Oleh: Swary Utami Dewi
Hari ini Hari Guru Nasional. Beberapa kawan menaruh semacam poster atau flyer ucapan selamat di grup-grup WhatsAp (WA). Ini membuatku teringat akan guruku yang banyak dan hampir semua istimewa. Di taman kanak-kanak (TK) ada Tanteku sendiri yang ikut mengajar. Aku yang iseng dan gemar bertanya apa pun dari kecil, ia layani dengan sabar. Lalu ada beberapa guru sekolah dasar (SD), baik di Palangkaraya dan Jambi yang melekat erat di benak. Juga guru sekolah menengah pertama (SMP).dan sekolah menengah atas (SMA), plus guru-guru di kampus untuk berbagai tingkatan.
Aku menjapri beberapa nomor yang masih ada di handphone-ku dan mengirimkan poster itu. Ibu Umi Saptaningsih, guru tersayangku di SMA Negeri 1 Kota Jambi begitu cepat membalas.
"Masya Allah....😭😭
Terima kasih masih ingat sama Ibu🙏🏻. Semoga Tami selalu sehat dan bahagia .Aamiin...
Salam untuk kawan-kawan Tami di SMANSA 🤝🤝"
Itu asli balasan WA Bu Umi, yang membuatku bahagia.
Sebelumnya juga aku menjapri Ibu Sayekti dan juga mendapat kembali nomor Bu Tita. Semuanya guru di SMAN 1 Jambi. Aku selalu ingat semua guruku, yang saat kupikir-pikir, bisa dengan sabar mendidik dan mengasuhku dan kawan-kawan, yang saat itu minta ampun nakalnya. Di SMA, kami sekelas punya kebiasaan kabur bersama dengan cara memanjat tembok atau pagar sekolah. Jika guru sedang di depan kelas, terkadang ada kapal terbang kertas melayang sampai ke depan guru. Atau mendadak ada sepak bola dengan kaleng, balon percobaan kelas fisika pecah di kelas dan sebagainya. Wali kelas saat itu, Bu Umi pernah tersedu menangis karena kelakuan murid-murid di kelas. Tapi esoknya, sesudah kami dijemur ramai-ramai -- dan aku tak pernah tahan lama di bahwa matahari terik dan langsung pingsan dalam 15 menit -- para guru akan masuk kelas lagi dengan santai dan sabar. Seolah kenakalan kami tak membuat mereka jera. Betul-betul tahan banting.
Untuk guru-guru SD dan SMP aku tidak lagi punya nomor mereka. Untuk, dosen-dosen, masih ada beberapa nomor mereka yang kusimpan. Aku terkadang masih menjapri para dosen, atau menyapa di grup kampus. Semua, kurasa, sudah menjadi teman baik bagiku.
Para guruku, dari TK hingga perguruan tinggi, berjasa dalam membentuk diriku yang sekarang. Pendidikan karakter diberikan sejak aku kecil, dari TK. Di SD aku belajar keberanian bersuara dan melakukan banyak aktivitas tanpa merasa lelah. Di SMP dan SMA aku belajar tentang kesabaran dan ketangguhan dari para guru, yang sanggup melayani kenakalan dan keingintahuan para remaja berusia tanggung.
Saat kuliah, aku belajar mengembangkan jaringan dan pengabdian masyarakat. Beberapa aku dapatkan langsung dari dosen yang menghubungkanku dengan banyak pihak. Dunia rasanya terbuka lebar.
Pendeknya, dari semua guru, aku dibentuk untuk bisa berpikir kritis, punya empati dan berani bersikap. Idealisme dibentuk dari kecil hingga berkuliah.
Aku berpikir, para guru ini dalam berbagai tingkatan adalah orang-orang yang betul-betul mengabdi tanpa pamrih. Mereka juga bisa dengan sabar menjadi orang tua, dan kemudian sahabat. Tak ada hitung-hitungan waktu dengan guru. Tak ada pula hitungan rupiah. Pendapatan bulanan guru tak bisa membuat mereka kaya. Tapi dedikasi guru tak pernah diragukan.
Tapi apakah mereka korupsi? Punya kasus pungli? Hilang kesabaran hingga berbuat kasar kepada murid atau berbicara tak pantas? Tak pernah. Guru-guru yang kukenal adalah para guru sejati yang memberikan hidupnya bagi murid-muridnya. Yang bahagia melihat muridnya "jadi orang". Yang dalam sapa mereka selalu ada doa terbaik untuk muridnya.
Meski tak semua guru atau dosen diganjar penghargaan sebagai guru atau dosen terbaik atau teladan, bagiku, mereka semua adalah pembentuk manusia beradab yang punya hati trenyuh dan tersentuh akan ketidakadilan, para manusia yang berani berkata tidak pada penindasan, korupsi dan berbagai tindakan tak beretika.
Kini, banyak yang berkata dan merasakan bahwa Indonesia sedang berada di situasi yang tak baik-baik. Dunia pendidikan terkadang juga mendapat imbas dari carut-marut isu yang sedang terjadi. Etika banyak yang hilang menguap. Tindakan koruptif tengah merajalela. Maka selalu diperlukan tangan-tangan bakti para guru sejati, yang dengan teguh selalu punya keyakinan, bahwa guru tak sekedar mengajar, tapi mendidik. Bahwa guru punya tugas sejati dalam membentuk dan mempertahankan kecerdasan dan integritas untuk peradaban dan kemanusiaan.
Terima kasih para guruku. Kalian telah dan selalu berjasa untukku. Juga untuk negeri ini. Selamat Hari Guru.