INDONEWS.ID

  • Senin, 31/01/2022 09:20 WIB
  • Wae Sano Ruang Hidup Kami, Bukan untuk Dieksploitasi

  • Oleh :
    • Mancik
Wae Sano Ruang Hidup Kami, Bukan untuk Dieksploitasi
Danau Sano Nggoang di Desa Wae Sano, Kecamatan Sano Nggoang, Kabupaten Manggarai Barat.(Foto:florespos.co.id)

Oleh:Onesimus Napang

Jakarta, INDONEWS.ID - Wae Sano Ruang Hidup Kami”, adalah ungkapan masyarakat Desa Wae Sano, Kecamatan Sano Nggoang, Kabupaten Manggarai Barat-NTT dalam perjuangannya untuk mempertahankan eksistensi mereka sebagai masyarakat adat serta hak-haknya atas sumber daya alam, yang bertentangan dengan upaya pemerintah mengeploitasi lahan mereka untuk pembangunan Energi Baru Terbarukan (Geothermal).

Baca juga : DPRD Mabar, Berbicaralah!

Pengakuan masyarakat Wae Sano atas tanah mereka yang merupakan satu kesatuan yang utuh dengan mereka dan didalamnya memberi ruang untuk hidup, patut diapresiasi. Bagi mereka, tanah yang merupakan ruang untuk hidup tidak bisa kemudian dijadikan sebagai alat pengeruk keuntungan untuk mendukung eksistensi kapitalis.

Masyarakat Wae Sano mengingatkan pemangku kebijakan bahwa tanah berbeda dengan tembikar, sutera atau komoditas dagang lainnya yang dengan mudah diperjualbelikan. Alih-alih mengakumulasikan kapital untuk mendapatkan nilai lebih, tanah malah menjadi komoditi yang diperjualbelikan.

Baca juga : Bertelurlah di `Lapangan Luas`

Menjual tanah sama saja dengan mengubah relasi-relasi sosial dan kebudayaan yang ada di masyarakat. Tanah mengandung relasi-relasi sosial dan kebudayaan masyarakat. Di dalamnya terdapat nilai, norma, serta sistem gagasan yang melingkupi kehidupan di atasnya. Terancamnya sistem kebudayaan, menggerakkan rakyat untuk melawan segala upaya yang mengancamnya.

Pembangunanisme di Indonesia dan Eksistensi Masyarakat Adat

Tiga dasawarsa sebelum reformasi, yakni masa Orde Baru (Orba) menjadi salah satu masa terburuk bagi masyarakat adat, akan tetapi amanat reformasi dua dekade setelahnya pun terlihat tak memberi ruang hidup yang lebih layak bagi masyarakat adat.

Baca juga : Tanggung Jawab Terhadap "Wajah yang Bersujud"

Berbagai produk kebijakan, baik nasional maupun daerah, membuktikan masih minimnya kesediaan pemerintah untuk mengakui hak-hak masyarakat adat sesuai yang diamanatkan dalam konstitusi negara. Janji politik yang tidak kunjung direalisasikan oleh pemangku kebijakan juga turut berkontribusi atas gamangnya pengakuan masyarakat adat di Indonesia.

Pembangunan oleh Soeharto diukur dengan ada atau tidaknya gedung bertingkat, jalan lebar beraspal, hotel mewah, padatnya jumlah mobil dan gemerlapnya lampu pertokoan. Sekarang, ukurannya ditambah lagi dengan gaya hidup instant dan serba cepat.

Sangat mendasar sebuah ulasan Lutfian Haekal (2017), dalam sebuah artikel “Kaptalisasi Hak Atas Tanah” yang diakses 19 Agustus 2017 yang lalu. Dalam artikelnya menjelaskan, labelisasi tanah di pemerintahan Presiden Sukarno muncul lewat UU Pokok Agraria 1960, dan lebih banyak lagi di Pemerintahan Orde Baru.

Namun, sistem ekonomi yang berbeda dari kedua masa pemerintahan itu menyebabkan perbedaan dalam memandang tanah sebagai alat produksi. Klaim ini bertumbukan dengan pengelolaan tanah oleh masyarakat adat atau lokal.

Negara melalui hukumnya berhasil mendominasi klaim atas tanah, padahal masyarakat tertentu telah memiliki hukum dan lama beroperasi mengatur pegelolaan tanah secara komunal. Dari sudut inilah apa yang dikatakan Karl Marx bahwa negara adalah “komite ekskutif” kelas penguasa mewujudkan dirinya.

Negara menjadi “suatu badan politik yang terutama berfungsi melindungi kepentingan ekonomi dan politik kelas sosial yang memegang dominasi”. Dominasi oleh negara memingkirkan akses rakyat terhadap tanah. Alhasil, banyak rakyat kehilangan alat produksi lantas menjual tenaganya dengan upah murah.

Dengan kekuatannya, dan memang demikian tujuannya, kapitalis membentuk manusia semata-mata komoditas yang tenaganya dapat dieksploitasi seintensif mungkin untuk kepentingan produksi. Perkara tenaga ini semakin runyam tatkala terjadi mekanisasi dalam proses produksi jelas Lutfian Haekal dalam artikelnya yang di muat indoprogress.com 19 Agustus 2017 silam.

Dimasa kepemimpinan Ir. Joko Widodo, dilahirkan suatu produk regulasi yang didesain dalam konsep Omnibus Law (UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja). Sejak proses pembentukan sampai pada diundangkanya didalam lembaran negara, UU ini dipenuhi kontroversi

Selain mempersoalkan landasan hukum, kelompok kontra juga mempersoalkan beberapa muatan materi UU yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 yang berpotensi merugikan masyarakat dikemudian hari seperti misalnya terkait ketenaga kerjaan, sumber daya alam, lingkungan hidup dan pendidikan. Change.org mencatat bahwa penolakan masyarakat terhadap UU Cipta Kerja ini mencapai hingga 57.995 orang dan penolakan yang sama juga dilakukan oleh 136 akademisi.

Selain peraturan yang mengadopsi konsep Omnibus, sebelumnya Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) yang memiliki sejumlah pasal bermasalah, salah satunya pada pasal 1 Ayat 28a UU Minerba yang menyebutkan bahwa wilayah hukum pertambangan mencakup ruang darat, laut, bawah bumi di kepulauan Indonesia, tanah di bawah perairan dan landasan kontinen.

Terlihat bahwa regulasi didesain sedemikian rupa oleh pemangku kebijakan untuk melegitimasi praktek kapitalisasi terhadap seluruh sumber daya alam yang dengan konsekuensinya dapat menghilangkan satu kesatuan yang utuh didalamnya termasuk masyarakat adat.

Paksakan Kehendak Masyarakat Adat Demi Investasi

Dalam bukunya “On the Reproduction of Capitalism: Ideology and Ideological State Apparatuses” (1971), Althusser menyatakan bahwa negara dalam melakukan tindakannya demi akumulasi kapital terjaga, menggunakan Ideological State Apparatuses (ISA) dan Repressive State Apparatuses (RSA). Negara menggunakan ISA melalui pendidikan, doktrinasi, ataupun aturan perundang-undangan.

Sedangkan, negara menggunakan RSA melalui aparatur negaranya, seperti militer, polisi ataupun organisasi masyarakat. Hal tersebut dilakukan negara demi melancarkan proyek kapitalisasi di dalam segala bidang. Analisis dari Althusser menjadi shahih dengan adanya negara yang menggunakan militer untuk melancarkan proyek kapitalisasi dan perampasan tanahnya.(Sumber:indoprogress.com)

Persoalan di Wae Sano menyita perhatian publik, hal ini dikarenakan poin-poin penolakan masyarakat Wae Sano yang sudah berjalan 5 tahun semenjak 2017 silam masih belum terjawab oleh pemerintah Kab. Manggarai Barat. Belakangan ini, tepatnya tanggal 25 Januari 2022 pemerintah bersama perusahan pengemaban menggelar konsultasi publik untuk sekian kalinya dihadapan masyarakat Wae Sano, akan tetapi upaya tersebut belum mendapatkan kesepakatan.

Menurut pengakuan keterwakilan masyarakat adat Wae Sano dalam konferensi pers (Melalui Live Streaming YouTube Channel Jaringan Advokasi Tambang Nasional) 26 Januari 2022 pada awak media bahwa pemerintah dan perusahan hingga sampai saat ini belum merealisasikan poin penolakan mereka akan tetapi sebaliknya pemerintah terus berupayah untuk melanjutkan proyek yang bersekala raksas ini yang berpotensi mengancam ruang hidup kami masyarakat adat Wae Sano.

Untuk sementara ini yang dihadapi oleh warga adat Wae Sano mungkin belum terjadi praktek RSA seperti yang dianalisis Althusser diparagraf senelumnya akan tetapi bukan tidak mungkin ditengah kesadaran masyarakat semakin tinggi atas hilangnya ruang hidup mereka, langkah yang diambil oleh penguasa nanti adalah tindakan represif, hanya dengan alasan demi kemajuan dan demi investasi.

Apa? Yang Terbaik Untuk Masyarakat Wae Sano

Berkat otonomi daerah aparatur pemerintahan daerah memiliki hak dan wewenang yang baru. Namun hak dan wewenang tersebut bukanlah untuk kepentingan pemerintah semata, namun untuk kepentingan masyarakat.
Sebuah kajian yang dilakukan oleh Dani Muhtada, Ph.D berjudul “Konsep Dasar Otonomi Daerah” yang telah dimuat dalam blok pribadinya menjelaskan, berkat otonomi daerah aparatur pemerintahan daerah memiliki hak dan wewenang yang baru, hal ini perlu digarisbawahi sebab kadang-kadang pelaksanaan otonomi daerah justru menciptakan “raja-raja kecil” di daerah,yang tiba-tiba memiliki privilege khusus untuk mengelola sendiri rumah tangga daerahnya demi kepentingan pribadi atau kelompoknya.

Otonomi daerah pada hakikatnya adalah hak daerah untuk “menikmati” kebebasannya mengelola rumah tangganya dan untuk mensejahterakan dirinya. Bukan hak kepala daerah yang dengan semena-mena mengelola rumah tangganya untuk kepentingan dirinya sendiri.

Asosiasi Ilmu Politik Indonesia Syamsuddin Harris dalam bukunya, “Desentralisasi & otonomi daerah; desentralisasi, demokratisasi & akuntabilitas pemerintah daerah” dijelaskan bahwa dalam pelaksanaan otonomi daerah, masyarakat harus menjadi subyek, bukan obyek otonomi daerah. Sebagai subyek otonomi artinya masyarakat harus bertindak sebagai “pelaku” utama, bersama pemerintah dalam mewujudkan cita-cita otonomi daerah.

Dengan kata lain, masyarakat harus didengar pendapatnya baik dalam proses dalam penyusunan kebijakan, pengambilan keputusan, implemenyasi kebijakan, serta evaluasi kebijakan otonomi daerah. Tanpa partisipasi masyarakat yang demikian, menurut saya, praktik otonomi daerah akan kehilangan maksud dan substansinya.

Sikap masyarakat Wae Sano atas upaya pemerintah dalam mengeploitasi tanah yang mereka anggap sebagai ruang hidup, memberi warning kepada pemangku kebijakan bahwa keberadaan dan pemanfaatan sumber daya alam yang arif, bukan hanya sekedar retorika untuk memenangkan konsestasi perpolitikan didaerah belaka, dan melayani niat investor yang hendak mengkapitalisasi hingga mengekploitasi seluruh sumber daya alam tetapi harus diwujudkan untuk tujuan kesejahteraan masyarakat secara utuh.

Sekarang saatnya pemangku kebijakan mengakhiri praktek-praktek pengelolaan sumber daya alam yang bercorak ekploitatis, sentralistik, sektoral, dan represif. Hal ini penting, dalam rangka mewujudkan tata pengelolaan lingkungan hidup yang baik (good environment governance) untuk mengantisipasi krisis ekologis yang setiap tahun terus mengancam keberlansungan mahkluk yang hidup didalamnya.*

Artikel Terkait
DPRD Mabar, Berbicaralah!
Bertelurlah di `Lapangan Luas`
Tanggung Jawab Terhadap "Wajah yang Bersujud"
Artikel Terkini
Umumkan Rencana Kedatangan Paus Fransiskus, Menteri Agama Dukung Penuh Pengurus LP3KN
Mendagri Tito Lantik Sekretaris BNPP Zudan Arif Fakrulloh Jadi Pj Gubernur Sulsel
Perayaan puncak HUT DEKRANAS
Kemendagri Tekankan Peran Penting Sekretaris DPRD Jaga Hubungan Harmonis Legislatif dengan Kepala Daerah
LPER Dilibatkan BNPT Berikan Kuliah Umum Kepada Peserta Didik di Penajam, dan Kutai Kertanegara, Kaltim
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas