Nasional

Jeritan Transmigran Asal Jawa Yang Tanahnya Diserobot Paksa PT Nauli Sawit (1)

Oleh : budisanten - Minggu, 10/02/2019 13:14 WIB

Para transmigran di Manduamas, Tapanuli Tengah yang tanahnya diserobot paksa PT. Nauli Sawit memohon kepada Presiden Jokowi berkenan turun tangan menyelesaikan persoalan ketidakadilan dan kesewenang wenangan ini. (foto : ist)

Jakarta, INDONEWS.ID – “…Pak Jokowi, saking ati kulo engkang paling jero lan konco-konco transmigran saking Jawi, Pak Jokowi saget ngerampungaken masalah kulo dalah konco-konco. Engkang tanah ipun direbut paksa kalian PT Nauli Sawit. Mboten wonten malih engkang kulo tuju kangge ngrampungangke masalah niki, namung Pak Jokowi kerso tindak wonten Kecamatan Sirandorung & Manduamas, Tapanuli Tengah. Sakmeniko, kangge mangan mawon, sampun mboten wonten…,” ujar Margono, satu dari 5 orang transmigran yang menyampaikan jeritan hatinya.

Arti dari bahasa Jawa di atas kira-kira adalah : Pak Jokowi, dari hati yang paling dalam dan teman-teman senasib transmigran dari Jawa, ingin agar Pak Jokowi bisa membantu menyelesaikan persoalan yang dihadapi. Yakni tanah mereka yang direbut paksa oleh PT Nauli Sawit. Tidak ada lain yang saya harap kecuali Pak Jokowi bersedia hadir di Kecamatan Sirandorung dan Manduamas, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Sekarang, untuk makan sehari-hari saja, sudah tidak ada…”

Peristiwanya bermula dari tindakan penyerobotan dan perampasan lahan transmigrasi yang dilakukan oleh PT Nauwi Sawit sejak 2004. Dan, sampai saat ini, belum ada penyelesaian atas sengketa tersebut.

“Kami hanya memohon Pak Presiden RI Ir. H. Joko Widodo berkenan memberikan perhatian khusus bagi klien kami, yang menjadi korban penyerobotan dan perampasan lahan. Agar proses hukum yang sedang kami tempuh tidak dipersulit, guna mendapatkan keadilan yang belum kami rasakan sejak 2004,” ujar Kitson Sianturi, SH, kuasa hukum para transmigran.

 Kenapa hanya kepada Pak Jokowi harapan mendapatkan keadilan itu disandarkan? Pasalnya, menurut Kitson yang bersama Leonardo Ompusunggu SH dan Polma Hasibuan SH dipercaya sebagai kuasa hukum para korban, seluruh pihak dari Pemda, Kejaksaan hingga Polres Tapanuli Tengah tidak merespon dan ada kecenderungan membela PT. Nauli Sawit yang bergerak di bidang pengelolaan lahan kelapa sawit.

Kitson & Leonardo yang datang ke kantor redaksi Indonews.id menerangkan kronologi singkat perkara penyerobotan lahan oleh PT. Nauli Sawit dimaksud.

Bahwa pada saat Pemerintah Orde Baru menggulirkan Program Nasional Transmigrasi di Sumatera Utara, wilayah Desa Manduamas Kecamatan Barus dilirik sebagai salah satu lokasi.

Pemerintah Daerah Tingjat II Tapanuli Tengah, melakukan pendekatan kepada Raja Raja Naiambatan agar tanah ulayat di wilayah Siambatan Napa diizinkan menjadi lokasi transmigran.

Raja Raja Naiambaton tidak keberatan. Tetapi, mereka mengajukan permintaan agar Pemda Tapteng membayar secara adat pelepasan tanah itu kepada Raja Raja Naiambaton, Boru-Bere.

Untuk itu, dilakukan acara Tonggo Raja dalam rangka pesta pembauran Transmigrasi Manduamas 1 pada 12 Mei 1984.

Pembayaran secara adat sebagai awal pembukaan perkampungan transmigrasi Manduamas 1 & 2 pada 13 Agustus 1985, dengan pemotongan 2 ekor kerbau yang masing-masing diserahkan kepada pemangku adat termasuk Boru-Bere.

Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Sumatera Utara, tertanggal 30 Januari 1982, tentang pencadangan area seluas 15 ribu hektar yang akhirnya diisi 2.514 kepala keluarga dengan 11.255 jiwa.

Bahwa pada Juni 2004, PT Nauli Sawit mulai aktivitas pengolahan dan penguasaan lahan dengan membuat perkebunan kelapa sawit di Kec. Sirondorung dan Manduamas tepat di lahan yang dihuni para klien.

PT Nauli Sawit melakukan penggarapan berdasarkan izin lokasi keperluan perkebunan kelapa sawit dengan No : 647/KMP-DP/tahun 2004 tertanggal 9 Desember 2004. Dan Ijin Lokasi No : 649/KPM-DP/Tahun 2004 tertanggal 9 Desember 2004.

“Bentuk penguasaan lahan secara paksa yang dilakukan  oleh PT Nauli Sawit dengan cara membongkar lahan, menimbun dan merusak tanaman milik para klien dilakukan pada malam hari dengan dijaga oknum aparat keamanan dan pemerintah setempat,” terang Kitson.

Lalu, perlakukan apalagi yang dialami para transmigran, hilangnya sertifikat tanah hingga banyak warga yang dikriminalisasi dan masuk bui hingga beberapa tahun, ikuti edisi selanjutnya. (bersambung, bs)     

Artikel Terkait