
Jakarta, INDONEWS.ID - Pada suatu Minggu malam yang tenang, 8 Juni 2025, sebuah gedung yang terang benderang di Jakarta Selatan menjadi tempat berkumpul yang istimewa.
Para alumni SMA Pangudi Luhur dari berbagai generasi berkumpul kembali, bukan sekadar untuk bernostalgia, tetapi untuk merenungkan perjalanan bersama—sebuah perjalanan yang berakar pada semangat pengabdian kepada bangsa.
Pertemuan makan malam santai yang diselenggarakan di sudut ibu kota yang mewah ini bukan sekadar ajang sosial. Ini adalah bukti sunyi dari sebuah persaudaraan yang telah melampaui batas-batas sekolah mereka dahulu.
Mereka adalah orang-orang terpilih yang pernah mendapat kesempatan menempuh pendidikan di luar negeri. Terlibat dalam penyelesaian berbagai peristiwa penting, merumuskan rencana pembangunan nasional lima tahunan maupun jangka panjang di era Presiden Soeharto dan Habibie. Mereka juga menjadi bagian dari perancang masa reformasi saat Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati, dan SBY menjabat sebagai Presiden.
Benang merah yang menghubungkan para tokoh ini? Komitmen mendalam terhadap pembangunan nasional melalui kiprah mereka di Bappenas—Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.
Dari teknokrat senior hingga visioner yang kredibel, semua telah memberikan kontribusi dalam membentuk masa depan Indonesia dengan cara mereka masing-masing. Cerita mereka berpusat pada strategi perencanaan yang mencakup segalanya, mulai dari sistem irigasi pedesaan hingga negosiasi ekonomi tingkat internasional.
Sambil menyeruput kopi dan berbagi cerita, mereka mengenang masa-masa awal ketika harus menghadapi kerumitan reformasi pertanian, fasilitasi perdagangan, hingga pembangunan infrastruktur.
Bagi banyak dari mereka, Bappenas adalah kawah candradimuka yang menguji kecerdasan dan keteguhan. Namun di sanalah juga terjalin ikatan seumur hidup, dibangun atas dasar saling menghormati dan satu tujuan mulia: membangun Indonesia yang lebih kuat dan lebih adil.
Tanggung jawab mereka mencakup sektor yang luas—pembangunan daerah, pengawasan pinjaman luar negeri, bahkan perencanaan kebijakan pertahanan dan politik yang sensitif.
Pengalaman itu bukan hanya bersifat administratif, melainkan juga sangat personal. Bagi mereka, statistik bukan sekadar angka—tetapi kisah tentang kehidupan yang berubah, masyarakat yang terangkat, dan masa depan yang terbuka.
Perjalanan mereka tidak berhenti pada perencanaan nasional. Beberapa alumni kemudian berkiprah di kancah internasional, bekerja di lembaga bilateral maupun multilateral, terutama dalam bidang pembiayaan infrastruktur dan perbankan pembangunan.
Sementara yang lain memilih jalur akademik, mencerdaskan anak bangsa di universitas-universitas ternama Indonesia, didorong oleh panggilan hati untuk menyiapkan generasi pembangun negeri berikutnya.
Meski waktu terus bergulir, beban tanggung jawab tetap terasa sama. “Waktu terus berjalan tetapi tugas tak pernah mau berhenti,” ujar seorang alumni senior. Memang benar, seiring dengan perkembangan Indonesia, tantangan pun ikut berubah. Namun semangat pengabdian yang ditanamkan di Pangudi Luhur—dan diasah di Bappenas—tetap menjadi cahaya penuntun.
Reuni ini bukan hanya tentang kenangan; melainkan juga arsip hidup dari perjalanan pembangunan Indonesia. Dari sawah di Jawa hingga zona ekonomi baru di Papua, jejak mereka tertoreh dalam cetak biru nusantara. Jarang ada pertemuan yang bisa menghadirkan diskusi tentang desentralisasi fiskal sehangat tawa mengenang masa-masa sekolah menengah.
Di balik dokumen kebijakan dan rencana pembangunan, ada kisah kemanusiaan—kisah orang-orang yang memilih untuk mengabdi, untuk bertahan, dan untuk membentuk masa depan. Mereka menolak godaan sektor swasta atau peluang di luar negeri demi sebuah panggilan yang lebih tinggi dari kepentingan pribadi. Inilah esensi dari Berbakti dengan Sukarela Hati—sebuah ikrar pengabdian yang suci.
Persaudaraan mereka, yang dibangun di ruang kelas dan dewasa di ruang rapat, terus hidup. Dengan kerendahan hati dan kebijaksanaan, mereka meneruskan obor kepada para profesional muda, memastikan bahwa nilai-nilai integritas, keunggulan, dan kolaborasi tetap lestari.
Di tengah zaman yang sering diwarnai oleh sinisme, kisah para alumni Pangudi Luhur ini menghadirkan harapan. Bahwa membangun bangsa, bila berakar pada persaudaraan dan tujuan mulia, tetap menjadi salah satu panggilan paling luhur. Dan bahwa, terkadang, kekuatan sunyi dari sebuah reuni mampu menerangi betapa besar dampak dari komitmen bersama demi Indonesia yang lebih baik.*