
Jakarta, INDONEWS.ID - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengungkapkan adanya perdebatan antara anggota TNI dengan koordinator pekerja sipil sesaat sebelum terjadi ledakan maut yang menewaskan 13 orang di Desa Sagara, Kecamatan Cibalong, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Peristiwa tragis itu terjadi pada 12 Mei 2025, dalam rangkaian kegiatan pemusnahan amunisi oleh Pusat Peralatan TNI Angkatan Darat (Puspalad).
Dalam konferensi pers yang digelar di Kantor Komnas HAM, Jumat (23/5/2025), Anggota Komnas HAM Uli Parulian Sihombing menjelaskan bahwa perdebatan terjadi antara Komandan Gapusmus (Gudang Pusat Amunisi) dengan koordinator pekerja warga sipil bernama Rustiawan. Perselisihan itu terkait metode penanganan sisa detonator.
"Biasanya, sisa detonator dimusnahkan dengan cara ditenggelamkan ke laut agar lebih aman dan cepat tidak berfungsi. Namun pada hari kejadian, dipilih metode berbeda, yakni dengan cara ditimbun menggunakan campuran urea," kata Uli.
Menurut Uli, ledakan terjadi saat para pekerja menurunkan drum berisi sisa detonator ke dalam lubang tanah. Beberapa orang berada di dalam lubang, sementara yang lain berada di sekitarnya untuk mengangkut material. "Tiba-tiba, drum yang berisi detonator itu meledak," ujarnya.
Akibat ledakan tersebut, sebanyak 13 orang meninggal dunia, terdiri dari empat personel TNI dan sembilan warga sipil. Kegiatan pemusnahan amunisi ini merupakan bagian dari gelombang kedua yang dilakukan oleh Gudang Pusat Amunisi III (Puspalad TNI-AD), dan dijadwalkan berakhir pada hari yang sama dengan kejadian nahas tersebut.
Komnas HAM mencatat bahwa kegiatan ini telah berlangsung dalam dua tahap sepanjang 2025. Tahap pertama dilakukan oleh Gudang Pusat Amunisi I pada 17 April hingga 5 Mei, dan gelombang kedua oleh Gudang Pusat Amunisi III dari 29 April hingga 15 Mei.
"Setiap kegiatan pemusnahan biasanya melibatkan satu pleton TNI, terdiri dari 30 hingga 50 prajurit, serta didukung tenda tempat tinggal, penyimpanan amunisi, dan dapur umum. Selain itu, sebanyak 21 warga sipil turut dipekerjakan sebagai tenaga harian lepas," jelas Uli.
Komnas HAM terus mendalami peristiwa ini, termasuk aspek keselamatan kerja dan protokol penanganan bahan peledak. Dugaan awal menyebutkan bahwa ledakan berasal dari sisa detonator yang belum sepenuhnya aman saat proses penimbunan berlangsung.
Peristiwa ini menimbulkan keprihatinan luas dan mendorong desakan terhadap TNI untuk mengevaluasi prosedur standar operasional dalam pemusnahan amunisi, terutama yang melibatkan pekerja sipil.