Bisnis

Pengusaha Nilai PP 109/2012 Sebagai Agenda Matikan IHT

Oleh : Ronald - Kamis, 21/11/2019 10:59 WIB

Industri Hasil Tembakau (IHT). (Foto : Ilustrasi)

Jakarta, INDONEWS.ID - Ketua  Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) Budidoyo menilai wacana merevisi PP 109/2012 sebagai suatu agenda untuk mematikan Industri Hasil Tembakau (IHT). Padahal, menurutnya sektor ini pada 2018 berkontribusi lebih dari Rp200 triliun kepada pendapatan negara lewat cukai IHT.
 
"Kami sepakat bahwa PP 109 yang berlaku saat ini sudah sangat ketat sebagai payung hukum bagi IHT nasional dan seluruh mata rantai terlibat. Termasuk kepada petani, pekerja, dan pabrikan. Kami meminta agar rencana revisi PP 109 yang digagas Kemenkes dihentikan," ketus Budidoyo di Jakarta Pusat, Rabu, (20/11/2019).

Menurutnya, Kemenkes tidak mempertimbangkan dampak dari usulan pasal-pasal yang digagasnya terhadap 6,1 juta tenaga kerja yang terlibat dalam industri asli Indonesia ini.

"Dampaknya tidak hanya dirasakan oleh 6,1 juta pekerja yang terlibat, tetapi juga oleh anggota keluarga mereka. Kasarnya berdampak pada lebih dari 20 juta jiwa," tambah Budidoyo.
 
Sementara itu, Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Soeseno menilai tekanan yang dialami pelaku IHT selama lima tahun terakhir sangat mempengaruhi petani tembakau dan cengkeh Indonesia. "Penurunan ini tentunya berdampak langsung terhadap daya serap pabrikan atas hasil tani tembakau dari petani," ujar Soeseno.
 
Lebih lanjut, Soeseno menguraikan, dengan adanya kampanye anti rokok maka permintaan rokok turun menjadi enam miliar batang per tahun. Jadi kalau satu batang rokok isinya satu gram tembakau, berarti ada 6.000 ton tembakau kering yang terancam tidak terserap IHT.
 
"Lalu kalau satu hektare lahan petani menghasilkan satu ton tembakau kering, maka ada sekitar 6.000 hektare lahan tembakau yang hilang tidak terserap. Artinya tidak sedikit petani tembakau yang akan kehilangan mata pencahariannya. Sementara sampai dengan saat ini harga tembakau lebih tinggi dibandingkan harga komoditas lain di musim kemarau,” tegas Soeseno.
 
Apalagi, sambung Sekjen Asosiasi Petani Cengkeh Indonesia (APCI) Budiman, ditambah dengan rencana kenaikan cukai yang eksesif pada tahun depan yang menjadi beban berat sektor cengkeh. "Ini tentu menimbulkan kecemasan di kelompok petani cengkeh, utamanya akan menekan serapan produksi cengkeh yang sangat bergantung pada industri rokok, khususnya kretek," tukasnya.
 
Saat ini Indonesia merupakan produsen cengkeh terbesar di dunia. Di dalam negeri cengkeh merupakan bahan pokok selain tembakau dalam memproduksi rokok kretek.
 
"Sebaiknya Kemenkes mengevaluasi kembali apa yang menjadi tujuan utama dari revisi ini, dan mengkaji dampaknya terhadap semua lapisan masyarakat. Jangan hanya mengikuti agenda dan dorongan pihak asing yang mensyaratkan agar Kemenkes mengikuti rekomendasi FCTC," sahut Koordinator Komisi Liga Tembakau, Zulvan Kurniawan. (rnl)

Artikel Terkait