Opini

Hari Pancasila Dalam Problematika Demokrasi dan HAM

Oleh : Mancik - Kamis, 02/06/2022 01:06 WIB

Aktivis HAM dan Koordinator Komunitas Papua Pemerhati Ketatanegaraan Indonesia, Marthen Goo.(Foto:Ist)

Oleh: Marthen Goo

Jakarta, INDONEWS.ID - 1 Juni dikenal sebagai hari Pancasila. Semangat menempatkan lima nilai dasar agar semua taat pada nilai-nilai tersebut. Pengertian "Agar" tentu hanya lebih pada impian, dan impian tersebut sampai saat ini, wujudnya belum diketahui. Mungkin butuh waktu, tapi jika melihat perjalanan Indonesia, sudah lebih dari setengah abad, artinya mestinya upaya mewujudnyatakan hal itu ada tanda-tanda. Sayangnya, tanda-tanda pun masih belum terlihat.

Pendiri Bangsa merumuskan Pancasila dengan semangat menghormati aspek kemanusiaan dari sejarah berdirinya negara sampai pada melahirkan mukadimah. Sayangnya, oknum pendiri bangsa pun melanggar nilai Pancasila dimulai dengan memaksa Papua bergabung di Indonesia dengan kekuataan militer yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran HAM tersebut. Di sisi lain semangatnya melawan penjajahan dan menghapus kejahatan HAM, namun faktanya berbeda.

Dari beberapa kali perubahan sistim pemerintahan, kali ini kita dihadapkan juga dengan pengelolahan pemerintahan yang sentralistik hingga lahirnya reformasi. Aspek sentralistik tentu turut merusak semangat Pancasila. Sentralistik menciptakan kelas dan perbedaan suku dan adanya praktek-praktek rasisme. Daerah hanya menjadi korban pembangunan dan pendudukan untuk kepentingan sentralistik. Semangat Pancasila tentu menjadi kabur tanpa wujud. Karenanya, Romo Mangun menawarkan gagasan “Negara Federal”.

Pasca reformasi pun, semangat Pancasila jauh dari harapan. Apa lagi di daerah Papua. Pancasila harus dilihat dari beberapa prinsip nilai yakni (1) demokrasi; (2) hak asasi manusia; (3) kebhinekaan. Tentu jika hal-hal ini tidak terwujud, maka, Pancasila tidak memiliki nilai, dan hal itu lebih pada simbolis belaka. Mestinya, penyelenggara negara memahami dan mampu melaksanakan hall itu dalam semangat penghormatan pada Pancasila.


Demokrasi Dalam Pemahaman Pancasila

Tentu dapat kita lihat bahwa ruang demokrasi di Indonesia masih sangat bermasalah. Pada hal, konsekuensi logis dari negara republik adalah penghormatan dan penyediaan bagi ruang demokrasi. Sehingga, mestinya, ruang demokrasi tersebut harus dibuka lebar-lebar. Ketika asumsinya adalah dugaan pidana, itu rana lain. Aspek itu dikenal dengan adanya perbuatan, bukan asumsi. Harus terselesaikannya sebuah perbuatan pidana. Batasannya juga jelas.

Di Papua, demokrasi ditutup-tutupi. Semua aksi baik soal proteksi orang Papua dipolitisasi sebagai upaya menghalang-halangi upaya kebebasan berpendapat walau jelas dituangkan dalam UUD’45 pasal 28 dan UU No. 9 tahun 1998. Batasan pidana, batasan demokrasi dan berekspresi serta batasan tugas kepolisian sangat ketat dan jelas. Namun kerap kali, aspek hukum yang sudah terang menerang ditutupi dan kemudian dinarasikan sebagai tindakan Politik.

Ini memberikan gambaran bahwa banyak hal yang harus diperbaiki karena sudah rusak baik logika maupun pemahaman dalam aspek hukum dan demokrasi. Pihak-pihak tertentu masih menutupi fakta kebenaran soal semangat lahirnya republik dan Pancasila. Jika ini negara hukum, tentu dari aspek itu, patut diduga melanggar UU No. 2 Tahun 2002, jika pelakunya adalah kepolisian karena semangatnya adalah pengayoman dan perlindungan, bukan membatas-batasi.

Mestinya, dalam negara yang demokratis dan menjadikan hukum sebagai panglima, aspek penghormatan pada semangat demokrasi dilaksanakan dengan penuh pertanggungjawaban dan mampu bedakan antara rana demokrasi dan rana HAM. Ini tentu memberikan gambaran bahwa ada problematika dalam kemampuan memahami konteks dan pemahaman mengenai pemisahan dua kategorisasi yang berbeda tersebut. Barang kali kecuali kalau dibuat-buat, dan mestinya terhadap yang demikian diberikan sanksi agar hormat pada demokrasi dan hukum.


Hak Asasi Manusia

Kejahatan HAM di Papua sudah cukup lama terjadi, bahkan sampai saat ini masih terus terjadi. Aspek HAM dapat dilihat dari aspek ekonomi, sosial dan budaya, serta hak sipil-politik. Sehingga dari berbagai aspek tersebut, Papua memiliki kemelut dan persoalan yang sangat panjang tanpa ada upaya menyelesaikan. Situasi tersebut, tentu menjadi masalah dalam perspektif Pancasila. Sehingga, aspek HAM tidak hanya soal sila-kedua, tetapi juga memiliki arti HAM dalam sila-empat, dan sila-kelima.

Menurut Jaringan Damai Papua (JDP:2014) masalah di Papua (1) Politik; (2) Hukum dan HAM; (3) Keamanan; (4) Penyelenggaraan Pemerintahan; (5) Ekonomi dan Lingkungan Hidup; (6) Kesehatan; (7) Pendidikan; (8) Kebudayaan. Tentu masalah-masalah tersebut berhubungan dengan aspek HAM. Atas semangat tersebut, JDP kemudian menawarkan jalan menyelesaikan berbagai masalah tersebut melalui Dialog Jakarta Papua. Atas semangat penyelesaian masalah tersebut, JDP menyebutkan bahwa Dialog tidak membunuh. Dialog sarana rekonsiliasi untuk menyelesaikan berbagai masalah.

Sehingga, dari aspek HAM, peringatan Pancasila hanya lebih pada simbolis tanpa arti dan makna karena upaya-upaya menghentikan kejahatan HAM belum dilakukan. Kasus yang dapat kita lihat adalah kasus rasisme. Rasisme yang dapat dilihat di depan mata adalah pembagian kekuasaan. Belum lagi jika kita lihat dengan pemaksaan UU Otonomi Khusus yang sentralisti. Tentu kesemuanya itu buruk dan merendahkan martabat manusia yang bertentangan dengan Pancasila.


Kebhinekaan Dalam Pancasila

Satu aspek yang dapat dilihat dari semangat Pancasila adalah kebhinekaan. Namun semangat kebhinekaan tidak terlihat dari berbagai aspek pendekatan. Untuk di Papua, pendekatan lebih pada pendudukan dan militerirasi dan itu justru merusak tatanan kebhinekaan. Aspek penting dari kebhinekaan adalah proteksi. Setiap daerah harus diproteksi agar kebhinekaan terjaga. Konsep ini justru jauh dari seharusnya, akibatnya, penduduk asli makin menjadi masalah. Di Papua, justru rakyat mengalami marjinalisasi.

Saat Soekarno berjumpa dengan seorang tua yang bernama Marhein, kemudian memakai nama Marheinisme sebagai semangat proteksi, Soekarno kemudian menyebutkan bahwa Indonesia tidak mengenal pertentangan kelas karena Indonesia memiliki alat-alat produksi sendiri. Sayangnya, alat-alat produksi tersebut berusaha dihilangkan melalui sistim hukum dan sistim Pendudukan dan pendekatan lainnya yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran HAM. Tentu semua itu hanya turut merusak kebhinekaan.

Jika alat produksi dimiliki rakyat, mestinya negara hadir sebagai sarana mendorong kemajuan rakyat, baik dalam pengelolaan Sumber Daya Alam maupun sarana pembangunan ekonomi kerakyatan lainnya. Aspek membuka lahan bagi investor asing tentu hanya turut merusak berbagai tatanan kehidupan masyarakat, dan tentu itu merupakan cara merusak kebhinekaan, sementara negara yag dikenal sebagai negara agraris tidak dimaksimalkan untuk sektor agraris..

Tentu logikanya sangat terbalik ketika rakyat memiliki kekayaan yang berlimpah, saat sebelum adanya negara. Saat itu, rakyat hidup makmur dan sejahtera. Rakyat hidup aman dan nyaman. Rakya hidup tanpa ada marjinalisasi dan hal lain yang bertentangan dengan semangat kebersamaan dan kemanusiaan. Hal itu berbeda setelah adanya negara, dimana rakyat yang hidup di kelimpahan kekayaan justru makin marjinal dan melarat. Tentu ada yang salah. Siapa dalangnya dan apa motifnya?

Dari kesemuanya itu memberikan pemahaman pada kita bahwa hari Pancasila ternyata hanyalah simbolik belaka tanpa memiliki makna dan semangat mewujudkan nilai-nilai dalam kehidupan berbangsa. Pancasila hanya akan bermakna jika rasisme dihapus, pelanggaran HAM dihilangkan, dan penjajahan ditiadakan. Akan baik jika dimulai dari 50% Menteri Melayu dan 50% Melanesia, begitu juga Dirjen dan lainnya, serta roling Presiden dan Wakilpresiden. Untuk Papua, baiknya dilakukan Perundingan.

*)Penulis adalah aktivis HAM dan Koordinator Komunitas Papua Pemerhati Ketatanegaraan Indonesia

Artikel Terkait