
Jakarta, INDONEWS.ID - Tak hanya satu atau dua kali, sampah sering kali menjadi biang permusuhan warga. Bahkan konflik sampah tersebut bukan saja melibatkan antara individu tetap juga antara kelompok warga.
Banyak daerah yang mengalami konflik bahkan bencana akibat sampah. Lebih dari sekadar isu kebersihan dan kesehatan lingkungan, akumulasi sampah yang dibiarkan menumpuk menjadi pemicu konflik sosial antar warga, entah karena bau-nya yang mengganggu, atau tumpukan yang semakin bergeser.
Kurangnya kesadaran warga akan dampak dari pembuangan sampah yang dilakukan sembarangan, kurangnya upaya dari pemerintah dalam menangani permasalan sampah dan kurangnya pengolahan sampah, menjadi pemicu konflik.
Dibeberapa daerah, lahan pembuangan sampah ilegal dapat menimbulkan ketegangan, perdebatan hingga perpecahan di masyarakat. Bukan hanya karena letaknya namun juga tanah yang digunakan, dan bau yang menyengat.
Konflik akibat sampah merupakan masalah nyata yang dapat merusak hubungan sosial di masyarakat.
Hal itu terjadi di Lingkungan Krajan, Kadipaten, Ponorogo, Jawa Timur. Seperti ditulis oleh Najwa Ayunda Aszahra, seorang mahasiswi, belum lama, sampah menjadi pemicu konflik antar warga. Bukan hanya terkait sampah, namun juga lahan yang digunakan untuk pembuangan sampah warga sekitar.
Konflik pertama muncul pada tahun 2024. Lahan sampah menjadi pemisah antar warga di Lingkungan Krajan. Hal ini bermula ketika lahan sampah yang berada di belakang rumah warga ditutup oleh pemilik lahan.
Setelah sekian lama lahan tersebut dijadikan tempat untuk pembuangan sampah oleh warga sekitar, tiba-tiba ditutup oleh pemilik lahan.
Menurut salah satu warga, Pak Amir, lahan tersebut sudah digunakan sejak lama oleh warga. Awal mula konflik terjadi sekitar tahun 2024.
Akhirnya, pemilik lahan meminta warga untuk tidak membuang sampah di lahan miliknya.
Namun, karena warga tidak mengindahkan hal tersebut, maka pemilik lahan menutup lahan tersebut dengan pagar bambu dan tanaman.
Pemilik lahan akan menggunakan tanah tersebut untuk membangun rumah. Namun warga melihat lahan tersebut kurang cocok untuk dibangun rumah. Selain sebagai lahan pembuangan sampah warga, tanah tersebut juga tidak rata karena dulunya adalah kubangan air. Selain itu warga masih meyakini bahwa tanah tersebut angker karena ada sumur tua di dekat lahan tersebut serta warga juga mempertanyakan mengapa baru sekarang pemilik lahan meminta tanahnya kembali - setelah sekian lama digunakan warga sebagai tempat pembuangan sampah.
Walaupun begitu pemilik lahan tidak menggubris perkataan warga. Di saat konflik sedang memanas, sebagian warga memang telah membuang sampah ke tempat yang legal, yang jaraknya agak jauh dari rumah warga. Namun, masih ada saja warga yang membuang sampah di lahan tersebut.
Menimbang lahan tersebut sudah sejak lama menjadi tempat pembuangan sampah oleh warga sekitar, dan mengingat pemilik lahan membutuhkan modal banyak untuk dibangunkan rumah, maka dalam hitungan minggu, akhirnya warga dan pemilik lahan menemukan kata damai.
Lain lagi di Tanjungrejo, Kudus, Jawa Timur. Penutupan sementara Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Tanjungrejo memicu keresahan warga Kudus, terutama di kalangan anggota Komunitas Sampah Wilayah Kudus (KSWK). Sampah yang tidak diangkut menjadikannya menumpuk di berbagai desa.
Sesepuh KSWK, Edi Sukamto, mengungkapkan keprihatinannya atas situasi tersebut. Dia berharap pihak terkait segera menyelesaikan masalah ini secara berkelanjutan untuk mencegah konflik lebih besar.
“Warga sudah gembor semua karena sampah menumpuk. Kalau tidak diambil satu dua hari saja, sudah parah. Apalagi sekarang TPA ditutup. Kami bingung mau membuang sampah ke mana,” bebernya usai audiensi dengan pihak TPA Tanjungrejo, Jumat (17/1/2025) lalu.
“Kalau tidak segera ada solusi, protes warga bisa lebih parah. Kami minta ada win win solution,” tegasnya.
Hal senada juga dikatakan oleh anggota KSWK lainnya, Agus. Menurutnya, komunitas yang bergerak dalam pengangkutan sampah menggunakan bentor kini mendapat protes dari masyarakat. Sebab, dua hari semenjak penutupan TPA, sampah dari warga tak bisa dibuang.
“Kami hanya bisa menunggu. Tapi jika terlalu lama, penumpukan sampah di desa akan semakin parah. Ini bisa memicu konflik antara petugas sampah dan warga. Kami hanya ingin ada solusi cepat dan konkret agar sampah bisa segera diangkut kembali,” tuturnya.
Sementara itu, Kepala UPT TPA Tanjungrejo, Eko Warsito, menjelaskan, saat ini pihaknya berupaya membangun 12 kolam lindi sementara dengan ukuran masing-masing 8×5 meter.
“Kolam ini sifatnya sementara untuk mengantisipasi pencemaran limbah. Kami juga sudah mulai memesan tanah urug dan tiga hari kedepan bekerja lembur agar volume sampah di Kudus dapat dibuang kembali,” tambah Eko
Mengolah Sampah Jadi Listrik
Persoalan sampah tersebut akhirnya membuat pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kudus berupaya menyelesaikannya. Baik berupa memanfaatkan sampah organik menjadi pupuk, maupun mengubah sampah anorganik menjadi bahan bakar melalui sistem RDF (Refuse Derived Fuel) dan lainnya.
Bupati Kudus, Sam’ani Intakoris mengungkapkan, beberapa waktu lalu ada investor yang menawarkan kerja sama untuk mengolah sampah di Kudus menjadi energi listrik.
“Iya ada tawaran (mengolah sampah menjadi listrik), dari Malaysia,” ujar Bupati saat ditemui usai peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia di Kantor Dinas PKPLH Kudus pada Kamis, 5 Juni 2025.
Orang nomor satu di Kudus itu melanjutkan, tawaran tersebut masih dalam proses kajian oleh pemerintah daerah. Untuk menyesuaikan tentang regulasi maupun aturan-aturan yang berlaku.
“Sedang kita kaji sesuai regulasi dan tidak melanggar aturan-aturan,” tegas Bupati Sam’ani seperti dilansir zonanews.id.
Kepala Dinas Perumahan Kawasan Pemukiman dan Lingkungan Hidup (PKPLH) Kabupaten Kudus, Abdul Halil menyampaikan bahwa kerja sama mengolah sampah menjadi listrik masih dalam kajian lebih lanjut oleh tim yang sudah ditunjuk Bupati.
Termasuk tim dari Dinas PKPLH Kudus juga sedang membahas lebih lanjut mengenai dampak positif dan negatif dari kerja sama tersebut.
“Dari tim LH sedang membahas lebih lanjut plus minusnya. Memang sempat ada tawaran (mengolah sampah jadi listrik) tapi sampai sekarang belum tahu (progres dan hasilnya),” ujar Halil.
Dirinya melanjutkan, dari investor tidak memberikan banyak syarat bagi Kabupaten Kudus dalam rangka pengolahan sampah menjadi listrik.
Kabupaten Kudus hanya diminta untuk menyediakan lahan sebagai lokasi pengolahan. Sedangkan sarana prasarana lainnya difasilitasi oleh investor.
“Namun kembali lagi, semua perlu kajian lebih lanjut,” tegas Halil.
Di sisi lain, saat ini Kabupaten Kudus sebentar lagi akan teken kerja sama dengan PT Semen Gresik Indonesia dalam pengolahan sampah anorganik.
Kemudian, bekerja sama dengan PT Pura, Kabupaten Kudus juga telah menyediakan lokasi pengolahan sampah anorganik menjadi bahan bakar menggunakan sistem RDF.
Alat pengolah sampah yang disiapkan PT Pura pun hampir selesai dikerjakan dan lokasi yang disiapkan Pemkab Kudus juga sudah tersedia, sehingga sampah bisa segera diolah menjadi bahan bakar.
Darurat Pengelolaan Sampah
Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq mengatakan bahwa Indonesia saat ini sudah darurat sampah. Karena itu, dia mengajak Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI) agar merumuskan solusi penanganan darurat sampah.
“Sampah kita lagi konflik ya, lagi menjadi konflik ini antara pemerintah dan masyarakat dan boleh dikatakan dibahas di Asosiasi Pemerintah Kota tentang darurat sampah,” katanya saat kunjungan kerja di Kebun Binatang Surabaya, Rabu (7/5/2025).
Menurutnya, warga belum mampu membangun tanggung jawab penanganan sampah. Semua membebankan ke pemerintah daerah.
“Ini serius, harus kita tangani karena kita belum mampu membangun tanggung jawab penanganan sampah. Kita masih membebankan penanganan sampah itu di pemerintah (pusat) atau pemerintah daerah. Ini jelas tidak mungkin terus menerus seperti ini,” ujarnya.
Sementara, Pemerintah juga belum menerapkan denda bagi masyarakat yang menyebabkan polusi. Sehingga, kesadaran untuk tidak membuang sampah sembarangan masih rendah.
“Undang-undang 32 Tahun 2009 tentang perlindungan lingkungan hidup, maka kita mengenal prinsip yang kita sebut dengan siapa yang menyebabkan polusi harus membayar. Ini yang belum diterapkan,” ucapnya.
Dia mengatakan, penanganan sampah di Indonesia masih 39 persen. Targetnya tahun ini meningkat jadi 51 persen.
“Bapak Prabowo Presiden melalui Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2025, target pengelolaan sampah selesai di 2029,” pungkasnya. *