Bisnis

Hikmahanto: Beberapa Kejanggalan dalam HoA

Oleh : very - Minggu, 15/07/2018 19:30 WIB

Guru Besar Hukum Internasional UI, Hikmahanto Juwana. (Foto: Ist)

 

Jakarta, INDONEWS.ID - Pada tanggal 14 Juli Head of Corporate Communications & Government Relations Holding Industri Pertambangan Inalum, Rendi Witular, mengatakan HoA yang sudah diteken para pihak (Inalum, Freeport dan Rio Tinto) tidak ada masalah. 

HoA nantinya masih akan dituangkan dalam perjanjian yang lebih rinci. 

Guru Besar Hukum Internasional UI, Hikmahanto Juwana mengatakan bahwa pernyataan itu perlu diapresiasi mengingat jelas bahwa HoA bukanlah perjanjian yang mengindikasikan telah selesainya transaksi jual beli participating interest dari Rio Tinto dan jual beli saham dari Freeport sehingga Indonesia melalui Inalum telah menjadi pemegang saham 51% dari PT FI.

“Ada baiknya klaim yang mengatakan Indonesia telah berhasil menjadi pemegang saham 51% dihentikan,” ujar Hikmahanto dalam pernyataan pers di Jakarta, Minggu (15/7/2018).

Hikmahanto mengatakan, yang disampaikan oleh Rendi Witular masih ada sejumlah langkah agar saham PT FI berada ditangan Indonesia melalui Inalum.

“Langkah berikut adalah negosiasi untuk perjanjian teknis. Bukannya tidak mungkin langkah ini gagal ditengah jalan. Suatu hal yang tentu tidak diharapkan,” ujarnya.

Hal menarik dari pernyataan Rendi Witular, kata Hikmahanto, adalah adanya empat isu lain selain divestasi. Salah satunya adalah akan diadakannya perjanjian stabilisasi investasi. 

Isu ini sangat janggal bila ada dalam HoA. Janggal karena Inalum bukan regulator yang menentukan besaran pajak dan royalti. Pihak yang menentukan pajak dan royalti adalah pemerintah. 

“Sehingga tidak seharusnya isu besaran pajak dan royalti diatur dalam HoA. Tidak mungkin Inalum memerintahkan pemerintah,” ujarnya.

Freeport seharusnya menandatangani perjanjian stabilisasi investasi dengan pemerintah. 

Hikmahanto mengatakan, namun bila pemerintah melakukan hal ini berarti kedaulatan negara akan dibelenggu dengan sebuah kontrak/perjanjian oleh entitas swasta. Bila ini terjadi maka Indonesia seolah kembali ke era VOC dimana sebuah perusahaan swasta membelenggu berbagai kerajaan di Nusantara.

Disamping itu perjanjian stabilisasi investasi sangat bertentangan dengan Pasal 169 (a) Undang-undang Mineral dan Batubara yang menyatakan setelah Kontrak Karya berakhir maka tidak ada lagi perjanjian. 

“Perjanjian stabilisasi antara Freeport dengan pemerintah pun akan bertentangan dengan pasal 1337 KUHPerdata yang intinya perjanjian tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,” jelasnya.

Hal janggal lain dalam HoA adalah diaturnya perubahan dari Kontrak Karya (KK) ke Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Mengapa janggal? 

Janggal karena seharusnya masalah ini sudah tidak ada lagi dengan terbitnya Peraturan Pemerintah No 1 Tahun 2017. Dalam PP tersebut bagi Freeport apabila tetap ingin melakukan ekspor maka KK mereka harus mengubah KK menjadi IUPK. Bila tidak maka pemerintah sudah seharusnya melarang ekspor dilakukan. Hasil tambang Freeport harus dimurnikan di Indonesia.

“Dari berbagai kejanggalan tersebut terlihat pemerintah dan Inalum ketika bernegosiasi dengan Freeport tidak didampingi oleh penasehat hukum yang ahli dalam dua masalah sekaligus yaitu perdata dan publik,” pungkasnya. (Very)

 

Artikel Terkait