INDONEWS.ID

  • Selasa, 09/06/2020 06:39 WIB
  • Problem Islamophobia dan Solusinya di Eropa

  • Oleh :
    • luska
Problem Islamophobia dan Solusinya di Eropa
Pemred indonews.id Asri Hadi bersama Dubes RI di Belgia Yuri Thamrin

Oleh : Yuri Thamrin (Dubes RI untuk Belgia)

Belgia, INDONEWS.ID - Ternyata di Benua Eropa yang konon maju dan berbudaya, banyak terjadi kisah-kisah “seram”. Seorang muslimah berhijab dihadang di jalan gelap, dimaki-maki dengan ujaran

Baca juga : Hari Pancasila Dalam Problematika Demokrasi dan HAM

rasis dan anti-Islam, bahkan hampir saja diperkosa. Seorang anggota polisi mem-posting
"ancaman ISIS" palsu untuk memperbesar kebencian terhadap Islam. Ada juga kisah anak
sekolah yang di-bully hanya karena menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Juga tentang
politisi populis membakar Al Qur`an dan mengeluarkan ancaman untuk mengusir kaum
muslimin dari Eropa. Semua cerita ini didokumentasikan lengkap dalam laporan tahunan
tentang insiden Islamophobia di Eropa.2
Sejatinya, Islamophobia merupakan akar dari tindakan-tindakan pelanggaran HAM,
kezaliman, penghinaan, pelecehan dan gangguan pada warga muslim di Eropa. Sungguh
ironis, Eropa yang selalu berkhutbah pada seluruh dunia tentang nilai-nilai demokrasi,
kebebasan, toleransi, perlindungan dan penghormatan HAM justru tersandung oleh
fenomena Islamophobia ini yang hingga hari ini masih terus terjadi dan entah kapan akan
berakhir.

 

Isu ini pun menarik untuk dibahas karena Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim
terbesar di dunia berkepentingan untuk membangun harmoni antar agama dan antar
peradaban serta untuk meluruskan salah pengertian tentang Islam, yang sebenarnya
adalah agama yang rahmatan lil alamin. Selain sejarah panjang persinggungan Eropa dan
Islam, tulisan ini juga akan mengulas solusi konkrit bagi fenomena Islamophobia di Eropa.
UMAT ISLAM DI EROPA
Sesuai data The Economist, jumlah populasi muslim di Eropa (tidak termasuk Turki dan
Rusia) sekitar 26 juta jiwa pada 2019. Tidak semua warga muslim adalah imigran atau
pendatang. Sebagian justru orang asli Eropa yang beragama Islam seperti halnya di Bosnia-
Herzegovina, Kosovo dan Albania. Para imigran muslim didatangkan oleh negara-negara
Eropa Barat terutama pasca Perang Dunia II untuk membantu rekonstruksi Eropa yang
hancur akibat Perang. Setelah menetap lebih dari 3 generasi di Eropa, warga muslim
menjelma menjadi warga Eropa, tidak lagi memandang dirinya sebagai "imigran" tetapi
"warga negara".
Sesungguhnya, terdapat tingkat keragaman yang tinggi pada komunitas muslim Eropa.
Mereka saling berbeda negara asal, etnik, kultur, sekte, mazhab, ideologi, dan bahkan
gerakan politik. Di Inggris, warga muslim umumnya berasal dari Pakistan dan Bangladesh.
Di Perancis, mereka datang dari Aljazair, Tunisia dan Maroko. Sementara di Jerman, banyak
warga Turki beremigrasi ke negara itu. Selain perbedaan Sunni, Syi`ah dan Ahmadiyah,
warga muslim pun mengikuti ideologi dan gerakan politik yang saling berbeda seperti
Muslim Brotherhood, Salafi, Deobandis3 dan gerakan Milli Gorus4
(National Vision) dari Turki.
Dari sisi sosial-ekonomi, sering diwartakan kondisi warga muslim yang "miskin" (poor) dan
"terpecah-belah" (divided). Media menampilkan bayangan tentang kawasan-kawasan
kumuh seperti Molenbeek di Brussels atau berbagai banlieues di pinggiran kota Paris
dimana sekitar 25-30 % pemuda muslim menganggur, kehilangan harapan, terperangkap
dalam kriminalitas, perdagangan narkoba serta rentan akan ajakan jihad oleh para imam
garis keras di mesjid-mesjid radikal di kawasan suram tersebut.
Namun demikian, kehidupan suram di Molenbeek dan berbagai banlieues di pinggiran
Paris bukanlah fitur utama kondisi umat Islam di Eropa. Karena sejatinya komunitas
muslim di Eropa kebanyakan bersikap moderat, cukup berpendidikan, berpenghasilan
cukup baik dan terus berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan dan gaya hidup di negara-negara tempat mereka tinggal. Gambaran positif ini tampil dalam laporan khusus
majalah the Economist (16 Februari 2019) berjudul "Islam in the West. Here to Stay".
Eropa sejatinya adalah "land of opportunity" --- tanah harapan bagi siapa pun yang mau
berusaha, mau belajar dan sanggup bekerja keras, termasuk bagi warga muslim di benua
ini. Oleh karena itu, banyak kita saksikan warga muslim yang berhasil dalam karir mereka,
seperti Rachida Dati (Menteri Hukum Perancis 2007-09, saat ini anggota Parlemen Eropa),
Baroness Sayeeda Warsi (Menteri Kabinet Inggris), Wali Kota London Sadiq Khan atau wali
kota Rotterdam Ahmed Aboutaleb. Selama saya bertugas di Belgia, kerap saya bertemu
dengan orang-orang hebat dan sukses yakni para pengusaha, politisi, artis, atlit dan juga
duta besar beberapa negara anggota UE berlatarbelakang muslim.
Negara-negara anggota Uni Eropa condong bersikap pragmatis dalam pemenuhan
kebutuhan mental-spiritual warga muslim di wilayah mereka. Negara-negara itu
membiarkan pemerintah asing seperti Turki, Saudi Arabia, Maroko dan lainnya
membangun mesjid, mengirim imam dan membentuk Islamic Center di berbagai negara
UE. Rabithah al-Alam al-Islami (Muslim World League) yang berafiliasi ke Saudi, sangat
agresif dengan dana besar membangun mesjid-mesjid agung di Eropa, menawarkan
beasiswa untuk belajar di Universitas Islam Madinah dan mendanai proyek-proyek
keagamaan untuk meneguhkan kepemimpinan Saudi di Dunia Islam. Kompetitor Rabithah
adalah Diyanet Isleri Baskanligi (berafiliasi ke Turki) yang sama agresifnya menanamkan
pengaruh di kalangan muslim Eropa keturunan Turki. Dewasa ini, aktivitas mesjid-mesjid
dengan dana Saudi sering kena "kartu merah" karena menyebarkan faham ekstrim dan
radikal yang membahayakan keamanan Eropa.
PROBLEM ISLAMOPHOBIA
“Phobia” adalah kata Yunani yang bermakna
"takut". Islamophobia mengacu pada ketakutan,
kebencian dan permusuhan terhadap Islam dan
muslim. Biasanya sikap ini dipupuk melalui
stereotyping. Para penderita phobia umumnya
sulit menjelaskan apa sumber ketakutan mereka.
Islamophobia, selain disebabkan oleh
pemberitaan media massa yang biased (fake
news), juga bersumber dari perbedaan budaya,
agama dan kepentingan politik.

 

John L. Esposito mengaitkan Islamophobia di Barat dengan peningkatan serangan-
serangan terorisme oleh kelompok-kelompok muslim radikal seperti peristiwa 911 di New
York, rangkaian serangan teroris di Paris 2015 atau pemboman di Brussels 2016. Namun
demikian, Islamophobia tidak dapat dibenarkan dengan alasan apa pun juga. Sejatinya,
Islamophobia membahayakan kepentingan Eropa sendiri. Karena bagai "kanker sosial"
Islamophobia tengah menggerogoti nilai-nilai demokrasi, pluralisme dan toleransi di
dalam masyarakat Uni Eropa. Karena itu, Islamophobia harus diperangi bersama.
Dalam retrospeksi, perlu dibedakan pula antara muslim ekstrimis dan muslim arus utama
(mainstream Muslims). Teroris muslim tidak hanya menjadi ancaman terhadap pihak non-
muslim tetapi juga terhadap komunitas muslim sendiri. Bahkan korban serangan teror
justru jauh lebih banyak berjatuhan di pihak muslim dari pada non-muslim. Di samping itu,
muslim ekstrimis tidak mewakili mayoritas umat Islam yang tegas mengutuk tindakan
teror mereka. Baik dalam Islam maupun Kristen, Yahudi, Hindu dan Budha terdapat elemen
ultra-konservatif dan fundamentalis yang mempertontonkan sikap eksklusif, tidak hanya
terhadap agama lain tetapi juga kepada penganut agamanya sendiri yang memiliki
pandangan yang berbeda.
Ke depan, saya menduga trend Islamophobia akan tetap kuat di Uni Eropa, khususnya
karena partai-partai populis sayap kanan makin maju di benua ini. Mereka meraup lebih
banyak suara pemilih dari 10,6% pada 1980 menjadi 18,4 % pada 2017. Partai-partai sayap
kanan terus memainkan politik identitas dan memanfaatkan "ketakutan" (fear).
Menjadikan Islam dan muslim sebagai sasaran tembak sangat menguntungkan posisi
mereka. Karena itu, Islamophobia tampaknya akan terus bergaung khususnya menjelang
pemilu.
Satu hal lain yang menarik, banyak politisi sayap kanan di Eropa yang begitu membenci
Islam dan kemudian memutuskan untuk mengkaji Al-
Qur`an demi mencari dan mengekspos kelemahan
Islam. Tetapi ternyata mereka justru mendapatkan
hidayah dan kemudian memeluk Islam. Hal ini terjadi
pada beberapa politisi anti-Islam seperti Arthur
Wagner dari Alternative für Deutschland (Jerman),
Arnoux van Doorn dari Dutch Freedom Party (Belanda)
dan Maxene Buttey dari Front National (Perancis)

 

SOLUSI
Muslim di Eropa cukup besar jumlahnya dan karena itu harus benar-benar masuk ke dalam
arus utama masyarakat (mainstream) dan tidak berada di pinggiran saja (periphery).
Mereka seharusnya menjadi profesional dan pengusaha muslim yang berhasil dan
dihormati orang. Di samping itu, muslim di Eropa harus lebih baik mengorganisir diri untuk
memperjuangkan hak-hak mereka. Perlu dibangun hubungan dan pemahaman yang lebih
baik dengan media, parlemen, pemerintah dan berbagai pemangku kepentingan lainnya.
Di samping itu, muslim Eropa perlu bersama-sama
menolak ekstrimisme dan terorisme. Organisasi
Kerjasama Islam (OKI) dan negara-negara anggotanya
perlu mendekati masyarakat muslim di Eropa untuk
tujuan ini.
Muslim Eropa wajib hukumnya menempuh cara-cara dan
prosedur demokrasi jika menginginkan perubahan atau
jika ingin memperjuangkan tujuan politik mereka.
Dengan kata lain, haram hukumnya menempuh cara-cara
ekstrim dan kekerasan.
Dalam hubungan ini, OKI dapat membantu negara-
negara Eropa untuk mengkomunikasikan pesan-pesan
pemerintah kepada masyarakat muslim. Dan sebaliknya,
OKI dapat pula mengkomunikasikan aspirasi komunitas
muslim Eropa pada pemerintah negara-negara Uni Eropa.
KONTRIBUSI INDONESIA
Selama bertugas sebagai Dubes RI untuk Belgia, Luksemburg dan Uni Eropa, saya selalu
berusaha untuk memajukan salah satu prioritas politik luar negeri Indonesia untuk
membangun harmoni antar agama dan antar peradaban. Indonesia memiliki modal yang
kuat karena negeri kita adalah perwujudan dari Islam, demokrasi dan modernitas yang
hidup berdampingan secara serasi. Harmoni sosial di Indonesia pun mendapatkan
apresiasi luas di Uni Eropa.

 

Saya selalu melakukan engagement dengan anggota Parlemen Eropa baik faksi European
People`s Party (faksi terbesar di parlemen) atau DASE (delegasi Parlemen untuk penguatan
kejasama dengan ASEAN). Sering saya diundang dalam pertemuan-pertemuan breakfast
meeting atau konsultasi yang mereka selenggarakan, dimana saya menjelaskan tentang
Islam di Indonesia. Saya pun secara terang-terangan menyampaikan kritik saya terhadap
Islamophobia di Eropa. Dialog kami sering hangat dan terus terang tapi tetap bersahabat.
Sebagai strategi, saya juga sering mengatur kunjungan tokoh-tokoh lintas agama
Indonesia untuk berinteraksi dengan berbagai stakeholders di Uni Eropa sehingga
kepakaran mereka bisa mencerahkan teman-teman kita di Uni Eropa tentang Islam,
toleransi dan perkembangan terkini di Indonesia.
Saya juga rajin menjadi pembicara di lembaga think tanks seperti European Institute for
Asian Study (EIAS) atau dalam forum-forum yang diselenggarakan Friends of Europe atau
seminar yang digagas KBRI Brussel bersama majalah Diplomatic World, dimana saya selalu
mengingatkan Uni Eropa untuk meningkatkan toleransi dan multikulturalisme.
Selama saya bertugas sebagai dubes, sudah 6 edisi diselenggarakan program beasiswa
"Indonesia Interfaith Scholarship". Sejauh ini sudah 52 alumni dihasilkan dari program
tersebut terdiri dari para peneliti di Parlemen Eropa, pejabat Komisi Eropa, pejabat kemlu
Belgia, jurnalis, peneliti di beberapa think tank, tokoh pemuda dan mahasiswa. Saya yakin
kunjungan mereka ke Indonesia sangat bermanfaat untuk memerangi Islamophobia di
Eropa.

 

Berangkat dari keyakinan pentingnya "melihat untuk sejuta mata", pada November 2019
bertepatan dengan 70 tahun hubungan diplomatik Belgia-Indonesia KBRI Brussel
menyelengarakan pameran foto bertemakan
"Persatuan dalam Keberagaman" selama 3
minggu di gedung Parlemen Belgia. Melalui
pameran yang dibuka oleh Ketua Parlemen
Belgia Hon. Patrick Dewael itu publik Belgia
menikmati suguhan suasana tentram
kerukunan umat beragama di Indonesia.
Akhirnya saya ingin menutup tulisan ini dengan mengangkat fakta bahwa Uni Eropa adalah
sahabat Indonesia yang gemar memberi "kuliah" pada dunia tentang nilai-nilai demokrasi,
kebebasan, toleransi, mutual respect, multikulturalisme, perlindungan dan penghormatan
HAM. Mungkin sudah saatnya bagi Uni Eropa untuk merealisasikan apa yang sering
dikuliahkannya itu, dengan menanggulangi Islamophobia di Eropa.

Artikel Terkait
Hari Pancasila Dalam Problematika Demokrasi dan HAM
Artikel Terkini
Sudah Dibatalkan MK, Partai Buruh Akan Gugat Aturan Pencalonan Pilkada
Update Banjir Bandang di Agam, Korban Meninggal 19 Orang
KNKT Minta Semua Pihak Buat Rencana Perjalanan Wisata yang Baik dan Bijak
Akibat Banjir Bandang Di Tanah Datar, 8 warga Tewas dan 12 Orang Masih dinyatakan hilang
Pj Gubernur Agus Fatoni Lepas Keberangkatan 445 Jemaah Calon Haji Kloter Pertama Embarkasi Palembang
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas