INDONEWS.ID

  • Rabu, 06/12/2017 20:22 WIB
  • Mutasi yang Dilakukan Gatot Nurmantyo Jelang Pergantian Dinilai Tidak Etis

  • Oleh :
    • very
Mutasi yang Dilakukan Gatot Nurmantyo Jelang Pergantian Dinilai Tidak Etis
Ketua SETARA Institusi Hendardi. (Foto: Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID - Sehari sebelum Presiden Joko Widodo mengajukan Marsekal Hadi Tjahjanto sebagai calon Panglima TNI menggantikan Jenderal TNI Gatot Nurmantyo yang akan memasuki masa pensiun, Panglima TNI itu melakukan mutasi terhadap 85 perwira tinggi.

Ketua SETARA Institute Hendardi mengatakan, melakukan mutasi jabatan oleh pejabat yang berwenang menjelang akhir masa jabatannya bukan bentuk pelanggaran hukum. Namun, hal itu dinilai tidak lazim dalam etika kepemimpinan suatu organisasi.

Baca juga : Pembubaran Ibadah Mahasiswa Katolik UNPAM, Bangun Ekosistem Toleransi Harus Jadi Perhatian Bersama

“Tindakan yang dilakukan Gatot Nurmantyo melakukan mutasi 85 perwira tinggi TNI sehari sebelum Presiden Jokowi mengajukan calon pengganti Gatot, jelas tidak etis karena melanggar kepatutan dalam berorganisasi,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Rabu (6/12/2017).

Hendardi mengatakan, jika mengacu pada UU Aparatur Sipil Negara yang mengatur pengisian jabatan-jabatan tinggi madya dan utama yang mensyaratkan adanya pertimbangan dari Tim Penilai Akhir (TPA) dan persetujuan presiden, maka mutasi tersebut bisa dianggap cacat administratif. 

Larangan mutasi di masa akhir jabatan dilingkungan TNI, kata Hendardi, memang tidak detail karena prinsip kepatuhan pada pimpinan dan dianggap sebagai urusan rumah tangga TNI. Karena itu, Panglima TNI memiliki kewenangan tak terbatas dalam soal mutasi.

Karena itu di masa yang akan datang perlu dipikirkan suatu regulasi yang mengikat terkait mutasi di masa transisi kepemimpinan. “Belajar dari UU Pilkada dan UU ASN, larangan mutasi itu jelas diatur tata caranya, termasuk larangan mutasi di masa transisi,” ujarnya.

Dalam kaitan kepala daerah, larangan itu ditujukan untuk menghindari politicking suatu jabatan dalam kontestasi politik. Tetapi jabatan Panglima TNI juga harus dipandang sebagai jabatan publik dan politis karena pengisian jabatan ini dilakukan melalui mekanisme politik juga, yakni melalui presiden dan persetujuan DPR.

Baca juga : Perkuat Ekosistem Toleransi, SETARA Institute Fasilitasi 13 Daerah untuk Akselerasi Adopsi RAD PE

“Oleh karena itu, mutasi di ujung masa jabatan Gatot Nurmantyo, bisa juga dipandang sebagai bagian dari konsolidasi politik yang mungkin saja menguntung Gatot atau tidak menguntungkan bagi pihak-pihak yang tidak satu visi dengan Gatot,” ujarnya.

Karena itu, kata Hendardi, ke depan hal-hal semacam ini harus diatur lebih detail, sehingga mutasi yang tidak dikehendaki tidak membuat soliditas dan profesionalitas anggota TNI melemah.

“Hadi Tjahjanto dapat saja meninjau ulang mutasi yang dilakukan Gatot jika penempatan-penempatan perwira itu tidak memperkuat organisasi TNI,” pungkasnya. (Very)

Baca juga : Jokowi Lantik Hadi Tjahjanto Jadi Menko Polhukam dan AHY Sebagai Menteri ATR

 

 

Artikel Terkait
Pembubaran Ibadah Mahasiswa Katolik UNPAM, Bangun Ekosistem Toleransi Harus Jadi Perhatian Bersama
Perkuat Ekosistem Toleransi, SETARA Institute Fasilitasi 13 Daerah untuk Akselerasi Adopsi RAD PE
Jokowi Lantik Hadi Tjahjanto Jadi Menko Polhukam dan AHY Sebagai Menteri ATR
Artikel Terkini
Perkuat Semangat Persaudaraan Antara Siswa, SMP Notre Dame Gelar Paskah Bersama dan Peringatan Hardiknas 2024
PNM Mekaar Beri Reward Ketua Kelompok Unggulan Studi Banding Olahan Jamu Tradisional
PNM Berikan Ruang Bakat dan Silaturahmi Karyawan Lewat Event SEHATI
Waspadai Pihak-Pihak yang Benturkan Konsep Negara Pancasila dengan Agama
Pelintas RI - Timor Leste Kini Bisa Akses Internet `Ngebut` di PLBN Motaain
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas