Bisnis

Di Subang, Ada Pabrik Tahu Pengguna Wood Pellet Sebagai Sumber Energi

Oleh : very - Selasa, 21/01/2020 11:30 WIB

(ki-kanan): Sri Wahyu Purwanto, praktisi burner, Antonius Aris Sudjatmiko, Direktur Operasi dan Pengembangan EMI, Donny Yusgiantoro dari Kadin Bidang Pengelolaan Lingkungan Bersih dan Pemanfaatan Limbah, Miranti Serad (Kadin), Sarwono Kusumaatmadja, Komisaris Utama EMI, dan pemilik pabrik tahu Dani Kusdani, pemilik pabrik tahu San San Group. (Foto: Ist)

Subang, INDONEWS.ID -- Pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia memang masih belum maksimal. Padahal, Indonesia punya banyak sekali sumber energi alternatif yang efektif, efisien, dan ramah lingkungan. Satu di antaranya adalah wood pellet (pellet kayu).

Sumber energi berbahan limbah kayu itu bisa menjadi alternatif yang mendukung pelaku industri dari berbagai sisi. Mulai dari harga yang kompetetif hingga kalori yang dihasilkan tak kalah dari sumber energi lainnya.

Pelaku industri yang sudah menggunakan wood pellet sebagai sumber energinya adalah San San Group. Industri tahu di Kampung Susukan Girang, Desa Gunung Sari, Kecamatan Pagaden, Kabupaten Subang, Jawa Barat itu telah dua bulan ini menggunakan wood pellet. Bahkan pabrik tahu tersebut jadi benchmark penggunaan energi baru terbarukan ramah lingkungan.

Untuk mendorong lebih banyak industri UKM menggunakan wood pellet, rombongan dari PT Energy Management Indonesia (EMI) dan Kadin Bidang Pengelolaan Lingkungan Bersih dan Pemanfaatan Limbah mengunjungi pabrik tahu milik Dani Kusdani, di Kampung Susukan Girang, Desa Gunung Sari, Kecamatan Pagaden, Kabupaten Subang, Jabar, Senin (20/01/2020).

Tampak hadir Komisaris Utama PT EMI, Sarwono Kusumaatmadja, Direktur Operasional dan Pengembangan Usaha PT EMI Antonius Aris Sudjatmiko, Ketua Komisi Pengelolaan Lingkungan Bersih dan Pemanfaatan Limbah Kadin Energi Baru Dony Yusgiantoro dan Wakil  Ketua Komisi Tetap Pengelolaan Lingkungan Bersih dan Pemanfaatan Limbah Kadin Energi Baru Terbarukan, Miranti Serad.

Menurut Dani, banyak manfaat yang didapatnya setelah menggunakan wood pellet. Selain lebih hemat, tahu yang dihasilkannya juga jadi lebih bersih. Pun halnya lingkungan tempat tinggalnya tidak tercemar asap hasil pembakaran lantaran pembakaran wood pellet tidak menghasilkan asap.

Diterangkan, sebelum menggunakan wood pellet, Dani merogoh kocek Rp 700 ribu untuk membeli kayu bakar sebanyak dua mobil pickup. Sementara saat ini, ia hanya perlu mengeluarkan Rp 600 ribu untuk 240 kilogram wood pellet.

"Itu untuk memproduksi 1 ton tahu. Harga 1 kilogram wood pellet Rp 2.500," kata dia sembari mengatakan bahwa dalam sehari pabriknya memproduksi 60 ribu hingga 70 ribu potong tahu untuk memenuhi konsumen di Subang dan Indramayu.

Dani menambahkan, selain kayu, ia juga pernah menggunakan gas LPG. Namun LPG kurang mendukung terkait kapasitas produksi. Bahkan, ia juga pernah ditawari untuk menggunakan limbah plastik sebagai bahan bakar. Namun, Dani menolak tawaran itu karena membaca pemberitaan mengenai dampak buruk penggunaan limbah plastik di pabrik tahu di Tropodo, Sidoarjo, Jawa Timur.

"Kemudian saya bertemu Bu Sari yang memproduksi wood pellet. Setelah dilakukan uji coba ternyata cocok dan lanjut hingga sekarang," ucap Dani.

Keuntungan lain yang didapatnya setelah menggunakan wood pellet adalah dari sisi beban kerja karyawannya. Jika dulu karyawannya harus mengangkat kayu, kini mereka tinggal menuangkan wood pellet.

Sementara Direktur Operasional dan Pengembangan Usaha PT EMI, Antonius Aris Sudjatmiko menambahkan, kegiatan yang dilakukannya itu merupakan upaya pihaknya untuk menyediakan energi bersih bagi masyarakat.

(Pabrik tahu milik Dani Kusdani, di Kampung Susukan Girang, Desa Gunung Sari, Kecamatan Pagaden, Kabupaten Subang, Jabar. Foto: Ist)

Menurutnya, EMI adalah BUMN EBTKE yang merupakan mitra pemerintah untuk penyediaan dan pemanfaatan energi baru terbarukan, salah satunya wood pellet.

"Bahan baku wood pellet bisa didapatkan dari lingkungan setempat. Energi ini juga ramah lingkungan sekaligus bisa meminimalisir limbah yang masih bermanfaat berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA) sampah," jelas pria yang akrab disapa Aris itu.

Ditambahkan Aris, pihaknya tengah berupaya menyinergikan para pemangku kepentingan terkait program pemanfaatan biomassa untuk memenuhi kebutuhan energi masyarakat. Khususnya, di sektor rumah tangga, UMKM dan industri kecil.

 

Hasil Kajian EMI

Sementara Komisaris Utama PT EMI, Sarwono Kusumaatmadja menjelaskan, berdasarkan kajian yang dilakukan pihaknya, energi alternatif berbasis biota adalah alternatif untuk mencukupi kebutuhan bahan bakar di Indonesia. Menurutnya, letak geografis Indonesia menjadikannya sebagai wilayah yang kaya biota sebagai bahan baku biomassa.

Di wilayah perdesaan, khususnya yang sulit dijangkau oleh BBM dan gas, wood pellet bisa jadi energi alternatif karena bahan bakunya mudah didapatkan. Terlebih, cadangan minyak bumi dan gas Indonesia semakin menipis. Oleh karena itu, sumber energi pengganti fosil harus sudah dipersiapkan sejak saat ini.

Dibandingkan dengan bahan bakar fosil, salah satu keunggulan biomassa adalah sumbernya tidak akan habis. Meski demikian ia mengakui jika saat ini biomassa masih belum banyak yang mengenal dan dari sisi bisnis juga belum banyak dilirik.

"Namun ke depan, ini bisa jadi bisnis skala besar," ujar dia.

Bisnis wood pellet, jelas Sarwono, juga sangat baik bagi masyarakat dan lingkungan. Karena bahan bakunya yang mudah didapat sehingga sekaligus juga bisa jadi sarana pemberdayaan masyarakat di perdesaan. Pun halnya dengan proses engineering-nya yang relatif sederhana sehingga dengan mudah bisa melatih masyarakat terlibat di industri itu.

"Bahan bakunya ada di mana-mana. Kami akan berusaha untuk memasyarakatkan wood pellet ini," katanya.

 

Konsep Industri

Sedangkan dari sisi konsep industri, Donny Yusgiantoro mengatakan perlu adanya industri terpadu untuk wood pellet. Menurutnya, pabrik wood pellet juga harus didukung pabrik lainnya. Misal pabrik kayu ataupun pabrik lain yang menghasilkan limbah yang bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku wood pellet.

Khusus wilayah Subang, ia melihat jika sektor terpadu seperti yang dimaksudnya masih kurang. "Selama ini kebijakan jadi kelemahan kita padahal wood pellet ini sangat bagus," ucapnya.

Oleh karena itu, lanjut Donny, pihaknya akan menguji feasibility industri tersebut. Tentunya, Kadin akan menggandeng produsen ataupun pengguna wood pellet agar semua aspek bisa dihitung secara matang.

Berdasarkan hitung-hitungan praktisi mesin pembakaran atau burner wood pellet, Sri Wahyu Purwanto, jika dibandingkan dengan LPG, wood pellet bisa hemat hingga 50%. Menurutnya, butuh sekitar Rp 1,2 juta untuk beli LPG dengan penggunaan selama 12 jam sehari. Sementara wood pellet, hanya Rp 600 ribu. (*)

Artikel Terkait