Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan keteguhan tekadnya dengan dalih Undang-Undang untuk menaikkan PPN sebesar 12 persen (sebelumnya 10%, lalu April 2022 naik 11%) yang berlaku efektif 1 Januari 2025. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas penyerahan barang dan jasa kena pajak. PPN bersifat tidak langsung dan dipungut oleh PKP, yang berkewajiban menyetorkan pajak ini ke kas negara berdasarkan UU HPP. Pertanyaannya, apakah hanya pungutan pajak yang masuk ke kas negara? Lalu, bagaimana halnya dengan pungutan bea cukai dan dana hasil sitaan korupsi?
Adapun, mekanisme PPN melibatkan perhitungan pajak keluaran dan pajak masukan, di mana selisih antara keduanya menentukan apakah pengusaha harus menyetorkan pajak atau mendapatkan restitusi/mengkreditkan pajak. Peraturan terbaru tersebut juga memperluas objek pajak dengan mengeluarkan beberapa barang/jasa dikenakan PPN. Namun, barang-barang kebutuhan pokok, pendidikan, kesehatan, dan layanan sosial tetap bebas dari PPN bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Meskipun, ke-3 sektor tersebut tidak dikenakan PPN tapi faktanya masyarakat telah membayar berbagai iuran yang tak sedikit bebannya, seperti BPJS, SPP/UKT dan pungutan di tingkat RT/RW.
Walaupun berdasarkan UU, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati harus menjelaskan kerangka rasional (logical framework) alasan kenaikan PPN ini selain kepatuhan dan tunduk kepada peraturan dan per-Undang-Undangan berlaku. Sebab, ditengah pertumbuhan ekonomi yang masih stagnan diangka 4-5 persen dan deflasi selama 4 bulan lebih sebesar 0,03-0,08 persen justru "memaksakan" penerapan UU ini tindakan kerusakan moral (moral hazard) luar biasa, apalagi Menkeu juga representasi kelompok wanita dan Ibu Rumah Tangga yang lebih mengedepankan hati nurani. Wujud dari ketidakpahaman dalam mengatasi permasalahan regional, sektoral dan kultural serta hanya menggunakan pendekatan neo klasik dalam teori ekonomi!
Bahkan, jika alasan untuk menggenjot penerimaan negara dari sumber pajak-pun juga tidakmenemukan alasan logisnya. Sebaliknya, kenaikan PPN ini kontraproduktif dengan visi *Asta Cita* Presiden Prabowo Subianto dalam menjalankan berbagai program sektoral krusial, khususnya pangan (food) dan energi (energy) untuk mencapai sasaran (target) pertumbuhan 8-10%. Apalagi, pada tahun 2023, penerimaan pajak sejumlah Rp1.869,2 triliun mengalami peningkatan, adapun PPN dan PPnBM mencapai Rp764,3 triliun. Jika, PPN naik menjadi 12%, maka tambahan untuk PPN hanya sekitar Rp20,26 triliun dan tidak signifikan. Pertanyaannya, lalu apa motif kenaikan PPN ini yang UU-nya disahkan juga oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia?