Oleh: Freni Lutruntuhluy)
Jakarta, INDONEWS.ID - Salah satu persoalan yang hingga kini masih terus berlangsung di wilayah Maluku Barat Daya (MBD) ialah masalah ekonomi. Harus diakui bahwa pemerintahan kabupaten yang berdiri sejak 2008 melalui UU no 31/2008 ini sampai sekarang belum mampu keluar dari problem ekonomi maupun pemerataan pembangunan.
Tentu ada beragam faktor mengapa persoalan ini tak kunjung teratasi. Tantangan geografis, minimnya infrastruktur, sarana maupun prasana penunjang pembangunan ekonomi dan lainnya, adalah beberapa kendala teknis yang jadi penyababnya.
Ini cukup dimengerti menimbang MBD merupakan salah satu kabupaten berbentuk kepulauan dengan medan pembangunan yang tidak mudah dilakukan. Sebut saja secara geografis wilayah ini terletak di kawasan perbatasan negara yang mana berbatasan langsung dengan Timor Leste dan Australia. Selain itu, terdapat sedikitnya enam pulau yang tergolong ke dalam pulau-pulau terluar Indonesia.
Artinya, dari aspek geografis saja, MBD secara faktual memiliki banyak tantangan teknis yang butuh effort lebih untuk penataan pembangunan wilayah. Dengan lain kata, secara teori, tidak mudah bagi pemerintah daerah untuk mendorong akselerasi pembangunan daerah kalau tidak dengan cara-cara yang visioner dan revolusioner. Alhasil, situasi yang demikian ini menjadikan MBD sampai saat ini masih sebagai wilayah dengan tingkat ketimpangan ekonomi dan pembangunan yang tinggi.
Hal ini secara tidak langsung berdampak pada tingkat kesejahteraan masyarakat setempat. Atas hal ini pula, tidak mengejutkan ketika hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) BPS Provinsi Maluku menunjukkan bahwa kabupaten MBD merupakan kabupaten dengan persentase tingkat kemiskinan tertinggi di Provinsi Maluku dengan persentase tingkat kemiskinan sebesar 30,18 persen.
Menariknya, merujuk hasil penelitian Lelury dan Tomasow (2019), menemukan bahwa wilayah Wetar Utara, Wetar Timur, Kisar Utara, Lakor, Dawelor Dawera dan Pulau Wetang tergolong dalam kluster dengan tingkat kemiskinan tertinggi di kawasan Maluku Barat Daya.
Hasil penelitian ini tentu saja menjadi berita yang kurang menggembirakan bagi masyarakat maupun pemerintah MBD. Pasalnya, di tengah segala rintangan yang ada, MBD merupakan salah satu wilayah dengan potensi lokal cukup menjanjikan untuk prospek ekonomi daerah.
Melirik Potensi Lokal
Berbicara mengenai potensi sumber daya alam lokal, maka MBD sejatinya memiliki segudang potensi yang tak kalah menjanjikan. Beragam potensi yang ada itu jika dikelola dengan baik akan memberikan nilai tambah dan manfaat bagi pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.
Adapun dari sekian potensi sumber daya alam yang dimiliki MBD, sektor pertanian, perikanan, peternakan dan migas adalah yang paling menonjol. Diketahui, MBD sejauh ini dikenal sebagai daerah penghasil jagung, umbi-umbian hingga kelapa dan nira.
Sayangnya, sampai saat ini para petani masih belum mengalami kenaikan taraf hidup lantaran harga-harga komoditas unggulan daerah itu masih belum sesuai yang diharapkan.
Disamping itu, regulasi dan komitmen untuk mendorong komoditas-komoditas unggulan itu memberikan nilai tambah bagi daerah belum sepenuhnya tergarap optimal. Hal inilah yang membuat MBD belum mampu beranjak dari situasi kemiskinan dan ketertinggalan dalam banyak aspek. Perlu ada langkah-langkah serius dan konkrit seperti injeksi teknologi, penguatan SDM, bantuan fasilitas dan finansial dari pemerintah setempat.
Juga, harus ada political will yang sungguh-sungguh dari pemerintah daerah, tidak sekadar janji tinggal janji. Apa yang terlihat sejauh ini semua itu hanya berakhir pada keluhan. Masyarakat mengeluh ke pemerintah daerah dan pemda pun mengeluh ke pemerintah pusat. Lalu, siapa yang mau memberikan solusi?
Padahal, yang dibutuhkan sekarang tidak sekadar keluhan, tapi solusi itu sendiri. Tentu tanggung jawab besar ada pada pembuat kebijakan, dalam hal ini pemerintah Kabupaten MBD. Kita mengharapkan agar Pemkab MBD berhenti mengeluh ke pusat dan fokus memberikan jalan keluar dengan berbagai persiapan dan kerja sama lintas sektor.
Ambil contoh, produk olahan gula merah yang bersumber dari air pohon nira. Hasil olahan ini sekarang masih berjalan tersendat-sendat karena minimnya dukungan pemerintah baik di hulu maupun hilir. Padahal, permintaan gula merah di pasar cukup tinggi. Seandainya, ini dimaksimalkan, tentu akan berdampak pada kesejahteraan petani lokal dan juga terhadap pemasukan daerah.
Memang, pemkab MBD dalam mendukung upaya-upaya pemanfaatan potensi lokal itu salah satunya dilakukan melalui pembentukan Bumdes (Badan Usaha Milik Desa). Namun, bagaimana perkembangan Bumdes-Bumdes yang ada? Apakah semua berjalan sesuai yang diharapkan? Inilah PR besar yang harus dipikirkan ulang.
Bertolak dari sederet permasalahan yang ada, barangkali ini saatnya untuk kembali berbenah. Bahwa MBD sejatinya bukanlah daerah dengan minim potensi sumber daya alamnya.
Terlepas dari segala kekurangan maupun tantangan geografis yang dimiliki, di sana terselip sejuta harapan dan masa depan menjanjikan yang perlu dikuak dan dimanifestasikan untuk kesejahteraan masyarakat dan kemajuan daerah.
*) Penulis adalah pemerhati masalah sosial-politik