Jakarta, INDONEWS.ID -- Presiden RI Joko Widodo baru saja memberikan penyataan tegas tentang RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Presiden meminta agar RUU TPKS segera disahkan serta memerintahkan Menteri Kemenkumham dan Kemen PPPA untuk melakukan koordinasi dan konsultasi dengan DPR terkait RUU tersebut.
Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden, Erlinda, dalam siaran pers di Jakarta, Rabu (5/1) mengatakan, RUU TPKS telah melewati fase yang rumit, berliku dan memakan waktu yang sangat lama menuju disahkan oleh DPR. Sementara korban kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan dan anak semakin bertambah, namun pemenuhan dan perlindungan untuk korban dirasakan sangat minim.
“Pernyataan Pak Jokowi seperti sinyal keras yang ditujukan kepada pimpinan partai yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju, namun apakah sinyal tersebut dapat ditangkap oleh petinggi dan anggota partai yang duduk di bangku terhormat DPR RI. (Karena itu) Soliditas koalisi akan diuji pada masa sidang paripurna yang akan digelar oleh DPR RI di tahun 2022,” ujarnya.
Komisioner KPAI periode 2014-2017 itu mengatakan, pernyataan Presiden RI terkait RUU TPKS merupakan oase di padang pasir akibat kelelahan menunggu lama proses yang ada di DPR RI sejak tahun 2016.
“Belum disahkannya pada sidang paripurna sebagai hak inisitiatif DPR menjadi spekulasi di masyarakat terutama para aktivis. Perintah Presiden RI kepada tim Gugus Tugas Percepatan RUU TPKS untuk menyiapkan DIM (daftar Inventaris Masalah) menjadi sebuah pertanyaan tentang Hak inisiasi RUU TPKS. Masyarakat menunggu akhir Drama RUU TPKS sebagai Hak inisiasi DPR dan apakah akan terjadi perubahan yakni menjadi Hak Inisiasi Pemerintah,” katanya.
Pegiat dan Pemerhati Perempuan dan Anak itu menyebutkan bahwa Indonesia berada di ujung kedaruratan kekerasan seksual. “Apakah akan dibiarkan menjadi kritis sehingga berubah krisis kekerasan seksual,” ujarnya.
Lambannya pengesahan RUU TPKS tersebut, kata Tenaga Ahli Pimpinan DPD RI 2017-2019 itu, berpotensi pembiaran para pelaku predator kekerasan seksual berkeliaran di lingkungan pendididikan, ruang kantor, tempat umum dan keluarga.
Re-victimisasi yang dialami korban mengakibatkan penderitaan yang berkepanjangan dialami korban. Sejatinya, katanya, RUU TPKS hadir untuk memenuhi kebutuhan korban akan jaminan perlindungan, penanganan dan pemulihan secara komprehensif serta pencegahan tindakan kekerasan. RUU TPKS juga mengatur pada aspek pencegahan.
Ketua Indonesia Child Protection Watch mengatakan, untuk mendapatkan keadilan sangatlah tidak mudah. Korban kekerasan seksual berjuang dengan diawali pada proses Lidik dengan melaporkan kejadian pada aparat penegak hukum yaitu POLRI. Namun, tidak semua kasus masuk fase Sidik yang dilanjutkan sampai proses P21 (telah siap disidangkan).
Selanjutnya, visum et repertum menjadi salah satu kunci dalam mengungkap kasus. Namun tidak banyak korban yang berani melapor saat terjadi tindak pidana kekerasan seksual sehingga banyak kasus tidak bisa ditindaklanjuti akibat tidak cukup bukti.
“Apakah keadilan akan ditegakkan melalui jalanan. Akankah kita biarkan Drama berlanjut? Dimana hati nurani saat di depan mata kejahatan merajalela. Mari selamatkan ibu pertiwi dengan menjadikan Perempuan Berdaya, Anak Terlindungi Indonesia maju,” pungkasnya. ***