Penulis : Reinhard R Tawas
Ketika diumumkan nma-nama anggota tim bolabasket Amerika Serikat (AS) Juni lalu, pengamat basket dan fans basket dunia seperti yang sudah-sudah banyak yang membandingkan kekuatan Tim AS di Tokyo 2020 ini dengan tim AS di Olimpiade-Olimpiade sejak 1992, bukan dengan tim negara lain. Tidak masalah mereka hanya dapat perunggu di Olimpiade Athena 2004, kalah di semi-final dari Argentina yang keluar sebagai juara setelah mengalahkan Italia di final. Sebelumnya Tim AS hampir selalu mendominasi cabang bolabasket di Olimpiade bahkan sebelum Olimpiade Barcelona 1992 ketika anggota Tim AS terdiri dari pemain-pemain dari NCAA (LigaMahasiswa).
Uniknya persaingan Bolabasket Olimpiade seolah mewakili Perang Dingin antara superpower kedua kubu. Amerika Serikat selalu bertemu Uni Sovyet di final selama era Perang Dingin kecuali 1968 Mexico (ketika Tim AS bertemu Tim Yugoslavia di final) dan 1980 Moskwa, ketika banyak negara termasuk Amerika Serikat memboikot Olimpiade Moskwa karena invasi Uni Sovyet atas Afghanistan tahun sebelumnya.
Ketika nama 12 pemain tim AS keluar, yang dibahas ESPN dan dikutip news.com.au adalah total jumlah kontrak pemain-pemain tersebut yang fantastis, USD 2,5 milyar (IDR 36T). Tim olahraga terkaya yang pernah dibentuk. Mereka rata-rata dikontrak empat tahun. Satu contoh saja, Kevin Durant season ini digaji Brooklyn Net USD 42 juta, belum bonus dan tidak termasuk endorsement.
Kekayaan fantastis itu belum menjamin medali emas. Pada pertandingan eksibisi di Las Vegas sebelum berangkat ke Tokyo Tim super-rich ini kalah dua kali berturut-turut dari Nigeria dan Australia. Alasan pelatih legendaris Gregg Popovich (San Antonio Spurs) boleh lah. "Itu proses, katanya." Benar, belum semua anggota tim bergabung, karena Jrue Holliday, Khris Middleton (Milwaukee Bucks) dan Devin Bookir (Phoenix Suns) masih bermain di Final NBA 2021. Mereka menyusul ke Tokyo belakangan.
Datang ke pertandingan sesungguhnya di Grup A Bolabasket Olimpiade 2020 Tokyo Tim AS menghadapi Tim Prancis pada 25 Juli, Tim AS langsung kalah 83-76. Devin Booker, Jrue Hollidaay dan Khirs Middleton baru dua hari di Tokyo dan sebelumnya belum pernah bermain bersma tim. Tidak terlalu mengherankan jika meraka kalah dari Prancis. Mungkin Holliday dan Middleton masih merasakan pengaruh champagne perayaan kemenangan sebagai juara NBA di kepala mereka.
Di pertandingan berikutnya pada 28 Juli Tim AS mengalahkan Iran 120 - 66. Iran adalah satu-satunya negara yang tim bolabasketnya tidak ada pemain NBA. Tapi center mereka Hamed Haddadi (218 cm) pernah bermain di NBA bersama Memphis Grizzlies , Toronto Raptors dan Phoenix Suns. Sekarang dia bermain di CBA bersama Sichuan Blue Whales. Kemenangan telak ini memulihkan rasa percaya diri Tim AS. Juli 31 mereka mengalahkan Ceko 119 - 84 dan melaju ke Perempat Final dan bertemu Spanyol yang dimenangkan Tim AS 95 - 81. Di semi-final Australia sempat membuat repot tim super kaya ini, dan dag-dig-dug fans AS dengan unggul sampai 15 poin dalam satu kesempatan.
Tapi dua dari sedikit coach terbaik di NBA, Gregg Popovich ( lima kali juara NBA bersama Spurs) dan asistennya Steve Kerr (tiga kali juara NBA bersama Warriors) berhasil memotivasi pemain-pemainnya untuk menang seperti yang sudah sering mereka lakukan di NBA. Jelas dalam situasi seperti ketinggalan 15 poin yang dibutuhkan adalah psikologi dulu baru strategi.
Sementara Prancis dan Slovenia akan bertemu di semi-final lainnya malam ini sesudah tulisan ini dikirim.
Tim AS ini harus membuktikan bahwa mereka "dream team" (dream team ini lah yang dimaksud pada judul tulisan ini) bukan hanya di gaji tapi juga di prestasi.
"Dream Team" sebenarnya hanya ada satu yang di Olimpiade Barcelona 1992, ketika pertama kali FIBA membolehkan pemain-pemain NBA berlaga di NBA dan FIBA World Cup. FIBA jeli melihat, meskipun terlambat, bahwa hadirnya pemain-pemain NBA meningkatkan mutu bolabasket dan yang tidak kalah penting marketing dan akhirnya tentu mendatangkan uang.
Dream Team diperkuat Michael Jordan, Scottie Pipen (Chicago Bulls) Magic Johnson (LA Lakers) , Larry Bird (Boston Celtics), Clyde Drexler (Portland Trailblazers), Karl Malone, John Stockton (Utah Jazz), Chris Mullin (Golden State Warriors), Charles Barkley (Phoenix Suns), Patrick Ewing (NY Knicks), David Robinson SA Spurs) dan Christian Laettner (Duke Blue Devils, NCAA). Kehadiran Dream Team di Olimpiade Barcelona sangat mengangkat gengsi Olimpiade seperti yang diakui Juan Antonio Samaranch, Presiden IOC ketika itu dalam pernyataan resminya:
"Aspek paling penting dalam Olimpiade ini adalah sukses gemilang cabang bolabasket..." Selain Dream Team, Olimpiade Barcelona juga diingat orang seluruh dunia yang mengikuti Olimpiade akan momen pasangan medali emas Susi Susanti dan Alan Budikusuma.
Setelah Barcelona, ada Dream Team 2 di Piala Dunia FIBA 1994 yang sudah dilupakan orang , dan Dream Team 3 di Olimpiade Atlanta 1996 yang lumayan masih diingat karena embel-embel Olimpiadenya. Penulis berada di Atlanta ketika itu menyaksikan keperkasaan DT3 ini untuk SCTV bersama Helmy Yahya.
Prancis - Slovenia menjadi atraksi seru karena mempertemukan dua pemain bersinar terang di NBA Rudy Gobert (Utah Jazz, Prancis) dan Luka Doncic (Dallas Mavericks, Slovenia). Gobert adalah pemain defensif terbaik NBA 2021 sementara Doncic dikena sebagai pemain "all around" yang mencetak "triple double" (point, rebound, assist) dengan mudah seolah tidak ada lawan di sekitarnya. Di atas kertas Prancis unggul, tapi dengan ada Luka Doncic di seberang sana, mengharapkan pungguk terbang bukan hal yang susah.
*****