INDONEWS.ID

  • Selasa, 06/02/2024 20:08 WIB
  • Bayang-bayang Machiavellianisme dalam Politik Jokowi

  • Oleh :
    • very
Bayang-bayang Machiavellianisme dalam Politik Jokowi
Abdul Mukti Ro’uf adalah Pengajar Filsafat dan Pemikiran Islam pada Program Pascasarjana IAIN Pontianak. (Foto: Ist)

Oleh: Abdul Mukti Ro’uf*)

Jakarta, INDONEWS.ID - Demokrasi yang sedang mendung di langit Indonesia bukanlah narasi politik partisan dalam arena panggung pilpres 2024. Demokrasi secara faktual memang tengah meredup dan sedang menuju senja kalanya.

Baca juga : Amicus Curiae & Keadilan Hakim

Warning menurunnya kualitas demokrasi setidaknya tergambar dalam laporan lembaga penggarap indeks demokrasi The Economist yang menempatkan Indonesia di rangking 54 dari 167 megara sebagai negara dengan flawed democracy atau demokrasi tidak sempurna alias cacat dengan skor 6,71. Skor ini sama dengan indeks demokrasi 2021. Namun, peringkat Indonesia turun dari 52 ke 54 pada tahun 2023.

Jelang hajatan Pilpres 2024 beberapa indikasi merosotnya kualitas demokrasi makin terasa terutama bagaimana pengelolaan demokrasi oleh rezim penguasa semakin mengarah pada kecenderungan anti demokrasi. Yang paling mencolok adalah tragedi pelanggaran etika oleh Ketua Mahkamah Konstitusi dalam hal nepotisme dengan meloloskan putra sulung Presiden Jokowi Gibran Rakabuming Raka sebagai salah satu capres dalam Pilpres 2024 yaitu keputusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang menetapkan Ketua MK Anwar Usman melanggar etik dalam pengambilan putusan Nomor 90/PPU/XXI/2023 tentang batas usia  usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden.

Baca juga : Antisipasi Kebijakan Ekonomi dan Politik dalam Perang Iran -Israel

Dorongan politik untuk berkuasa telah membutakan pandangan atas nilai-nilai demokrasi dan semangat reformasi tentang pemerintahan yang bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).

 

Baca juga : Prabowo Subianto Should Not Meet Megawati Soekarnoputri

Musuh yang Senyap

Semula, kepemimpinan rakyat Jokowi menaruh harapan akan masa depan demokrasi yang cerah karena tiga alasan  utama. Pertama, ia terpilih secara demokratik melalui proses pemilu yang sah dengan suara pilihan rakyat sebanyak 70.997.85 suara (53,15 persen) pada Pemiluu 2014.

Kedua, personalisaasi politik Jokowi yang identik dengan wong cilik, kesedrhanaan, dan gemar blusukan menjadi tren kepemimpinan nasional dimana partisipasi rakyat memiliki peluang besar dalam berbagai kebijakan strategis nasional. Kepemimpinan yang pro terhadap suara rakyat tentulah menjadi spirit dari demokrasi itu sendiri.

Ketiga, kepercayaan publik yang tinggi di atas 70 persen terhadap Presiden Jokowi hingga periode keduanya  menjadikan kepemimpinan Jokowi makin terafirmasi bahwa ia masih dicintai rakyat.

Sejak periode kedua kepemimpinannya, terutama dua tahun jelang berakhir, hasrat untuk terus berkuasa makin tampak. Berbagai uji coba dilakukan dengan aneka cara. Niat baik Jokowi untuk menyempurnakan agenda-agenda besarnya terutama mega proyek Ibu Kota Nusantara dan Hilirisasi industri menjadi alasan—disengaja atau tidak—“menabrak” rambu rambu hukum dan etika.

Pilihan politiknya secara faktual bertabrakan dengan partai pengusungnya terutama sosok Megawati Soekarno Putri yang berdiri tegak di atas bangunan konstitusi. Hasrat untuk memerintah tiga periode dan perpanjangan karena alasan Pandemi Covid-19 bertepuk sebelah tangan dengan penguasa partai pemenang, PDI-P.

Ide mengawinkan Prabowo-Puan dan atau Prabowo-Ganjar juga kandas di tangan ketua umum. Akhirnya—dalam dugaan saya—Jokowi dengan ide koalisi besar dan dukungan partai-partai besar, TNI, Polri, dan aparatus negara yang masih dalam genggaman kekuasaannya percaya diri untuk melenggang mengantarkan Prabowo bersama pewaris biologis dan ideologisnya, Gibran untuk suskses dalam Pilpres 2024. Niat untuk menang sekali putaran kini amat terasa di lapangan dengan berbagai cara, lagi-lagi dengan mengabaikan rambu-rambu hukum dan etika.

Kini, tiga alasan utama keterpilihan Jokowi di tahun 2014 lambat laun secara senyap dan diam-diam tertutup kabut wajah lain dari Jokowi. Ia tanpa sadar tengah menunjukkan sisi-sisi kelemahannya dan berbalik menjadi penyumbang terhadap menurunnya kualitas demokrasi.

Jokowi secara perlahan menunjukkan sisi karakter kepemimpinannya yang cenderung bermodel Orde Baru dan meninggalkan asas-asas dan cita-cita reformasi dan demokrasi dimana ia dilahirkan.

Thomas Power dan Eve Warburton (2020) dalam Democracy in Indonesia: From Stagnation to Regression? membaca demokrasi Indonesia sedang mengalami perubahan dari stagnasi di era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono ke arah kemunduran di era Jokowi. 

Lembaga Penelitian, Pendidikan, Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) menemukan kesimpulan bahwa kemunduran demokrasi dalam kepemimpinan Jokowi ditandai dengan pelumpuhan KPK, hilangnya oposisi, hingga kerap munculnya ancaman dan intimidasi terhadap penggiat masyarakat sipil.

 

Machiavellianisasi Politik

Machiavellianism adalah istilah yang biasanya digunakan untuk seseorang dengan kecenderungan berpikir strategis, menipu, hingga manipulatif, sehingga ia bisa melakukan segala cara untuk mencapai tujuan mereka. Kondisi ini juga bisa disebut dengan sifat egosentrisme. Menghalalkan segala cara untuk tujuan merebut dan mempertahankan kekuasaan adalah ide dasar dari pemikiran politik Niccolo Machiavelli (1469-1527).

Namanya melekat dengan sebutan Machiavellinisme dengan pemahaman tujuan (politik) menghalalkan cara untuk meraih tujuan. Cara-cara yang dimaksud melingkupi keamanan nasional, kemerdekaan nasional, dan Undang-undang dasar yang kuat. Indikasi praktek-praktek kekuasaan yang cenderung machiavellistik belakangan cukup terasa. Lebih jelasnya, machiavellianism (mach) mengacu pada gaya interpersonal duplikat yang ditandai oleh pengabaian pada moralitas dan berfokus pada kepentingan dan keuntungan pribadi.

Pertanyaannya sekarang, apakah Presiden Jokowi—disadari oleh dirinya atau tidak—tengah menjalankan Machiavellinisme dalam praktek-praktek kekuasaannya?

Fakta didorongnya Gibran yang jelas melanggar etik oleh lembaga resmi MKMK adalah indikator paling jelas dan telanjang. Masalah Gibran bukan soal “muda-tua”, anak presiden atau bukan, bukan pula soal tinggi dan rendahnya hasil survei atas dirinya.

Ia berada dalam pusaran pemerkosaan lembaga hukum, pelanggaran etika, dan pengabaian nilai-nilai good governence yang bersih dari KKN. Menang-kalah dalam Pilpres bukan semata soal jumlah suara yang, katakanlah hanya akan berusia lima tahun. Ini soal pelajaran berbangsa dan peradaban demokrasi yang horisonnya jauh lebih luas sebagai babak sejarah Indonesia yang penuh noda.

Jika 14 Februari 2024 mendatang, nasib Gibran Rakabuming Raka benar-benar  menjadi wapres Indonesia 2024-2029, labelisasi sebagai wapres hasil pelanggaran etik tidak akan terhapus sepanjang sejarah Indonesia. Seluruh legacy Jokowi sebagai Presiden Indonesia 2014-2024 tetap akan dikenang sebagai “Presiden Infrastruktur”, pembangun IKN, penggagas hilirisasi Industri. Tetapi sejarah tentang “pelemah demokrasi” lewat tragedi MK juga menjadi catatan sejarah yang tidak akan terhapus.

Ia juga akan dikenang sebagai kader partai yang meninggalkan ibu kandungnya sendiri akibat pilihan politik  yang berbeda dengan ibu yang melahirkan, merawat dan membesarkannya dari menjadii wali kota, gubernur, dan Presiden.

*) Penulis adalah Pengajar Filsafat dan Pemikiran Islam di Program Pascasarjana IAIN Pontianak

Artikel Terkait
Amicus Curiae & Keadilan Hakim
Antisipasi Kebijakan Ekonomi dan Politik dalam Perang Iran -Israel
Prabowo Subianto Should Not Meet Megawati Soekarnoputri
Artikel Terkini
Bupati Tanah Datar berikan aspresiasi Loka Karya dan Panen Karya Guru Penggerak
Hari ini Pengurus FOKBI Gelar Silaturahmi Jelang Musda di Jakarta
Pemred indonews.id Hadiri Halal Bi Halal di Kediaman Laksamana Purn Ade Supandi
Menikah di Balai Sarwono, Bregas Ingin Merasakan Atmosfer Adat Jawa yang Kental
Pelepasan 247 Calon Siswa Bintara Bakomsos dan Tamtama Polri Terpadu Tahun Angkatan 2024
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas