INDONEWS.ID

  • Kamis, 18/01/2024 21:44 WIB
  • Luhut Binsar Panjaitan Diangkat sebagai Ketua Percepatan Pembangunan PLTN, Mengapa Muncul Lagi Isu PLTN di Indonesia?

  • Oleh :
    • very
Luhut Binsar Panjaitan Diangkat sebagai Ketua Percepatan Pembangunan PLTN, Mengapa Muncul Lagi Isu PLTN di Indonesia?
Prof. Atmonobudi Soebagio Ph.D. adalah Guru Besar Energi Terbarukan dan Energi Listrik pada Universitas Kristen Indonesia. (Foto: Ist)

Oleh: Prof. Atmonobudi Soebagio MSEE, Ph.D.*)

Jakarta, INDONEWS.ID - Presiden Joko Widodo secara jelas dan gamblang menegaskan, bahwa penggunaan energi nuklir sebagai pembangkit listrik merupakan pilihan terakhir; setelah kita memanfaatkan seluruh sumber-sumber energi terbarukan yang ramah lingkungan dan tidak pernah habis menjadi sumber pembangkit tenaga listrik. Sikap presiden Jokowi sangat tepat, dan seharusnya menjadi pegangan tetap bagi Pemerintah Indonesia ke depan secara berkelanjutan; siapapun yang kelak terpilih untuk menggantikannya.

Munculnya persepsi bahwa Indonesia seakan sedang mempertimbangkan kembali  penggunaan energi nuklir sebagai pembangkit listrik pasca kepemimpinan Pak Jokowi mengesankan, bahwa kebijakan “pembangkit listrik non PLTN” ternyata hanya bergantung pada sikap seorang presiden di periode kepemimpinannya saja;  bukan menjadi kebijakan yang sifatnya berkelanjutan dan dipegang teguh oleh presiden berikutnya.

Pandangan seorang anggota Dewan Energi Nasional (DEN), sebagaimana kita ikuti dalam wawancara dengan Kompas TV sore ini (Kamis, 18/01/2024), terkesan ingin menegaskan kembali tentang perlunya Indonesia memiliki PLTN.  Seharusnya Pemerintah perlu lebih cermat dalam memilih orang-orangnya untuk menjadi anggota DEN.  Korban akibat radiasi reaktor nuklir reaksi fisi di negara-negara lain sudah cukup banyak, dan tidak perlu dialami di Indonesia.  Kecerobohan berupa adanya limbah nuklir di kompleks perumahan BATAN beberapa tahun lalu, membuktikan bahwa dampak negatif radiasi nuklir bahkan belum dipahami oleh kalangan pekerja di lingkungan BATAN itu sendiri.

Ada sejumlah alasan mengapa banyak negara maju di Eropa maupun Amerika mulai mengakhiri pengoperasian PLTN-nya secara bertahap.  Alasan utamanya adalah adanya masalah serius dalam menyimpan limbah nuklir secara permanen, yang berupa jutaan pellet2  bekas pakai yang ternyata masih bersifat radioaktif selama puluhan tahun ke depan; meskipun dari sisi pemanfaatan energinya telah melemah alias tidak lagi ekonomis. Sebuah PLTN yang tidak lagi beroperasi karena faktor umur, harus menjalani sejumlah tahapan, yaitu: (a)  Decommissioning, (b) Waste Management, dan (c)  Environmental Site Management.  Ketiga proses tersebut sangat mahal dan berlangsung lama, sehingga biayanya dibebankan pada tarif listrik selama puluhan tahun; meskipun PLTN itu sendiri telah lama berhenti beroperasi..

Setiap orang yang diberi kepecayaan untuk duduk sebagai anggota Dewan Energi Nasional, tidak cukup hanya mampu memilikirkan tentang  keberlanjutan penyediaan energi listrik serta bahan bakar di Indonesia, melainkan juga mampu memberi pertimbangan atas sejumlah energi yang sangat berbahaya dan berisiko besar apabila digunakan.  Kebijakan pro PLTN tersebut hanya akan melanggengkan bisnis perusahaan-perusahaan pembuat PLTN Fisi, yang semakin terancam keberlangsungan bisnisnya di negara-negara yang mulai mengakhiri ketergantungan energi listriknya dari PLTN.  Dan Indonesia akan menjadi ladang baru dalam bisnis PLTN mereka, maupun suplai pellet-pellet uranium yang diproduksinya selaku bahan bahan bakar. Tidak tertutup kemungkinan, bila negara ini juga menggunakan PLTN, maka akan dititipi oleh negara-negara pengguna PLTN untuk meletakkan limbahnya di dasar laut-laut dalam di wilayah Indonesia.

Proyek tenaga nuklir ITER yang sedang dibangun di Cardache,  Perancis bagian Selatan, akan menggunakan teknologi Reaksi Fusi, dimana energi termal yang dihasilkan muncul  dari penggabungan dua inti atom hirdogen menjadi satu atom baru yang lebih besar massa jenisnya.  Teknologi fusi ini memang tidak meninggalkan limbah radioaktif, karena   deuterium dan tritium yang merupakan bahan bakar utamanya tetap tinggal di tabung vakum toroidal.  Suhu plasma yang terjadi di dalam tabung toroidal tersebut bisa mencapai 150 juta derajat Celsius saat beroperasi. Karenanya hanya difungsikan untuk beberapa menit saja sebagai penghasil energi termal.  Proyek ITER tersebut dibangun sambil melakukan penelitian dan uji material yang bersifat multidisiplin, sehingga pembangunannya akan memakan waktu lama.  Reaktor tersebut menggunakan reaktor fusi yang jauh lebih aman daripada reaktor fisi yang dipakai sebagai PLTN, namun harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian karena suhunya yang sangat tinggi.

Negara Indonesia yang masuk dalam wilayah Ring of Fire, sangat rentan dengan gempa bumi akibat aktifitas gunung berapinya. Indonesia ternyata juga sangat kaya dengan air laut yang memenuhi 62% dari total luas wilayah negara ini.  Air laut maupun air tawar dapat diolah untuk menghasilkan gas hidrogen sebagai bahan bakar cair maupun gas. Dan gas buang hasil pembakarannyapun  jauh lebih ramah lingkungan karena berwujud uap air.  PT Pertamina telah bertekad untuk memproduksi hidrogen cair pada tahun 2030, sebagai bahan bakar kendaraan bermotor maupun pesawat terbang pengganti bensin maupun avtur berbasis energi fossil.

Pemikiran tentang ingin kembali membangun PLTN pasca kepemimpinan Presiden Joko Widodo dalam menuju Indonesia Maju (2030) maupun Indonesia Emas (2045), hendaknya tidak dinodai oleh pertimbangan segelintir orang yang tetap ingin memanfaatkan energi nuklir berbasis reaksi fisi ke dalam roadmap kebijakan energi negara kita ini.

Semoga menjadi perhatian kita bersama.

*) Prof. Atmonobudi Soebagio MSEE, Ph.D. adalah dosen dan GB Universitas Kristen Indonesia.

Artikel Terkait
Artikel Terkini
KI Pusat Mantapkan Sinergi dengan Media dalam Mengawal Informasi Publik
Direktur GKI Beri Materi Kewirausahaan untuk Pelajar SMKS Bina Mandiri Labuan Bajo
Menjadi Tulang Punggung Pengembangan Usaha Ultra Mikro Indonesia, PNM Ikuti 57th APEC SMEWG
Tiga Orang Ditemukan Meninggal Akibat Tertimbun Longsor di Kabupaten Garut
Pimpin Proses Penyiapan dan Percepatan Keanggotaan Indonesia pada OECD, Presiden Joko Widodo Tunjuk Menko Perekonomian sebagai Ketua Tim Nasional OECD
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas