INDONEWS.ID

  • Minggu, 29/10/2023 22:02 WIB
  • Memikirkan Pikiran dan Tindakan Politik Jokowi

  • Oleh :
    • very
Memikirkan Pikiran dan Tindakan Politik Jokowi
Dr. Abdul Mukti Ro’uf, MA adalah dosen dan pemerhati dibidang filsafat, contemporary Islamic Thought, dan social-keagamaan. Banyak menulis buku dan artikel ilmiah yang tersebar di berbagai jurnal. (Foto: Ist)

Oleh: Abdul Mukti Ro’uf*)

INDONEWS.ID - Keputusan Mahkamah Konstitusi yang kontroversial itu secara bersamaan menggelar karpet merah untuk Gibran Rakabuming Raka, anak sulung Presiden Jokowi yang baru menjabat Walikota Solo dua tahun menjadi cawapres. Bursa calon wakil presiden di Koalisi Indonesia Maju otomatis berubah. Dua kandidat kuat yang sudah mengurus SKCK, Erick Tohir dan Yusril Ihza Mahendra terpaksa harus menghentikan mimpinya untuk mendampingi capres Prabowo Subianto setelah capres Prabowo bersama ketum KIM mengumumkan langsung calon pendampingnya pada Minggu, 22 Oktober 2024.

Baca juga : Amicus Curiae & Keadilan Hakim

Cuaca politik langsung berubah secara ekskalatif terutama karena Gibran masih tercatat sebagai kader PDIP yang telah memiliki capres-cawapresnya sendiri. Gibran konon akan “digolkarkan” untuk memenuhi syarat representasi partai.  Jargon “tegak lurus” kepada partai seketika patah dan bengkok oleh kadernya sendiri. PDIP shock seketika dan dilematis antara harus segera memecat Gibran seperti memecat Budiman Soedjatmiko setelah resmi mendukung capres di luar partainya sendiri atau membiarkannya dengan pertimbangan khusus.

Perasaan “luka” PDIP jauh lebih dalam karena faktor Gibran sebagai anak Presiden berkuasa. Arah dukungan politik Jokowi dengan simbolisasi anaknya sedikit banyak akan mempengaruhi gerak langkah PDIP dalam memenangkan pertandingan di Pilpres 2024. Sumber dan alat kekuasaan meski secara normatif netral, dalam kerja-kerja politik selalu tersimpan warna abu-abu. Begitu juga yang tersimpan dalam benak nalar publik.  Arah nalar publik seketika menunjuk kepada Jokowi dan bukan pada sosok Gibrannya sendiri yang selama ini dipersepsi bermain dua kaki antara mendukung Ganjar dan Prabowo. Dicawapreskannya Gibran dengan Prabowo telah mengkonfirmasi bahwa endorsmentnya kepada Prabowo selama ini makin nyata.

Baca juga : Antisipasi Kebijakan Ekonomi dan Politik dalam Perang Iran -Israel

Pernyataan Jokowi tentang independensi anaknya dalam pilihan politiknya (tanpa campur tangan ayahnya) karenanya belum dianggap sebagai pernyataan yang koheren dengan kenyataan. Juga belum selaras dengan kaidah logika umum yang mengatakan: “jika bukan anak Presiden yang sedang berkuasa, tidak mungkin Gibran menjadi pilihan Prabowo”. Artinya, faktor Jokowi sebagai Presidenlah yang menjadikan Gibran relevan. Logika ini sulit terbantahkan.

Namun demikian, nalar sehat ini tidak untuk membatalkan kehendak dan pilihan politik sebagai hak asasi manusia. Juga bukan untuk membatalkan keputusan MK yang bersifat final dan mengikat. Nalar ini dikonstruksi justru untuk mendekonstruksi (membongkar) sesuatu yang berada (eksis) dalam pikiran Jokowi. Dalam rumus sosiologi pengetahuan yang digagas oleh Karl Mannheim, pikiran (pengetahuan) merupakan produk olahan dari realitas yang melingkupi seseorang. Begitu juga dengan kaidah hermeneutikanya filsuf Jerman Hans Georg  Gadamer yang meyakini bahwa pemikiran dan pemahaman seseorang dipengaruhi oleh horizon di luar dirinya apakah latar belakangnya, pengaruh orang lain atau lingkungan sosial-politik yang melingkupinya. Dalam doktrin hermeneutik, pikiran seseorang dapat berubah seiring dengan perubahan lingkungannya.

Baca juga : Prabowo Subianto Should Not Meet Megawati Soekarnoputri

 

Alam pikiran politik Jawa

Sebagai manusia politik, pikiran dan tindakan Jokowi layak untuk didekati dari filsafat politik Jawa. Dalam sebuah wawancara, Jokowi menegaskan falsafah politik Jawa sebagai pemandu laku-langkah politiknya yaitu, pertama,"Lamun sira sekti ojo mateni (meskipun kamu sakti jangan suka menjatuhkan), kedua, "Lamun sira banter aja ndhisiki (meskipun kamu cepat jangan suka mendahului), dan ketiga, "Lamun sira pinter aja minteri (meskipun kamu pintar jangan sok pintar).

Dalam laku-langkah Politik Jokowi selama menjadi presiden sembilan tahun relatif cukup tergambar. “Kesaktian” sebagai presiden dengan seluruh wewenang kekuasaannya yang besar relatif terjaga. Bahkan musuh-musuh politiknya tidak merasa dimusnahkan. Alih-alih mematikannya, ia justru merangkulnya. Peristiwa fenomenal adalah dirangkulnya Prabowo menjadi bagian dari kabinetnya. Keputusan politik ini membuat Prabowo “lunglai” di hadapan Jokowi.

Kini, jelang Pilpres 2024, ketergantungan Prabowo makin besar. Tanpa Jokowi, Prabowo tidak sekuat sekarang. Begitu juga dengan para kritikus Jokowi. Caci maki atas Presiden Jokowi tidak pernah berhenti sejak ia terpilih tahun 2014. Tetapi ia tidak menanggapinya secara berlebihan dan tetap normatif. Mungkin ia menganggap bahwa para pengkritik sebagai yang bertolak belakang dengan prinsip Jawa “jangan sok pintar”. Atau dalam pribahasa yang lain, “ anjing menggonggong kafilah berlalu”.

 

Membaca ketegangan politik

Pengelolaan falsafah Jawa dalam opersional di ujung kekuasaan Jokowi menimbulkan turbulensi karena beberapa anomali. Pertama, soal kesetiaan. Dengan disorongkannya Gibran sebagai cawapres Prabowo, Jokowi dianggap tidak setia dengan partai yang melahirkan, membesarkan, dan menyukseskan dirinya dan keluarganya dalam posisi-posisi politik kekuasaan yang penting: wali kota, gubernur, dan presiden. Bagaimana mungkin ada anak “menerkam” ibu kandungnya sendiri?

Pertanyaan anomali ini untuk sementara layak diajukan kepada Jokowi sebagai “anak ideologis” PDIP. Apakah demikian persis dengan apa yang dilakukan Jokowi? Tidak akan ada jawaban yang tegas, lugas dan tersurat dari seorang Jokowi sebagai putra Solo. Yang tersedia adalah simbol-simbol dan gejala fenomenologis yang bisa ditafsirkan oleh banyak pihak. Dan tafsir, sekali lagi, selalu menyimpan dan membawa kepentingannya sendiri.

Bagi Koalisi Indonesia Maju, keputusan Jokowi bersifat demokratis, legal, dan memenuhi unsur HAM. Tetapi bagi PDIP, keputusan itu menjadi ahistoris, tidak etis, dan cenderung anarkhis. Bagi pasangan AMIN, kisruh ini menjadi potensial untuk dikapitalisasi sebagai “berkah elektoral” untuk menggelembungkan suara pasangan AMIN. Mempertanyakan kesetiaan Jokowi pada PDIP melalui peristiwa pencawapresan Gibran dan dukungan PSI kepada pasangan Prabowo-Gibran memang cukup beralasan.

Dua peristiwa politik ini membuat publik bertanya: apa yang terjadi hubungan antara Jokowi dan Megawati Sukarno Putri? Pernyataan bahwa hubungan keduanya baik-baik saja bertabrakan dengan kenyataan dan tindakan politiknya. Sehingga, pernyataan sebaliknya yang mengatakan keduanya sedang tidak baik-baik saja jauh lebih benar dengan parameter kenyataan. Namun, publik masih menyimpan dugaan lain untuk membantah ketidaksetiaan Jokowi terhadap PDIP mengingat perjalanan pilpres masih akan menempuh ratusan hari ke depan. Bisa jadi akan ada kejutan-kejutan lain dari Jokowi yang dapat mengubah konstelasi hari ini.

Kedua soal keseimbangan. Saya menduga, Jokowi sedang memainkan “politik keseimbangan” untuk tujuan yang lebih besar dengan masa depan Indonesia menuju visi Indonesia emas 2045. Fondasi yang telah dibangun dan didirikan Jokowi harus dipastikan dilanjutkan dengan peluang waktu 13 tahun ke depan menuju negara maju. Cawek-cawek Jokowi atas Pilpres 2024 relevan untuk diletakkan dalam kerangka keberlanjutan kepemimpinan nasional. Endorsment Jokowi yang terus menerus untuk kedua capres, Prabowo dan Ganjar juga dapat dimaknai sebagai kerangka ide keberlanjutan itu. Dua capres Prabowo dan Ganjar diyakini Jokowi sebagai capres yang layak untuk meneruskan cita-citanya. Namun, gagasan keseimbangan ini relatif terciderai oleh peristiwa politik mutakhir. Tetapi perlu dicatat, para relawan Jokowi secara faktual saling bermigrasi ke Prabowo dan Ganjar. Itu artinya, ada lalu lintas dukungan para relawan Jokowi ke dua arah. Dan, sekali lagi, Jokowi terkesan membiarkan lalu lintas itu terjadi secara alamiah akibat keputusan politik yang ada. Bisa jadi, bagi Jokowi, baik Prabowo-Gibran yang menang atau pasangan Ganjar- Mahfud MD yang beruntung menang, keduanya dapat dipastikan meneruskan apa yang menjadi cita-cita dan impian dirinya sebagai presiden. Jika itu yang menjadi concern Jokowi, maka ia rela mengorbankan reputasinya yang selama ini baik. Bahkan ia rela menjadikan putra sulungnya Gibran menjadi “tumbal” dari gagasan dan operasi politik keseimbangan.

Ketiga, soal politik dinasti. Diskursus ini memang tak pernah tuntas dibahas dengan seluruh konteks dan kepentingannya. Dalam sistem kerajaan dimana Indonesia mewarisi sejarah ini, politik dinasti cukup kuat dan eksis dalam tradisi politik kerajaan Jawa. Maka, jika ada yang mengaitkan dengan model kepemimpinan Jokowi menjadi lumrah. Sistem demokrasipun menyokong atas dasar alasan HAM dan kedaulatan penuh di tangan rakyat. Meskipun Gibran anak presiden, jika rakyat melalui bilik-bilik TPS tidak memilihnya, tidak mungkin meraih kekuasaan. Meskipun, logika demokrasi ini bisa benar di atas kertas, tetapi susah untuk benar di kenyataan. Terpilihnya Gibran sebagai wali kota Solo, pastilah karena terutama faktor ia anak presiden. Mengapa? Karena dalam tradisi Jawa, tidak mengenal budaya kritis terhadap “junjungan” raja.

Selain itu, demokrasi di Indonesia tidaklah dibangun di atas sistem pengetahuan sebagaimana demokrasi di Amerika Serikat. Pembiaran anak menantu Jokowi untuk terlibat aktif dalam politik kekuasaan, sangat mungkin karena alasan kombinasi antara tradisi politik kerajaan Jawa dan sistem modern demokrasi. Memang, selalu muncul pertanyaan etis untuk persoalan ini. Tapi soal etis ini memiliki porsi yang sangat kecil dalam politik. Dalam pandangan filsuf politik Machavelli persoalan kekuasaan yang diutamakan bukan soal legitimasi moral, tetapi bagaimana kekuasaan yang tidak stabil itu menjadi stabil dan lestari sehingga Machiavelli secara tegas membuat pemisahan antara politik dan moralitas. Menurutnya, politik dan moralitas merupakan dua bidang yang terpisah. Dalam urusan politik, tidak ada tempat untuk membicarakan masalah moral. Pemisahan tegas antara prinsip moral, etika dan prinsip ketatanegaraan didasarkan pada perbedaan antara ketiganya. Apakah pikiran dan langkah politik Jokowi senafas dengan pandangan Machavelli? Bisa ya bisa tidak. Jika keputusan politik Jokowi dianggap dianggap tidak bermoral terutama bagi kalangan yang dirugikan, maka sejatinya Jokowi sedang menjadi murid setia Machavelli. Tetapi sepertinya bertabrakan dengan prinsipnya sendiri sebagai pemegang flasfah hidup Jawa.

 

Keseimbangan dengan “korban”

Saya lebih cenderung bahwa Jokowi sedang menempuh politik keseimbangn untuk tujuan besar dengan resiko besar. Dan bisa jadi, distulah letak perjuangan dan pengorbanannya. Ini mungkin relatif bertabrakan dengan kenyataanya. Sebagai presiden yang harus netral, Jokowi memilih jalan problematis. Satu sisi ia dituntut sebagai “petugas partai” yang harus tegak lurus kepada partainya. Pada saat yang sama, ia harus mengayomi kekuatan lain.

Keteguhan atas kepentingan besarnya menuntunnya untuk membiarkan dirinya “terhakimi” oleh kepentingan partisan. Kepentingan besar berupa persatuan, rekonsiliasi, dan energi prima untuk memajukan Indonesia membiarkannya “menderita” untuk dijauhi, ditinggalkan bahkan dihardik justru oleh para pendukung setianya. Apakah ini jenis pengorbanan dari seorang Jokowi sebagai pemimpin Negari atau semacam bentuk “pengkhianatan” dari mandat politik sebuah partai? Hanya Jokowi dan Tuhan yang tau. Semoga dalam rafusan hari ke depan, perjalanan Pilpres 2024 menjadi perjalanan yang menyenangkan, menggembirakan, mendambakan dan berakhir dengan Husnul khatimah.

*) Dr. Abdul Mukti Ro’uf, MA adalah dosen dan pemerhati dibidang filsafat, contemporary Islamic Thought, dan social-keagamaan. Banyak menulis buku dan artikel ilmiah yang tersebar di berbagai jurnal.

Artikel Terkait
Amicus Curiae & Keadilan Hakim
Antisipasi Kebijakan Ekonomi dan Politik dalam Perang Iran -Israel
Prabowo Subianto Should Not Meet Megawati Soekarnoputri
Artikel Terkini
KI Pusat Mantapkan Sinergi dengan Media dalam Mengawal Informasi Publik
Direktur GKI Beri Materi Kewirausahaan untuk Pelajar SMKS Bina Mandiri Labuan Bajo
Menjadi Tulang Punggung Pengembangan Usaha Ultra Mikro Indonesia, PNM Ikuti 57th APEC SMEWG
Tiga Orang Ditemukan Meninggal Akibat Tertimbun Longsor di Kabupaten Garut
Pimpin Proses Penyiapan dan Percepatan Keanggotaan Indonesia pada OECD, Presiden Joko Widodo Tunjuk Menko Perekonomian sebagai Ketua Tim Nasional OECD
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas