Nasional

Jimly: Kalau Saya Masih Jadi Hakim MK, Presidential Threshold Akan Dikabulkan

Oleh : very - Minggu, 15/07/2018 17:56 WIB

Jimly dalam diskusi bulanan yang diadakan Policy Centre (Polcen) Pengurus Pusat Ikatan Alumni Universitas Indonesia (Iluni UI) di Kampus UI Salemba, Jakarta Pusat, Jumat (13/7). (Foto: Ist)

 

Jakarta, INDONEWS.ID - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Ashiddiqie menilai presidential threshold (PT) sebesar 20 persen pada Pilpres 2019 bisa merusak iklim demokrasi.

Jimly mengatakan, pasal-pasal di dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2017 yang menetapkan PT sebesar 20 persen bisa menghambat parpol yang ingin mengajukan capres-cawapres. Pasalnya, katanya, pilpres dan pileg diselenggarakan serentak dan ada presiden incumbent.

"Karena itu, penerapan presidential threshold 20 persen harus dipertimbangkan oleh MK untuk dikurangi atau dicabut,” kata Jimly dalam diskusi bulanan yang diadakan  Policy Centre (Polcen) Pengurus Pusat Ikatan Alumni Universitas Indonesia (Iluni UI) di Kampus UI Salemba, Jakarta Pusat, Jumat (13/7).

Diskusi itu dihadiri beberapa tokoh seperti Ketua Umum Iluni UI Arief Budhy Hardono,  Eman Sulaeman Nasim (ketua Iluni UI), dan peneliti dari LIPI Lily Romli. Ada pula dua penggugat PT ke MK, yakni mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hadar N Gumay dan Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini.

Jimly mengatakan, penerapan PT 20 persen juga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 hasil amendemen.

Menurutnya, pada awalnya, dirinya berpendapat penerapan PT 20 persen “makruh”. Namun, kondisi saat ini mengubah pendapatnya sehinggga PT 20 persen pada Pilpres 2019 menjadi “agak haram”.

“Kalau saya masih jadi hakim MK, tuntutan dari masyarakat yang menggugat presidential treshold 20 persen  akan saya kabulkan. Namun, saya, kan, sekarang sudah pensiun," kata Jimly.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini menilai PT 20 persen dengan mengacu hasil Pemilu 2014 merupakan ketidakadilan.

“Sebab, Pemilu 2019 ini diikuti 16 parpol. Sebanyak 14 parpol yang ikut Pemilu 2014 dan dua parpol baru. Karena itu, berbeda perlakuan dan diskriminatif terhadap parpol baru,” ujar Titi.

Sementara itu, Hadar menjelaskan bahwa negara-negara yang menerapkan sistem serupa tidak menetapkan persyaratan batas suara bagi parpol untuk mengusung capres asalkan sudah lolos sebagai peserta pemilu.

Peneliti dari LIPI Lily Romli menambahkan, penerapan PT 20 persen merupakan bagian dari oligarki predatoris atau defisit demokratis.

“Hal itu membunuh hak konstitusional parpol baru dan mengkhianati kedaulatan rakyat,” kata Lily. (Very)

Artikel Terkait