Opini

Tatkala Sorgum Dilupakan dan Gandum Masih Dipelajari

Oleh : luska - Minggu, 11/05/2025 14:08 WIB


Oleh Diana Widiastuti

Tatkala matahari menorehkan jejaknya pada cakrawala, dan angin membawa bisikan musim yang tak terduga, di sanalah sorgum berdiri, tegar di antara retakan bumi yang haus. Ia adalah jelmaan ketabahan, seperti batu karang yang menantang gelombang, seperti pohon tua yang menggenggam tanah dalam gigil angin gurun.

Sementara gandum menanti dalam lahan yang subur, merengek pada langit untuk hujan dan tanah yang empuk, sorgum menegakkan tubuhnya tanpa keluh. Ia tak butuh kemanjaan, hanya setia pada matahari yang membakar, pada tanah yang berbisik tentang masa silam dan janji akan hari esok.

Di padang-padang yang tak lagi hijau, ketika dedaunan mengering menjadi serpihan kenangan, sorgum tetap hidup. Ia mengenang leluhur yang dahulu menggenggam bijinya, memanggil arwah mereka dalam setiap hembusan angin yang membawa debu dari utara. Dalam keheningan itu, ia adalah pengingat bahwa kekuatan bukan hanya tentang pertumbuhan, tetapi tentang bertahan.

Namun, dalam dunia yang sering lupa pada akar dan terburu mengejar langit, sorgum sering terlupakan. Ia tak dirayakan dalam festival musim panen, tak dipuja dalam puisi cinta yang bergelora. Namun, ia tetap ada – seperti gunung yang diam, seperti bintang yang setia menanti malam.

Sorgum adalah sebuah pelajaran tentang kesederhanaan yang kokoh, tentang keheningan yang penuh makna, dan tentang kehidupan yang tak pernah menyerah meski dilupakan. Dan mungkin, suatu hari nanti, tatkala dunia kembali mencari akar dalam ketidakpastian, ia akan kembali ditemukan – bukan sebagai bayangan dari gandum, tetapi sebagai dirinya sendiri, yang kuat, yang bertahan, yang terus hidup.

Artikel Lainnya