Opini

Bertelurlah di `Lapangan Luas`

Oleh : indonews - Senin, 04/10/2021 19:24 WIB

Warga Labuan Bajo, Manggarai Barat, Sil Joni.(Foto:Istimewa)

Oleh: Sil Joni*

INDONEWS.ID - Politeknik elBajo Commodus, Perguruan Tinggi (PT) pertama di Manggarai Barat (Mabar) memanen sebanyak 24 buah sulung hasil tempaan kampus itu pada Sabtu, 2 Oktober 2021. Peristiwa `panen perdana` itu diekspresikan dalam bentuk seremoni wisuda yang berlangsung begitu semarak di aula kampus. Sebanyak 18 mahasiswa/i dari program D3 Ekowisata dan 6 mahasiswa/i dari program D3 Perhotelan, `dikukuhkan` sebagai `ahli madia` untuk bidang masing-masing.

Kendati `prosesi wisuda` bukan sebagai `momen puncak` pencapaian akademik, tetapi tetap tak bisa disangkal bahwa upacara wisuda dilihat sebagai salah satu `saat istimewa dan bersejarah` dalam catatan pengembaraan akademik seseorang. Karena itu, tidak terlalu mengherankan jika mayoritas sarjana `memberikan semacam perhatian lebih` terhadap salah satu ritus seremonial kampus itu.

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk `melerai` perdebatan seputar relevansi dan signifikansi upacara wisuda jika dihubungkan dengan `bobot kecakapan akademik` seorang sarjana. Saya coba merefleksikan secara serius soal pertanggungjawaban sosial titel akademik yang direngkuh oleh seorang sarjana. Sisi produktivitas, inovasi dan kreativitas menjadi `indikator` apakah benar seseorang itu pernah berada dalam proses formasi intelektual dalam kampus atau tidak.

Definisi leksikal dari kata kampus sebetulnya bersifat reduktif. Kandungan makna dari term itu cenderung `dipersempit` dalam aras implementasinya saat ini. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) misalnya, kata kampus selalu merujuk pada lingkungan bangunan utama perguruan tinggi (universitas, akademi, politeknik dll). Kampus merupakan lokus utama semua kegiatan belajar-mengajar dan hal-hal teknis administratif.

Sebetulnya, secara etimologis (seperti yang dijelaskan dalam Wikipedia), kata kampus berasal dari Bahasa Latin, yaitu campus yang berarti “lapangan luas”. Kampus yang sesungguhnya adalah dunia kehidupan yang maha luas dengan segala dinamika dan kompleksitas persoalannya.

Tetapi, dalam Bahasa Inggris, kata campus diartikan sebagai ‘bangunan’ dari sebuah institusi seperti perguruan tinggi dan akademi untuk menunjang proses kegiatan belajar-mengajar. Saya kira, di Indonesia, boleh jadi, pengaruh terjemahan Inggris itu sangat kuat. Pasalnya, istilah kampus itu identik dengan sebuah perguruan tinggi atau sekolah-sekolah akademi.

Dengan demikian, berbicara soal kampus maka sudah pasti selalu berkaitan dengan dunia perkuliahan dan semua aktivitas-aktivitas yang terjadi di kampus. Kampus tidak hanya tempat untuk mengembangkan keilmuan, tetapi juga membentuk kepribadian, kemandirian, keterampilan sosial, dan karakter. Kampus sebagai lembaga pendidikan tinggi, selayaknya memiliki komitmen untuk melaksanakan dan mengawal pembentukan karakter bangsa. Atas dasar itu, kampus juga dinilai sebagai `miniatur` dari sekolah kemasyarakatan.

Merujuk pada definisi asli dari kata kampus di atas, maka sebenarnya sebuah Perguruan Tinggi seperti Politeknik itu hanya sebagai `ruang sistematisasi dan tematisasi` pelbagai ilmu yang hidup dan berakar dalam lapangan kehidupan yang luas. Dalam tempat sistematisasi itulah, seseorang dibimbing dan ditolong agar bisa mengelola potensi akademiknya untuk diaplikasikan dalam kehidupan nyata.

Itu berarti ilmu dan keterampilan yang dipelajari di kampus sempit itu bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu itu sendiri (ilmu untuk ilmu), tetapi untuk dikembangkan secara kreatif dalam kampus kehidupan yang lebih luas. Ilmu itu ditunaikan sepenuh-penuhnya untuk mengubah atau memperbaiki kondisi peradaban manusia itu sendiri. Kita menimba mata air ilmu di kampus sempit untuk menyirami dan menumbuhkan tunas kehidupan yang lebih berkualitas dalam kampus yang luas itu.

Oleh karena itu, kepada 24 wisudawan/ti dari kampus Politeknik elBajo Commodus, dalam nada imperatif, kita berpesan `bertelurlah di lapangan luas`. Saya sangat yakin bahwa para wisudawan/ti tersebut sudah `kenyang` menyantap ilmu pengetahuan baik melalui para dosen maupun melalui riset yang dibuat secara otodidak di kampus tersebut.

Merayakan pesta wisuda bukan tujuan utama kita `berada di kampus`. Wisuda itu hanya sebuah ritual seremonial yang bersifat temporal dan kadang bersifat hedonistik. Pesta sesungguhnya baru digelar ketika `para ahli madia` itu telah menelurkan banyak karya kreatif dalam bidang ekowisata dan perhotelan di Mabar ini. Publik Mabar sangat mendambakan `telur intelektual` bermutu yang ditetaskan oleh para output PT pertama di Labuan Bajo ini.

Telur intelektual yang dihasilkan para tamatan Politeknik ini, tentu menjadi salah satu asupan nutrisi sosial dan budaya bagi perkembangan peradaban pariwisata di daerah ini. Tentu, catatannya adalah telur-telur ilmiah tersebut tidak berbau dan busuk. Jika publik mengonsumsi telur akademik yang busuk dan `setengah matang`, bisa membuat perut peradaban pariwisata terganggu.

Akhirnya, kita mengucapkan selamat dan profisiat kepada ke-24 wisudawan/ti dari program studi D3 Ekowisata dan D3 Perhotelan, kampus Politeknik elBajo Commodus. Anda telah `merintis` jalan sejarah perkembangan aktivitas akademik di Labuan Bajo. Keberterimaan kampus ini oleh publik di masa depan, tentu salah satunya bergantung pada sejauh mana debut dan kinerja anda dalam lapangan kehidupan (kampus) yang nyata.

*Penulis adalah warga Mabar. Tinggal di Watu Langkas.

Artikel Terkait