INDONEWS.ID

  • Senin, 23/05/2022 12:58 WIB
  • Nasib Demokrasi Setelah 24 Tahun dan Ajakan Reformasi Jilid 2 Secara Damai

  • Oleh :
    • very
Nasib Demokrasi Setelah 24 Tahun dan Ajakan Reformasi Jilid 2 Secara Damai
Diskusi setelah 24 tahun reformasi. (Foto: Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID - Sistem hukum dan pilar konsitutisi pada awalnya diharapkan bisa bekerja untuk memperkuat reformasi di Indonesia. Karena itu, masalah-masalah yang ada tersebut diharapkan bisa diatasi dengan melakukan reformasi sistem hukum yang ada.

Untuk itu, MPR RI melakukan amandemen konsitutusi sebanyak empat (4) kali. Ada banyak lembaga baru dibentuk yang diharapkan bisa memperkuat hak-hak dasar warga negara yang diatur dalam konstitusi di antaranya LPSK. Reformasi juga mengoreksi begitu banyak aturan untuk perlindungan warga negara seperti UU Pers, UU HAM, ratifikasi perjanjian internasional yang banyak diadopsi pemerintah. Juga reformasi peradilan. Reformasi hukum ketika itu ingin sedapatnya menjangkau rasa keadilan publik.

Baca juga : KI Pusat Mantapkan Sinergi dengan Media dalam Mengawal Informasi Publik

“Namun, ternyata ada hal-hal yang tidak selesai. Dari kacamata politik kekuasaan dan studi-studi tentang kembalinya otoritarianisme, regresi demokrasi di Indonesia dan reorganisasi yang dimanfaatkan kekuatan-kekuatan predator. Terjadi pembajakan terhadap agenda reformasi yang terlihat sejak awal,” ujar Direktur Pusat Studi Hukum dan  HAM LP3ES, Dr. Herlambang P Wiratraman, dalam diskusi publik LP3ES bertajuk “Nasib Demokrasi Setelah 24 Tahun Reformasi”, yang disiarkan oleh Twitter Space Didik J Rachbini pada Minggu (22/5).

Akademisi UGM  ini mengatakan, ada 5 palang pintu yang menjadi penghambar terbesar demokrasi konstitusional dari sudut pandang hukum.

Baca juga : Direktur GKI Beri Materi Kewirausahaan untuk Pelajar SMKS Bina Mandiri Labuan Bajo

Pertama, adanya impunitas yang menyebabkan gagalnya tindakan hukum terhadap para pelaku pelanggaran HAM masa orde baru dan koruptor yang tidak bisa dimintakan pertangggungjawaban.

Kedua, terjadi kekerasan yang melibatkan faktor politik atau struktural dalam kasus-kasus konflik lahan dan sumber daya alam. Fakta tragis, kekerasan dan pelanggaran HAM tersebut terus terjadi berulang.

Baca juga : Pimpin Proses Penyiapan dan Percepatan Keanggotaan Indonesia pada OECD, Presiden Joko Widodo Tunjuk Menko Perekonomian sebagai Ketua Tim Nasional OECD

Ketiga, situasi ini jadi penanda besar begitu kuatnya politik oligarki yang masuk dalam sistem kekuasaan. “Karena itu, tidak heran jika korupsi terus terjadi, institusionalisasi semakin lekat dalam anggaran negara. Eksploitasi SDA dalam mekanisme perizinan terus terjadi. KPK justru masuk dalam perangkap institusionalisasi,” ujarnya.

Keempat, terjadi pelemahan dan pelumpuhan kebebasan dasar. Kebebasan pers, kebebasan sipil, represi, kriminalisasi melemahkan demokrasi konstitusional melalui serangan media, polarisasi dan pendangkalan via proses manipulasi.

“Kelima, publik memerlukan cara pandang baru dalam demokrasi konstitusional. Kajian tentang bagaimana kekuasaan justru memanfaatkan instrumen demokrasi via kelembagaan demokrasi,” ujarnya.

 

Potensial Membunuh Demokrasi

Direktur Pusat Studi Media dan Demokrasi LP3ES, Dr. Wijayanto mengatakan saat ini serangan terhadap demokrasi di Indonesia merupakan serangan paling kuat jika ditinjau dari beberapa sisi. Dan hal itu, katanya, potensial membunuh demokrasi.

Pertama, dari sisi struktural. Dosen Fisip UNDIP itu mengatakan terjadi pelemahan nyata KPK dengan revisi UU KPK pada 2019 merupakan salah satu penanda nyata dari olgarki yang telah melakukan konsolidasi demikian cepat sampai dengan 2019.

Pelemahan KPK, sempat dicoba pada sebelum 2014 dengan operasi Cicak vs Buaya. Agenda konsolidasi oligarki terutama adalah untuk terus melakukan pembajakan demokrasi di Indonesia secara sistematis. Terjadi juga pelemahan masyarakat sipil dengan tidak adanya protes-protes terhadap kerapnya kenaikan BBM, dan tidak begitu kuatnya penolakan terhadap UU Ciptaker.

Kampus juga dilemahkan dengan ancaman sanksi bagi mahasiwa yang melakukan aksi protes. “Aktivis yang merapat kepada kekuasaan menjadi catatan lain. Terjadi penggerusan kebebasan pendapat dan kebebasan publik berbicara di ruang publik,” ujarnya.

Kedua, dari sisi institusional. Dia mengatakan, pemilu yang semula didesain untuk memilih wakil rakyat dibajak oleh oligarki menjadi penyambung lidah oligarki. Hal itu karena pemilu hari ini telah menjadi ajang money politik. Semakin mahal dana yang digelontorkan menjadi penentu kemenangan. Hal itu diperburuk oleh feodalisme yang masih mengungkung partai politik.

Ketiga, dari sisi agency. Pemilu, yang memilih wakil-wakil rakyat di parlemen dan para pejabat eksekutif, yang semula diharapkan menjadi koridor terdepan dalam memperkuat demokrasi, ternyata berbalik menjadi aktor-aktor yang memunggungi demokrasi. “Padahal para wakil rakyat dan pejabat eksekutif adalah mereka yang telah dipilih melalui mekanisme demokratis,” ujarnya.

Keempat, dari sisi kultural. Demokrasi membutuhkan budaya politik yang sehat. Sayangnya, hal itu belum menjadi kebutuhan yang terdepan di Indonesia.

“Feodalisme masih menjadi hambatan terbesar elit politik yang menghalangi agenda membangun budaya dialog dan berbeda pendapat. Perbedaan pendapat bahkan telah menjadi petaka bagi aktivis yang mencoba berbeda pendapat, sebagaimana yang dialami oleh Haris Azhar dan Fathia. Sementara di akar rumput yang seharusnya menjadi ajang diskusi sehat, terbelah oleh politik identitas Kadrun dan Cebong,” katanya.  

 

Trigger Perubahan dan Reformasi Jalan Damai

Sementara itu, mengutip ajakan dari Prof. Azyumardi Azra untuk melakukan reformasi jilid 2 dengan damai, Dosen Universitas Paramadina Dr. Hendri Satrio, mengatakan tantangan reformasi di usia ke-24 tahun sekarang ini amat besar.

Terbaru, katanya, adalah kelalaian Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri) dalam menerbitkan aturan pelaksanaan tentang penjabat kepala daerah, yang sesuai mekanisme demokratis dengan pemilihan umum/Pilkada.

Menurutnya, penggunaan UU No 10 hanya cocok digunakan bagi pejabat publik yang sedang kunjungan ke luar negeri dalam jangka waktu pendek (5-6 bulan). “Sementara pejabat yang ditunjuk untuk menggantikan pejabat definitif kepala daerah dikhawatirkan terlalu lama menjabat sebagai Plt. Karena pejabat baru hasil Pilkada kemungkinan baru akan dilantik pada 2025. Penunjukan langsung pejabat tanpa Pilkada hanya akan mengulang keburukan masa orde baru,” ujar Hendri.

Dia mengatakan, tantangan lain dari langkah yang dinilai bisa merusak demokrasi dan kepatuhan terhadap hukum tatanegara adalah mengenyampingkan petunjuk dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Contoh paling nyata adalah Putusan MK tentang UU Ciptakerja yang harus direvisi namun sampai kini belum juga ada tindak lanjut.

Karena itu, Presiden Jokowi semestinya menempatkan masalah HAM dan agenda anti korupsi pada level pertama concern sebagai kepala negara. “Hal itu tentunya harus dilakukan di tengah serangan berat ke arah kemunduran demokrasi di Indonesia. Jokowi seharusnya menggerakkan seluruh elemen rakyat untuk meningkatkan kualitas demokrasi, dan bukan dengan memainkan drama anti demokrasi dengan memerintahkan pendukungnya untuk menunggu arahan terkait capres 2024,” ujarnya.

Karena itu, menurut Hendri, saat ini mulai muncul letupan-letupan kecil yang kemungkinan menjadi trigger perubahan dalam masalah ekonomi nasional. Salah satunya adalah melemahnya nilai rupiah terhadap US Dollar. “Kelangkaan dan mahalnya harga minyak goreng, serta kenaikan harga BBM adalah trigger yang serupa dengan 1998 ketika terjadi kelangkaan susu bayi dan telur ayam,” ujarnya.

Wijayanto menambahkan, ke depan, masyarakat sipil amat perlu melakukan konsolidasi diri, dengan mempengaruhi aktor-aktor di partai politik yang berpikiran progresif untuk melakukan perubahan diri masig-masing.

Terkait Pemilu 2024, katanya, ruang publik harus dididik untuk tidak melulu melakukan “jurnalisme pacuan kuda”, yaitu jurnalisme yang amat riuh di pinggir arena tapi tidak mengetahui substansi dari kegiatan tersebut.

Karena itu, publik harus diingatkan untuk menjadikan Pemilu 2024 ke arah tinjauan yang lebih substantif. Publik juga harus disadarkan untuk melihat kebijakan politik yang secara terus-menerus terjadi eksploitasi terhadap alam dan sumber daya alam, seperti yang terjadi pada area Wadas dan di lain tempat.

“Bagaimana politik dan keputusan politik dapat menjinakkan oligarki, menghentikan politik uang, perjuangan gender, dan lainnya. Singkatnya, masyarakat sipil harus didorong ke tema percakapan-percakapan ke hal-hal yang lebih substansial,” pungkasnya. ***

 

Artikel Terkait
KI Pusat Mantapkan Sinergi dengan Media dalam Mengawal Informasi Publik
Direktur GKI Beri Materi Kewirausahaan untuk Pelajar SMKS Bina Mandiri Labuan Bajo
Pimpin Proses Penyiapan dan Percepatan Keanggotaan Indonesia pada OECD, Presiden Joko Widodo Tunjuk Menko Perekonomian sebagai Ketua Tim Nasional OECD
Artikel Terkini
KI Pusat Mantapkan Sinergi dengan Media dalam Mengawal Informasi Publik
Direktur GKI Beri Materi Kewirausahaan untuk Pelajar SMKS Bina Mandiri Labuan Bajo
Menjadi Tulang Punggung Pengembangan Usaha Ultra Mikro Indonesia, PNM Ikuti 57th APEC SMEWG
Tiga Orang Ditemukan Meninggal Akibat Tertimbun Longsor di Kabupaten Garut
Pimpin Proses Penyiapan dan Percepatan Keanggotaan Indonesia pada OECD, Presiden Joko Widodo Tunjuk Menko Perekonomian sebagai Ketua Tim Nasional OECD
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas