Nasional

Pengamat: Perlu Kompartemenisasi untuk Hindari Penguatan Teroris di Dalam Rutan

Oleh : very - Minggu, 12/11/2017 19:30 WIB

Keributan di rumah tahanan teroris Markas Komando Brimob Polri, Kelapa Dua, Depok, Jumat (10/11/2017) petang. (Foto: Ant)

Jakarta, INDONEWS.ID - Keributan dalam rumah tahanan oleh napi atau tahanan terorisme terjadi dua kali secara berurutan di tempat berbeda. Keributan pertama terjadi di Lapas Permisan Nusakambangan antara napi khusus terorisme dengan napi kelompok Jhon Kei, Selasa (7/10/2017). Peristiwa ini terjadi pada pukul 07.50 WIB.

Diberitakan, sekitar 9 napi kasus terorisme menyerang blok hunian B, kamar 8 yang ditempati oleh John Kei dengan menggunakan balok kayu proyek dan batu-batu yang ada di sekitar kamar blok isolasi. Dalam keributan ini ada napi yang tewas dan tiga napi lainnya luka-luka.

Keributan kedua terjadi di Rumah Tahanan Mako Brimob Depok pada pukul 16.00 WIB, Jumat (10/11/2017). Dalam peristiwa ini fasilitas rutan antara lain pintu sel tahanan, pintu pagar lorong blok, dan kaca jendela di Blok C dan Blok B rusak.

Penyebab keributan di Rutan Mako Brimon ini diawali dengan prosedur penggledahan yang dilakukan oleh petugas piket kepada tahanan terorisme dan ditemukan empat buah telepon selular milik tahanan terorisme. Salah satu tahanan tersebut tidak terima dan melakukan provokasi kepada para tahanan yang lain dengan teriakan-teriakan sehingga memancing keributan.

Pengamat terorisme Stanislaus Riyanta mengatakan, kedua peristiwa yang hampir bersamaan tersebut tidak bisa diabaikan begitu saja.

“Aksi oleh kelompok tahanan/napi terorisme bisa dinilai sebagai aksi unjuk eksistensi atas keberadaan mereka. Aksi di Permisan Nusakambangan menunjukkan kelompok napi terorisme melakukan perlawanan terhadap kelompok Jhon Kei, dan di Rutan Mako Brimob kelompok tahanan terorisme beraksi menunjukkan perlawanan terhadap Polri. Hal ini dipandang bahwa simbol-simbol eksistensi dan perlawanan kelompok pelaku teror cukup kuat,” ujarnya di Jakarta, Sabtu (11/11/2017).

Mahasiswa doktoral Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia ini mengatakan, tahanan terorisme di dalam rutan bisa melakukan aksi perlawanan sekaligus penggalangan terhadap tahanan lain.

“Kemampuan kelompok teror yang terbiasa melakukan penggalangan dan perekrutan harus diwaspadai karena akan dikhawatirkan tahanan terorisme bisa mempengaruhi napi lain untuk menjadi radikal dan melawan petugas,” ujarnya. 

Selain itu, katanya, aksi-aksi keributan di Lapas atau Rutan akan menjadi stimulus bagi sel-sel tidur teroris untuk bangkit dan beraksi. Dimungkinkan juga bahwa kedua aksi tersebut merupakan suatu tanda untuk dimulainya aksi yang lebih besar bagi anggota kelompok atau simpatisan yang bebas berada di masyarakat.

Hal ini, kata Stanislaus, juga diperkuat dengan munculnya berita bohong (hoax) yang menyebutkan keributan di rutan Mako Brimob dipicu oleh masalah sensitif yang bisa memicu simpati dari pihak tertentu terhadap kelompok teroris.

Karena itu, dia meminta pengawasan terhadap tahanan/napi teroris harus dilakukan secara lebih ketat. Akses tahanan terorisme dengan pihak luar perlu diperhatikan dan dipantau untuk memutus kaderisasi dan perekrutan yang dilakukan oleh tahanan terorisme.

“Jika diperlukan maka dilakukan kompartemenisasi untuk menghindari penguatan dan perkembangan kelompok teroris dari dalam rumah tahanan,” ujarnya.

Penahanan pelaku teror yang mempunyai paham radikal belum tentu menjamin bahwa tahanan tersebut tidak radikal lagi. Proses deradikalisasi tidak dengan mudah terjadi begitu saja, bahkan jika bertemu dengan sesama tahanan yang berpikiran radikal, maka radikalisasi semakin kuat. 

“Perlu usaha keras dan komprehensif dalam menangani masalah terorisme. Pemerintah perlu melakukan langkah kolaboratif banyak lembaga yang menangani radikalisme dan terorisme ini karena radikalisme sudah terjadi di ruang-ruang umum melalui narasi radikal yang tersebar di masyarakat,” pungkasnya. (Very)

 

Artikel Terkait