Jakarta, INDONEWS.ID -- Anak-anak pelaut dan nelayan, anak-anak pemulung, anak sopir dan buruh kasar ditampung di sekolah sederhana di kawasan Kota Baru Timur, Cilincing, Jakarta Utara ini. Mereka tanpa harus membayar uang sekolah di PAUD Mutiara Bambu ini.
Didirikan oleh seorang nelayan bersahaja yang kondisi keuangannya juga pas-pasan dan seadanya pada tahun 2006.
Mohamad Tahir asal Bone yang sudah melaut selama 45 tahun hanyalah tamatan SD. "Saya gemas lihat anak-anak kecil sehari-hari hanya menguliti kerang hijau dari pagi sampai malam," ujar Tahir.
Lalu tanah empang hasil gusuran air laut ia bangun sekolah dengan bersahaja. "Buku-buku bacaan sangat diperlukan. Uang apalagi," katanya.
Namun swadaya keluarganyalah yang menjadi kontributor utama. Sekolah ini hanya satu ruangan kecil ukuran 8x9 m yang nyaris ambruk dan ditopang batang-bambu bambu yang diikat sebagai penyangga, yang bergiliran menampung 138 anak selama 5 hari waktu sekolah.
Guru-gurunya ada empat orang, ibu-ibu muda tamatan SMEA bahkan ada yang lulusan SMP. Dedikasi mereka sungguh luar biasa tanpa memperoleh gaji.
Adik Tahir, Megawati menjadi kepala sekolah yang juga tak bergaji. Anak-anak Indonesia "bau acem" ini tentu bisa jadi aroma wangi sewangi-wanginya kelak dalam hidup mereka selanjutnya.
Oleh sebab itu Melati Putih Indonesia (MPI) dengan kegiatan Gerakan Rabu Birunya mengadakan bakti sosial, pada Rabu 19 Desember kemarin. Sumbangan untuk pihak sekolah diberikan diiringi tawa gembira anak-anak yang masing-masing mendapat celengan untuk menabung dan berbagai macam biskuit.
Tahir kini tak begitu leluasa lagi melaut. "Biasanya sehari bisa dapat Rp 200 ribu. Sekarang Rp 20 ribu saja sudah bagus,” ujarnya.
Hal ini disebabkan karena reklamasi dan buangan limbah yang semakin ganas dari berbagai pabrik. “Ikan banyak mati dan harus cari yang lebih jauh lagi. Padahal kapal kami adalah kapal kecil. Tidak bisa untuk jauh-jauh melaut," ujar Tahir sedih. (Very)