Bisnis

Guru Besar Trisakti: Daerah Operasional BUMN Tingkat Kemiskinannya Lebih Tinggi

Oleh : very - Senin, 28/05/2018 15:30 WIB

Prof. Tulus TH Tambunan, guru besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Trisakti saat menjadi saksi ahli dalam sidang gugatan uji materi UU BUMN di Mahkamah Konstitusi, Rabu (23/5). (Foto: Ist)

 

Jakarta, INDONEWS.ID - BUMN belum berperan optimal dalam mencapai kemakmuran rakyat. Bahkan, di wilayah-wilayah di mana terdapat banyak BUMN di sektor pertambangan (khusus batu bara) dan sektor perkebunan (khususnya kelapa sawit) seperti Aceh, Sumatera Selatan, Papua dan Papua Barat, tingkat kemiskinannya jauh diatas rata-rata nasional, yakni, masing-masing, 16,89%, 13,19%, 25,10% dan 27,62%. Sementara rata-rata tingkat kemiskinan di Indonesia berdasarkan data tahun Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2017 sekitar 10,64%, 

Demikian pendapat Prof. Tulus TH Tambunan, guru besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Trisakti saat menjadi saksi ahli dalam sidang gugatan uji materi UU BUMN di Mahkamah Konstitusi, Rabu (23/5).

Tulus Tambunan adalah saksi ahli para pemohon uji materi UU BUMN yang diajukan Letjen TNI (Purn) Kiki Syahnakri dan AM Putut Prabantoro, sebagai warga negara Indonesia serta pemerhati ekonomi kerakyatan. 

Gugatan ini didukung PPAD (Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat) dan FKPPI (Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan dan Putra Putri TNI-Polri).  Sebagai kuasa hukum dibentuklah Tim Advokasi Kedaulatan Ekonomi Indonesia (Taken) yang terdiri atas Liona N Supriatna (Kordinator), Hermawi Taslim, Daniel T Masiku, Sandra Nangoy, A Benny Sabdo Nugroho, Gregorius Retas Daeng, AMC Alvin Widanto Pratomo, dan Bonifasius Falakhi.

Pasal UU BUMN yang dipermasalahkan para pemohon adalah Pasal 2 ayat 1 (a) dan (b) tentang maksud dan tujuan pendirian BUMN, serta Pasal 4 ayat 4 tentang perubahan penyertaan keuangan negara yang diatur melalui melalui Peraturan Pemerintah.. 

“BUMN dianggap belum berperan optimal dalam meningkatkan kesejahteraan mereka atau mewujudkan Pasal 33 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yakni kemakmuran rakyat. Penilaian ini terutama jika dikaitkan dengan tingkat kesejahteraan masyarakat di sekitar wilayah beroperasinya BUMN. Bahkan tidak hanya kemiskinan, kesenjangan,  tetapi juga masih banyak masyarakat khususnya di wilayah timur Indonesia yang masih sulit mendapatkan air bersih dan listrik,” ujar Tulus Tambunan. 

Menurut data BPS per Maret 2017, tingkat kemiskinan di daerah di mana BUMN beroperasi khususnya pertambangan dan perkebunan, seperti di Aceh, Sumatera Selatan, Papua dan Papua Barat, tingkat kemiskinannya jauh diatas rata-rata nasional, yang hanya mencapai 10,64%. 

Direktur Center for Industry, SME & Business Competition Studies, Universitas Trisakti itu menjelaskan lebih lanjut, potensi besar yang dimiliki oleh BUMN tidak tergarap dengan baik. Program “bapak angkat” yang diemban BUMN belum membuahkan hasil, meski sudah dicanangkan sejak Orde Baru. 

“Bahkan terkesan program bapak angkat hanya program bagi bagi dana yang belum mengena dari tujuan utamanya. Selain itu, dana yang disisihkan 1-3 % dari keuntungan BUMN dinilai sampai kini belum efektif dalam pengembangan usaha kecil dan menengah (UKM),” ujar Tulus dengan mengutip hasil penelitian Ekonom Universitas Gadjahmada Prof. Mudrajat Kuncoro, PhD yang dimuat dalam sebuah media nasional. 

Oleh karena itu, Tulus Tambunan menegaskan,  BUMN seharusnya melaksanakan amanat pasal 33 UUD NRI 1945 yaitu kemakmuran dan tidak hanya terfokus pada mengejar keuntungan. Keuntungan hanyalah sebagai syarat utama agar BUMN melaksanakan amanat UUD NRI 1945 dan bukan terfokus pada mengejar keuntungan. Dalam pandangan Guru Besar Universias Trisakti ini, keuntungan hanya sebagai syarat utama agar BUMN dapat berperan optimal dan bukan sebagai tujuan pendirian BUMN.

“Dalam konteks ini, BUMN harus mengatasi ketimpangan dan kemiskinan masyarakat Indonesia. BUMN harus bisa mengatasi kesulitan 27 juta penduduk Indonesia yang mengalami krisis air bersih dan sekaligus mengatasi kendala atau hambatan masyarakat dalam memiliki akses air minum bersih. Data yang dikeluargkan UNICEF menunjukkan, satu dari 8 rumah tangga di Indonesia tidak memiliki akses ke air minum bersih. Pertanyaannya,  dimana peran PAM selama ini ?” ujar Tulus Tambunan. (Very)

 

Artikel Terkait