INDONEWS.ID

  • Kamis, 21/12/2023 21:19 WIB
  • SMRC: Untuk Dapatkan 1 Suara Efektif Karena Politik Uang, Anda Harus Memberi kepada 10 Pemilik Suara

  • Oleh :
    • very
SMRC: Untuk Dapatkan 1 Suara Efektif Karena Politik Uang, Anda Harus Memberi kepada 10 Pemilik Suara
Politik uang. (Foto: Ilustrasi)

 

Jakarta, INDONEWS.ID –Sebanyak 44 persen warga yang menganggap politik uang adalah hal yang wajar. Dari 44 persen itu, hanya 26 persen yang rentan terpengaruh oleh pemberian uang atau hadiah atau hanya 11 persen dari total populasi pemilih nasional.

Baca juga : Prof Dr H Yulius SH MH Ketua Kamar TUN Mahkamah Agung Diwawancara Ekslusif Majalah MATRA

Demikian temuan survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada November 2023. Hasil survei ini dipresentasikan Prof. Saiful Mujani melalui program ‘Bedah Politik bersama Saiful Mujani’ episode “Potensi Politik Uang di Pemilu 2024” yang disiarkan di kanal YouTube SMRC TV pada Kamis, 21 Desember 2023.

Video utuh presentasi Prof. Saiful bisa disimak di sini: https://youtu.be/dYnuRGrv5Ms

Baca juga : Dorong Ekonomi Nasional Lebih Transformatif, Menko Airlangga Jalin Kerja Sama Global

Pada survei November 2023, responden ditanya terkait usaha untuk memenangkan pemilihan umum. Ada calon presiden atau calon anggota DPR/DPRD/DPD atau orang yang membantu mereka memberikan uang atau hadiah tertentu agar memilih calon tersebut.

Menurut Anda, apakah pemberian itu dapat diterima sebagai hal yang wajar atau tidak bisa diterima?

Baca juga : Menteri Harus Mampu Membaca Tanda-tanda Zaman untuk Menggerakan Semangat Indonesia

Ada sebanyak 44 persen yang menyatakan hal itu bisa diterima sebagai hal yang wajar dan 56 persen menyatakan itu tidak bisa diterima atau tidak wajar.

Saiful menjelaskan bahwa dari 204 juta pemilih, hampir 100 juta menganggap politik uang sebagai sesuatu yang lumrah, bukan masalah besar, atau bukan sesuatu yang tabu.

Dia menyatakan bahwa mungkin sebenarnya masyarakat tahu bahwa politik uang adalah hal yang ilegal dan melanggar hukum. Namun jika hukum itu tidak mudah ditegakkan, orang akan mencari celah untuk menyiasati aturan tersebut. Mungkin karena sudah biasa, akhirnya ada 44 persen warga yang menganggap bahwa menerima uang dari orang yang berharap dipilih.

“Mungkin itu pengalaman atau diskursus yang sudah berkembang di masyarakat bahwa politik uang itu hal yang wajar. Dan 44 persen ini adalah angka nasional. Kalau di-breakdown, variasinya sangat tinggi antara satu daerah dengan daerah yang lain,” ujar pendiri SMRC tersebut.

Itu berarti, ada 4 dari 10 orang Indonesia yang menganggap politik uang itu wajar. Namun apakah yang menganggap politik uang itu wajar, mereka akan terpengaruh oleh praktik politik uang? Apakah mereka akan memilih karena pemberian uang dan hadiah?

Dalam survei ini ditanyakan Apakah Ibu/Bapak akan menerima bila ada orang yang memberi uang dan hadiah tersebut?

Ada 21 persen yang menyatakan akan menerima dan akan memilih calon yang memberi uang atau hadiah tersebut, ada 5 persen yang akan menerima dan akan memilih calon yang memberi uang atau hadiah lebih banyak, sebanyak 68 persen yang menyatakan akan menerima uang atau hadiah tersebut, tapi masalah memilih calon anggota DPR ditentukan sendiri sesuai hati nurani, dan ada 6 persen yang menyatakan tidak akan menerima pemberian tersebut.

Saiful menjelaskan bahwa dari 44 persen publik yang menganggap politik uang sebagai sesuatu yang wajar, hanya 26 persen yang kemungkinan terpengaruh. Dari total populasi pemilih, hanya sekitar 11 persen yang akan terpengaruh politik uang.

“Hanya 11 persen orang akan terpengaruh atau akan memilih karena dikasih uang. Artinya hanya 1 dari 10 kasus. Kalau Anda ingin efektif dalam memberikan uang dan berharap orang yang menerimanya akan memilih Anda sebagai calon, maka peluangnya adalah hanya 1 dari 10. Masalahnya adalah di mana orang yang 1 dari 10 warga itu?” ungkap Saiful.

Betul bahwa politik uang itu berpengaruh pada 11 persen pemilih. Namun tidak diketahui secara persis 11 persen itu siapa dan berada di mana. Karena itu, menurut Saiful, tidak akan mudah menjadikan politik uang itu efektif dan efisien.

Saiful menduga kenapa politik uang banyak dibicarakan karena tidak diketahui secara persis siapa dan berada di mana orang yang bisa dipengaruhi oleh politik uang tersebut. Akibatnya, para pelaku politik uang akan menghamburkan uangnya.

“Itu yang membuat Pemilu mahal. Karena untuk mendapatkan 1 suara efektif karena politik uang, Anda harus memberi 10. Ada 44 persen memang yang toleran, tidak mempersoalkan halal dan haramnya, tidak memerhatikan hukum, tidak memerhatikan rasa malu, kalau dikasih, ya dikasih saja. Tapi mereka belum tentu memilih. Yang memilih, dari 10 kasus, hanya 1,” jelas Guru Besar Ilmu Politik UIN Jakarta tersebut.

 

Warga di Perdesaan Lebih Rentan Politik Uang

Saiful menyebut bahwa karena melacak yang 11 persen itu tidak mudah, maka para politisi pelaku politik uang menjadi seperti spekulan. Penulis buku ’Piety and Public Opinion’ itu melanjutkan bahwa mayoritas warga yang menoleransi politik uang atau menganggap politik uang sebagai sebagai sesuatu yang wajar tidak memilih berdasarkan pemberian uang.

“Kebanyakan mereka mengambil uangnya, tapi tidak memilih berdasarkan pemberian uang,” tegasnya.

Lebih jauh Saiful menunjukkan adanya variasi tingkat kerentanan pengaruh politik uang terutama menurut wilayah desa-kota, pendidikan dan pendapatan.

Dari aspek wilayah, orang yang tinggal di perdesaan lebih rentan dibanding yang di perkotaan. Total ada sekitar 14 persen dari populasi pemilih di pedesaan (31 persen dari 45 persen yang toleran) yang rentan terpengaruh politik uang, sementara di perkotaan hanya 9 persen (22 persen dari 42 persen).

Demikian pula dengan aspek pendidikan, yang berpendidikan rendah lebih rentan dibanding yang berpendidikan tinggi. Sekitar 15 persen warga berpendidikan SD atau lebih rendah rentan terpengaruh politik uang (33 persen dari 45 persen), sementara pada yang berpendidikan perguruan tinggi ada 8 persen (28 persen dari 30 persen).

Pada aspek pendapatan, yang berpendapatan rendah lebih rentan. Yang berpendapatan di bawah 1 juta rupiah per bulan atau lebih rendah, sekitar 15 persen (35 persen dari 43 persen) rentan terpengaruh politik uang, sementara pada yang berpendapatan 2 juta ke atas 9 persen (22 persen dari 42 persen).

Saiful menyimpulkan bahwa profil yang mau dan terpengaruh politik uang adalah cenderung tinggal di perdesaan, pendidikan rendah, dan pendapatan yang juga lebih rendah.

Karena itu, menurut Saiful, untuk mencegah terjadinya praktik politik uang, lembaga pemantau atau pengawas Pemilu bisa lebih fokus pada kelompok-kelompok tersebut.

“Untuk mencegah praktik politik uang atau menekan supaya politik uang tidak gila-gilaan seperti itu, Bawaslu, pengawas, dan aparat fokus ke sana. Jagain orang desa, yang berpendidikan rendah, dan berpendapatan kecil, supaya mereka tidak menjadi korban politik uang,” pungkasnya. ***

 

Artikel Terkait
Prof Dr H Yulius SH MH Ketua Kamar TUN Mahkamah Agung Diwawancara Ekslusif Majalah MATRA
Dorong Ekonomi Nasional Lebih Transformatif, Menko Airlangga Jalin Kerja Sama Global
Menteri Harus Mampu Membaca Tanda-tanda Zaman untuk Menggerakan Semangat Indonesia
Artikel Terkini
Prof Dr H Yulius SH MH Ketua Kamar TUN Mahkamah Agung Diwawancara Ekslusif Majalah MATRA
Dorong Ekonomi Nasional Lebih Transformatif, Menko Airlangga Jalin Kerja Sama Global
PLBN Motamasin Terima Kunjungan Konsulat Timor Leste, Bahas Isu Keimigrasian Antarnegara
Menteri Harus Mampu Membaca Tanda-tanda Zaman untuk Menggerakan Semangat Indonesia
MRP Desak Presiden Jokowi Pastikan Cakada 2024 Se-Tanah Papua Diisi Orang Asli Papua (OAP)
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas