Nasional

Serap Aspirasi, APKASI Gelar Diskusi Putusan MK Soal Pemisahan Pemilu Nasional dan Daerah

Oleh : very - Kamis, 03/07/2025 19:52 WIB


Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) menggelar diskusi terbuka untuk menyerap aspirasi daerah sebelum menentukan sikap. Kegiatan digelar secara daring, Rabu (02/07/2025). (Foto: Ist)

 

Jakarta, INDONEWS.ID - Dinamika politik nasional kembali menghangat setelah Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait ”Pemisahan Pemilihan Nasional dan Daerah”.

Menyikapi dinamika tersebut, Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) menggelar diskusi terbuka untuk menyerap aspirasi daerah sebelum menentukan sikap. Kegiatan digelar secara daring, Rabu (02/07/2025).

Diskusi dipimpin langsung Ketua Umum Apkasi, Bursah Zarnubi, didampingi Sekretaris Jenderal Apkasi, Joune Ganda.

Dalam kesempatan tersebut, Bursah menyampaikan bahwa Apkasi akan menampung masukan-masukan dari daerah, khususnya para bupati sebelum mengambil sikap.

“Kita tentu akan mendengarkan pandangan-pandangan dari teman-teman Bupati. Diskusi ini menjadi salah satu cara kita untuk menampung aspirasi sebelum nanti kita ambil sikap dan keputusan,” ujar Bupati Lahat ini ketika membuka diskusi.

Seperti diketahui, MK dalam Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang dibacakan pada Kamis (26/6/2025) mengatakan, mulai tahun 2029, penyelenggaraan pemilihan umum serentak yang konstitusional adalah dengan memisahkan penyelenggaraan pemilihan umum anggota DPR, anggota DPD, dan presiden/wakil presiden (Pemilu Nasional) dengan penyelenggaraan pemilihan umum anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota serta gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota (Pemilu Daerah atau Lokal).

Itu berarti, pemilu serentak yang digelar pada tahun 2024 lalu dan baru pertama kali digelar yaitu dengan ”Pemilu 5 (lima) kotak”, akan berubah lagi mulai tahun 2029, dan dibedakan menjadi Pemilihan Nasional dan Pemilihan Daerah/Lokal.

MK berdalil, penentuan keserentakan tersebut untuk mewujudkan pemilihan umum yang berkualitas serta memperhitungkan kemudahan dan kesederhanaan bagi pemilih dalam melaksanakan hak memilih sebagai wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat.

Yang menarik, MK memutuskan, penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah dipisahkan dengan jeda waktu paling singkat 2 tahun atau paling lama 2 tahun dan 6 bulan. Artinya, bila pemilu nasional dilaksanakan tahun 2029, maka pemilu daerah/lokal digelar paling lambat pada tahun 2031.

Kondisi ini tentu memicu perdebatan terkait kekosongan penyelenggara pemerintah daerah (Kepala Daerah dan DPRD)  tahun 2029 hingga pelaksanaan pemilu daerah 2031. Apakah jabatan bupati/walikota, dan DPRD diperpanjang? Hal ini memicu perdebatan.

Diskusi yang digagas Apkasi tersebut diikuti sekitar 160 peserta, mulai dari bupati dan puluhan pimpinan dan anggota DPRD dari asosiasi DPRD Kabupaten (Adkasi).

Apkasi juga secara khusus mengundang narasumber dari pakar ilmu pemerintahan yaitu Prof. Ramlan Surbakti, dan pemerhati pemilu dari Perludem, Titi Angraini. Apkasi juga secara khusus meminta pandangan DPR RI yaitu Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Zulfikar Arse Sadikin.

 

MK Dinilai Lampaui Kewenangan

Dalam kesempatan tersebut, Zulfikar Arse Sadikin, memaparkan perkembangan yang terjadi di DPR RI.

Menurutnya, MK telah melampaui kewenangan yang diberikan. ”Untuk kesekian kalinya MK melampaui kewenangan yang diberikan, karena MK sudah tidak menguji norma, tapi sudah membuat norma itu sendiri,” ujarnya.

Namun demikian, katanya, DPR menghormati keputusan MK, karena keputusan MK final dan mengikat.

”Kita tentu akan merespons sesuai dengan ketentuan dan mekanisme yang ada. Oleh karena itu, rancangan undang undang pemilu yang sudah masuk Prolegnas prioritas menjadi begitu penting. Biarkan perdebatan ini terjadi, sehingga kita mendapatkan pandangan dari berbagai pihak, sehingga harapannya, nantinya undang undang pemilu yang baru lebih merespon pandangan-pandangan masyarakat,” paparnya.

Dalam diskusi tersebut, putusan MK tersebut dinilai merupakan angin segar untuk mengembalikan kualitas demokrasi di daerah yang tahun lalu (pemilu serentak 2024) tertutup bayang-bayang pilpres yang begitu menyita perhatian masyarakat.

Terkait polemik apakah jabatan bupati/wali kota dan DPRD diperpanjang, seperti ditanyakan Bupati Bandung, Dadang Supriatna, Zulfikar, mengatakan bahwa jabatan kepala daerah atau DPRD sesuai dengan putusan MK adalah lima tahun. Bila diperpanjang, itu berarti akan menyalahi aturan.

“Setelah 2029, kepala daerah (gubernur, bupati/walikota) akan diisi penjabat kepala daerah. Sedangkan DPRD akan ada kekosongan. Kekosongan DPRD ini tidak terlalu masalah bagi daerah karena dulu banyak DOB (Daerah Otonomi Baru) bertahun-tahun tidak memiliki DPRD dan tidak ada masalah karena masih ada Kemendagri untuk pengawasan,” terang Zulfikar.  

Meski demikian, dinamika terkait masa transisi ini masih menjadi perdebatan apakah masa jabatan kepala daerah dan DPRD diperpanjang atau malah menyerahkan kepemimpinan di daerah kepada penjabat selama hampir dua setengah tahun.

Menurut pakar ilmu pemerintahan, Prof. Ramlan Surbakti, dan pemerhati pemilu, Dr. Titi Angraini, pilihan paling logis adalah memperpanjang masa jabatan kepala daerah dan DPRD. Salah satu alasannya untuk memastikan kontuinitas pembangunan daerah.

 

Opsi Perpanjangan DPRD dan Kepala Daerah

Dalam diskusi ini, para bupati menyampaikan pandangannya, termasuk para anggota DPRD yang turut mengikuti rapat.

Ketua Umum Apkasi, Bursah Zarnubi memastikan bahwa Apkasi akan mengambil bagian penting dalam menyikapi putusan MK ini.

“Setiap keputusan pasti ada sisi positif dan negatifnya. Tidak bisa menyenangkan semua orang. Inilah pentingnya kita diskusi, memberikan masukan, sehingga kita mendapatkan inti sari dan poin penting untuk kita sampaikan nanti kepada pengambil keputusan,” ujarnya.

Bursah mengatakan, kekuatan negara kita ada di daerah. Seperti disampaikan Presiden Prabowo, 60% kekuatan Indonesia ada di kabupaten/kota, 20% di provinsi, dan 20% di pusat. ”Artinya kita punya kekuatan untuk menyampaikan pendapat. Oleh karena itu, masukan-masukan dari daerah akan sangat dibutuhkan. Untuk saat ini, saya melihat kita lebih banyak setuju masa perpanjangan,” paparnya disambut teriakan ”setuju” dari audiens.

Penekanan perpanjangan DPRD dan Kepala Daerah sebagai konsekuensi Putusan MK ini, menurut Prof Ramlan adalah pilihan yang paling konsisten.

Ia juga menyebut penunjukan Pj Kepala Daerah, selain bermasalah juga menganggu jalannya pemerintahan. "Semua pejabat eselon yang harus disiapkan untuk mengisi jabatan kepala daerah itu jelas menganggu pemerintahan. Masa transisi ini harus diisi oleh kepala daerah yang memiliki legitimasi langsung dari rakyat, bukan penjabat sementara. Saya rasa semua asosiasi pemda dan DPRD ini secara resmi perlu menyurati DPR RI Komisi II," sarannya.

Sementara itu, Sekjen Apkasi Joune Ganda yang juga Bupati Minahasa Utara, menilai bahwa memperpanjang masa jabatan kepala daerah adalah langkah paling realistis agar transisi ke sistem pemilu terpisah berjalan tanpa gejolak.

“Kita perlu memastikan tidak ada kekosongan pemerintahan. Perpanjangan masa jabatan adalah solusi konstitusional yang efektif,” ujarnya.

Hal tersebut juga diamini oleh Titi Anggraini. Dia mengatakan bahwa suasana kebatinan permohonan nomer 135 itu dilandasi semangat reformasi, dan penguatan otonomi daerah.

”Jangan dianggap sebagai ancaman, ini salah satu pendekatan dari sisi elektoral otonomi daerah yang sakit-sakitan dan otonomi politik partai di daerah. Skenario, perpanjangan DPRD dan kepala daerah, bagi saya lebih sederhana dan efisien,” tambahnya. *

Artikel Lainnya