari C, ketika C ditangkap, C mengaku dari D, ketika D ditangkap, D mengaku dari E yang E sedang ditahan dalam kasus tindak pidana narkotika di sebuah Lapas tertentu.
Realisasi Tujuan Hukum
Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) merupakan tahap akhir dari sistem peradilan pidana (criminal justive system). Sistem peradilan pidana yakni mekanisme kerja dalam penanggunggulangan kejahatan dengan menggunakan dasar pendekatan sistem (Mardjono Reksodiprojo, 2020).
Sistem peradilan pidana sendiri terdiri dari empat sub-sistem yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan Lapas. Pidana penjara merupakan pidana pokok yang kedua setelah pidana mati (Pasal 10 ayat 1 KUHP). Pidana penjara diancamkan untuk seseorang yang telah melakukan kejahatan.
Keberadaan Lapas dan Rutan merupakan realisasi dari tujuan penegakan hukum. Menurut Sudikno Mertokusumo ada tiga tujuan dari penegakan hukum yakni, kepastian hukum (rechtssicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan keadilan (gerechtigkeit) ((Mertokusumo, 2008:160).
Prinsip dasar dari kepastian hukum adalah bumi runtuh hukum harus tetap ditegakkan (fiat justitia et pereat mundus). Kepastian hukum merupakan perlindungan masyarakat dari tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu.
Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan ketertiban masyarakat.
Selanjutnya, masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan hukum adalah untuk manusia. Maka pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus memberikan manfaat atau kegunaan bagi masyarakat.
Selain itu, masyarakat sangat berkepentingan bahwa penegakan hukum harus adil. Menurut teori etis hukum semata-mata bertujuan keadilan.
Hakekat keadilan adalah penilaian terhadap suatu perlakuan atau tindakan dengan mengkajinya dengan suatu norma yang menurut pandangan subjektif melebihi norma-norma lain.
Tiga dari tujuan hukum tersebut akan menjadi pepesan kosong kalau keberadaan lapas dan rutan banyak masalah sebagaimana disebutkan di atas. Keberadaan lapas dan rutan sampai saat ini sebagaimana disebut di atas, bukan untuk mendidik “penjahat” menjadi orang baik tetapi justru menjadi tambah jahat.
Saran
Apakah Prabowo membentuk Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan karena sudah mengetahui masalah-masalah seperti di atas supaya masalah-masalah tersebut dihilangkan?
Penulis menduga dan berharap demikian. Oleh karena itu, penulis sarankan, pertama, untuk menghilangkan over kapasitas, lapas dan rutan sebaiknya tahanan dan napi kasus narkoba ditempatkan di lapas-lapas khusus narkoba.
Konsekuensinya pemerintah harus membangun banyak lapas. Sebaiknya lapas-lapas narkoba dibuat di pulau-pulau tersendiri dan terpencil seperti Nusa Kambangan atau pulau-pulau kecil lain di Indonesia.
Hal seperti ini penting dilakukan agar pengedar narkoba tidak mengirim narkoba ke lapas sebagaiman sering terjadi sampai saat ini. Bahkan sampai saat ini, tidak sedikit napi narkoba mengendalikan pengedaran narkoba dari balik lapas.
Kedua, petugas lapas yang sudah ada di Indonesia saat ini sebaiknya kembali dididik dan diberi pelatihan untuk bagaimana bertugas sebagai petugas yang antisogok dari warga binaan terutama pemakai dan pengedar narkoba.
Ketiga, gaji petugas lapas harus dinaikkan tiga kali lipat supaya mereka tidak tergoda sogokan dari warga binaan.
Keempat, petugas lapas yang terlibat maladministrasi atau bermain kotor harus dipecat dan dihukum penjara. Untuk ini, maka perlu dibuat undang-undang khusus atau merevisi UU Lapas yang sudah ada.
Penulis berharap dengan adanya Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan dan menterinya adalah polisi dengan pangkat jenderal bintang tiga bisa mengatasi masalah di lapas dan rutan.
Lapas dan rutan harus menjadi tempat mendidik orang jahat menjadi orang baik, bukan malah orang jahat tambah jahat. Semoga ya Bapak Menteri !