
Jakarta, INDONEWS.ID - Ada ungkapan yang mengatakan masih lebih baik selama 60 tahun kamu diperintah oleh pemerintahan yang bodoh dan jahat, daripada 1 malam tanpa ada kehadiran pemerintahan.
Jika hal ini diberlakukan dalam dunia kepolisian ungkapan tersebut menjadi ”masih lebih baik jika selama 60 tahun dengan polisi yang jelek, daripada 1 malam kehidupan tanpa polisi”. Karena berarti keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas) tidak terkendali, dan masyarakat tidak ada yang melindungi.
Pernyataan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) yang juga mantan Menkopolhukam Mahfud MD itu mengutip pernyataan cendekiawam Islam Ibnu Taimiyah yang sudah dimodifikasi.
Pendapat Ibnu Taimiyah tersebut sebenarnya bicara tentang pemerintahan yang zalim, yang berbunyi, "60 tahun dengan pemerintahan tiran, lebih baik daripada semalam tanpa pemerintahan".
Pendapat Ibnu Taimiyah tersebut, dicetuskan pada sekitar 1256 Masehi bersamaan dengan jatuhnya Baghdad ke tangan pasukan Tartar. Usai peperangan terjadi kekosongan pemerintahan sehingga terjadilah kerusuhan dan kekacauan.
Hal itu dikatakan Mahfud dalam acara Universitas Paramadina – Meet The Leaders dengan tema ‘’Lead With Law, Stand With Integrity : Break The Chain of Corruption in Indonesia’’ pada Sabtu (28/6/2026). Acara itu menghadirkan pembicara Prof. Mahfud MD, dengan kata sambutan oleh Rektor Universitas Paramadina, Prof Dr Didik J Rachbini.
Mahfud mengatakan, hukum dalam masyarakat adalah kebutuhan sangat penting. ”Adagium di mana ada masyarakat, di situ ada hukum. Tidak mungkin ada masyarakat tanpa adanya hukum. Hal tersebut diperlukan untuk menjamin keamanan dan ketertiban dalam rangka mengamankan warga masyarakat untuk menuntut hak-nya masing-masing,” ujarnya.
Menurutnya, demokrasi tanpa tegaknya hukum akan menimbulkan anarkisme liar. Tapi jika hukum tidak dibuat secara demokratis maka yang timbul adalah kesewenang-wenangan.
”Hukum dan politik interdependen atau saling tergantung. Maka keduanya harus dibangun seimbang, tidak boleh yang satu di atas yang lain,” kata Mahfud.
Di Indonesia, interdependensi sering mengalami turun naik. Kadang demokrasi di sebuah negara lebih menonjol, sementara hukum yang bagus dibangun oleh politik yang demokratis.
Di awal pemerintahan Sukarno, kata Mahfud, demokrasi adalah demokrasi liberal, dan hal itu baik. Sementara hukum-hukumnya berjalan relatif. Tapi memasuki tahun 1957 sampai 1965, Sukarno menjadi otoriter dan sewenang-wenang.
Pada masa Suharto, di era 1966 – 1969 demokrasi dan hukum berjalan baik. Tapi mulai tahun 1971 keadaan mulai memburuk, dan 1978 mulai terjadi praktik-praktik korupsi dan seterusnya. Sehingga rezim Suharto dikenal pada akhirnya sebagai rezim korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Dan hal ini dimuat pada Tap MRP No 15 dan Juga UU No. 28, juga di beberapa aturan hukum lain.
Pada era awal reformasi kehidupan berjalan baik. ”Demokrasi bagus, dibentuk lembaga-lembaga penegak hukum untuk mengimbangi kekuatan pemerintah. Kekuasaan presiden yang semula dominan, lalu digeser ke DPR. Dibentuklah KPK, MK, KY dan seterusnya. Sampai 2007-2009-2015 semuanya masih berjalan baik,” kata Mahfud.
Namun memasuki periode kedua Presiden Joko Widodo (Jokowi), mulai terjadi ketidakberesan hukum dan aturan. ”Terjadi jual beli suara, korupsi marak, dan seterusnya. Sampai bahkan saat ini kita punya wajah buruk tentang Indonesia kita,” imbuhnya.
Dalam buku ’’Paradox Indonesia’’ yang ditulis oleh Prabowo (terbit 2017), disebutkan antara lain bahwa Indonesia saat ini dikuasai oleh oligarki. Pengusaha superkaya yang kemudian mengendalikan keputusan-keputusan politik dan ekonomi.
Karena itu, domain politik dan ekonomi Indonesia yang semula demokrasi Pancasila dan ekonomi kerakyatan-konstitusi kemudian menjadi rusak parah. Hal inilah yang membuat Prabowo turun ke gelanggang politik dan membentuk parpol dan menjadi calon presiden, antara lain untuk memperbaiki hal di atas.
Paradoks Indonesia
Mahfud MD mengatakan, ada 8 hal yang dicatat Prabowo dalam bukunya. Pertama, Indonesia ini kaya raya, tapi rakyatnya miskin (Paradox Pertama).
Terjadi aliran kekayaan Indonesia yang mengalir ke luar negeri tapi secara melawan hukum.
Kedua, Corruption Perseption Indeks (CPI) Indonesia tidak pernah mencapai angka 50. Tertinggi 40 pada 2019, lalu 2020 turun dari 38 ke 34.
Ketiga, indeks gini ratio Indonesia selalu tidak pernah turun dari 0,38 dan pernah mencapai 0,41. Indeks gini ratio adalah indeks kesenjangan. Semakin besar berarti kekayaan menumpuk ke segolongan orang dan tidak bisa didistribusikan. Negara yang indeks gini rationya lebihi 0,400 akan negara tersebut runtuh. Contoh, negara-negara timur tengah ketika terjadi ’’musim semi arab’’ (Tunisia, Libia, Mesir 0,440)
Keempat, uang yang diperoleh oleh para pengusaha disimpan di bank-bank luar negeri sebesar Rp11,400 triliun. Kekayaan alam dikeruk dan dijual tapi uangnya tidak dibawa masuk ke Indonesia, sehingga tidak memberikan nilai tambah ke dalam negeri.
Kelima, terjadi kerusakan lingkungan parah.
Keenam, terjadi pencaplokan tanah-tanah negara dan kekayaan masyarakat adat. Ketika diproses pengadilan, pencaplokan itu divonis bebas oleh pengadilan dengan alasan belum tercatat sebagai kekayaan negara. Gambaran ini menunjukkan betapa kacaunya hukum di Indonesia.
Ketujuh, terjadi ketimpangan kekayaan. Sebesar 10% penduduk terkaya menguasai 77% kekayaan nasional, seementara itu 90% penduduk lainnya hanya menguasai 23% kekayaan nasional. Atau 1 % penduduk terkaya menguasai 50,3% kekayaan nasional. Lainnya, 1% penduduk menguasai 67% lahan negara. Sementara 99% penduduk lainnya hanya menguasai 33% lahan. Saat ini soal lahan mulai ditertibkan oleh Presiden Prabowo dengan Kepres no 5 tahun 2025 sehingga lebih dari 1,2 juta hektar lahan sawit telah dirampas untuk negara.
Kedelapan, jumlah orang miskin di Indonesia mencapai 60,3% atau sebanyak 172 juta jiwa menurut IMF, jika garis kemiskinan diukur dari 6,85 USD/hari.
Di samping itu, katanya, Indonesia saat ini dipimpin oleh kleptokratik atau maling.
Karena itu, kata Mahfud, ada dua resep untuk mengobati hal tersebut. ”Pertama, tegakkan sebagai negara hukum - jika kita ingin selamat. Sejarah mencatat, tidak ada negara yang bisa bertahan lama jika hukum tidak ditegakkan. Kedua, kejar koruptor sampai ke ujung dunia,” pungkasnya. *