
Jakarta, INDONEWS.ID - Politik sebenarnya hanya citra (image), persepsi dan bukan yang sebenarnya atau bukan sebenar-benarnya. Dalam politik praktis dan proses politik di lapangan, persepsi baik atau buruk, persepsi toleran atau radikal atau persepsi apa saja bisa dibentuk dengan gampang dan dengan berbagai cara dan metode.
Rektor Universitas Paramadina Didik J Rachbini mengatakan, hal itu pernah terjadi seperti pertarungan politik antara Anies Baswedan dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jakarta beberapa tahun lalu.
Dalam pertarungan persepsi yang menjadi kenyataan tersebut, kemudian lenyap dalam sekejab.
Pasca kemenangan Anies, banyak pihak takut bahwa kemenangannya di Jakarta akan menjadi monster politik radikal, yang tidak akan toleran terhadap keberagaman.
Prof Didik mengatakan, citra dan persepsi itu muncul hanya dalam beberapa tahun, kemudian lenyap seiring dengan kehadiran Anies hadir dalam pilpres yang diusung partai pendukung dari partai-partai nasionalis. Tim pemenangan di kanan kirinya juga datang dari kaum nasionalis, dengan latar belakang agama yang lengkap. Dalam pilpres kali ini tidak ada lagi pertarungan citra radikal agama dan radikal sekuler, anti NKRI, dan rasisme.
Ekonom senior itu mengatakan, politik dan demokrasi yang terbuka seperti sekarang ini adalah pertanda baik. Paling tidak dilihat dari sisi persepsi citra seperti ini - kecuali masalah etika dan nepotisme Jokowi.
“Karena itu, gagasan politik menyatukan Anies dan Ahok di Jakarta adalah eksperimen yang baik dan berani untuk membersihkan pencitraan politik menuju polarisasi radikal agama atau radikal sekuler. Radikal sekuler di sini mirip-mirip radikal kiri yang anti agama,” ujarnya melalui pernyataan tertulis di Jakarta, Jumat (10/5).
Prof Didik mengatakan, peluang Anies dan Ahok bersatu sangat mungkin karena beberapa faktor.
Pertama, Anies sejatinya seorang yang religius tetapi tidak radikal sepertiyang dipersepsikan ketika hadir dalam pilgub DKI dulu.
Kedua, Ahok memang temparamental, yang kadang-kadang tabu di dalam politik. Namun, sesungguhnya Ahok adalah seorang yang nasionalis dilihat dari sejarah karir politiknya.
Ketiga, tidak ada lagi faktor pendorong keduanya ke arah radikal karena Anies sudah bisa tampil di dalam pilpres dengan citra nasionalis relegius biasa.
Keempat, Ahok juga akan bisa diterima publik.
Prof Didik mengatakan, Anies dan Ahok pasti berpikir positif jika paham atau gagasan seperti ini hendak menjadikannya simbol kesatuan bagi keduanya. Anies masuk Jakarta mempunyai peluang menang sangat besar, jika tidak kita katakan hampir 100 persen.
Anies mempunyai prestasi di Jakarta, meskipun banyak kritik juga. Jakarta Indah dan banyak hal diselesaikan, juga bagian dari prestasinya. Dan juga Anies semakin populer ketika menjadi capres.
“Jika Anies tidak masuk politik dalam dalam 5 tahun ke depan maka namanya hilang dari peredaran. Anies bukan pemimpin partai politik seperti Prabowo Subianto atau JK pada masanya. Karena itu, masuk ke dalam politik di Jakarta adalah peluang yang baik tidak hanya bagi karir dirinya tetapi juga untuk bangsa untuk 2029 nanti,” pungkasnya. ***