Opini

Hidrogen sebagai Sumber Energi Bersih yang Dapat Dibangun di Pulau-Pulau Kecil Berpenduduk di Indonesia

Oleh : very - Jum'at, 28/07/2023 13:33 WIB

Hidrogen sebagai sumber energi bersih. (Foto: Ist)

Oleh: Atmonobudi Soebagio*)

INDONEWS.ID - Sejumlah kesepakatan bersama yang mendunia tentang perlunya sebuah pembangunan yang berkelanjutan dan sekaligus berupaya untuk menurunkan emisi karbon dioksida, telah dimulai dan menjadi tekad bersama oleh seluruh negara di dunia. Sayangnya, tekad untuk mengakhiri produksi energi listrik yang dibangkitkan oleh bahan bakar fosil (batubara, minyak bumi dan gas alam) tidak dapat dilakukan secara serentak oleh negara-negara yang turut serta dalam kesepakatan tersebut. 

Pertimbangan setiap negara ternyata berbeda satu terhadap yang lain dalam menetapkan awal emisi tanpa karbon dioksida di negara masing-masing.

Dalam Paten Hidrogen untuk Masa Depan Energi Bersih disebutkan, bahwa keberhasilan transisi menuju masa depan energi bersih akan didukung oleh perubahan cepat dalam ekonomi global dan pola konsumsi energi masyarakat, yang semuanya memiliki potensi untuk mempertahankan masyarakat yang lebih sehat, hasil yang lebih adil, dan bumi yang lebih tangguh.

 

Hidrogen sebagai BBG Ramah Lingkungan bagi Indonesia

Kondisi Indonesia sebagai negara kepulauan yang terdiri dari 17.024 pulau, yang nama pulau-pulaunya secara resmi dibakukan oleh Badan Informasi Geospasial (BIG), perlu mempertimbangkan jenis industri yang cocok untuk memproduksi gas hidrogen.

Penduduk negara ini tidak hanya tinggal di pulau-pulau besar saja, melainkan juga di pulau-pulau kecil yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai ke pulau Rote.  

Wilayah Indonesia, berdasarkan konfirmasi data KKP, terdiri dari wilayah daratan seluas 1,91 juta km2 sedangkan luas wilayah perairan (laut dan danau) mencapai 6,32 juta km2. Meskipun berwujud gas, hidrogen harus dicairkan agar memudahkan pengirimannya; baik secara pipanisasi maupun lewat transportasi darat, sungai dan laut di dalam tabung-tabung berbagai ukuran.

 

Hidrogen dapat Diproduksi dari Air

Jumlah pulau berpenduduk yang ribuan jumlahnya membutuhkan sarana transportasi pengiriman gas hidrogen ke semua pulau tersebut. Selama ini, produksi gas LPG hanya dilakukan untuk memenuhi penduduk di pulau-pulau  besar saja.

Menurut data BPS, pada tahun 2021 ada 82,78% rumah tangga Indonesia yang menggunakan LPG sebagai bahan bakar utama untuk memasak. Persentase tersebut mencakup rumah tangga yang menggunakan LPG tabung 3 kg, 5 kg dan 12 kg.

Mulai tahun 2023 pemerintah akan meluaskan uji coba pembatasan pembelian LPG 3 kg, supaya penyaluran bahan bakar bersubsidi ini bisa lebih tepat sasaran.  Perlu dicatat, bahwa penggunaan LPG Rumah Tangga meningkat hampir 2 kali lipat dalam 10 tahun terakhir.

Kondisi penduduk Indonesia yang tersebar di pulau-pulau besar maupun kecil merupakan problem tersendiri mengingat produksi gas LPG hanya di pulau-pulau besar yang memiliki tambang gas, sehingga memerlukan armada transportasi darat dan laut dalam jumlah besar untuk mendistribusikannya. 

Tekad untuk  mengakhiri penggunaan LPG yang tergolong bahan bakar fosil, dan menggantikannya dengan liquefied hydrogen (hidrogen cair) patut memperoleh dukungan dari kita semua, karena lebih ramah terhadap lingkungan.

                                                                          

Hidrogen sebagai Bahan Bakar Kendaraan Bermotor

Selain sebagai pengganti gas LPG yang tergolong bahan bakar fosil, hidrogen juga dapat menggantikan bahan bakar bensin pada kendaraan bermotor jenis internal combustion engines (ICE). Bahan baku utama untuk memproduksi gas hidrogen adalah air atau air laut melalui proses elektrolisa. 

Contoh berupa penggunaan hidrogen sebaga bahan bakar sepeda motor dinas yang diinisiasi oleh Kodam Siliwangi, adalah bukti nyata akan manfaatnya.

Modifikasi bahan bakar bensin ke hidrogen, yang merupakan inovasi dari pria berasal dari Kabupaten Cirebon bernama Aryanto Misel, menarik pimpinan Kodam tersebut.  Proses elektrolisa tersebut memerlukan sumber listrik arus searah (DC) yang terhubung ke elektroda-elektroda dalam proses tersebut.

Ketika Pemerintah memperkenalkan kendaraan listrik sebagai salah satu langkah positif untuk mengakhiri penggunaan BBM fosil, cukup banyak anggota masyarakat mengalami kepanikan karena akan disusul dengan dikuranginya produksi BBM fosil yang masih diperlukan oleh mobil mereka.

Tidak sedikit masyarakat pengguna sepeda motor mulai tertarik untuk membeli mobil listrik berukuran kecil.  Padahal, mobil listrik tersebut akan meningkatkan konsumsi energi listrik rumah tangga mereka sebagai pelanggan listrik PLN, d.h.i. pemilik mobil listrik, untuk mengisi bateri mobil tersebut. Hingga kini, jumlah SPBU yang melayani pengisian baterai mobil listrik belum banyak jumlahnya. 

Di sisi lain, produksi listrik PLN yang sumber pembangkitnya masih menggunakan batubara masih boleh beroperasi, dan sejatinya akan berakhir pada tahun 2050.  Akselerasi pengurangan penggunaan batubara terus berjalan, karena Indonesia akan bisa menghemat 4 triliun dollar AS jika mempercepat berakhirnya penggunaan PLTU Batubara.  Perlu ada titik temu antara pengusaha pembangkit listrik batubara dan PLN.

Jika pemerintah segera memproduksi gas hidrogen secara besar-besaran, di samping pemenuhan kebutuhan listrik lewat PLT Surya dan PLT Bayu, maka akan ada ratusan ribu kendaraan bermotor berbahan bakar bensin yang masih bisa diselamatkan  lewat modifikasi kecil pada  karburator dan tanki BBM-nya. 

Perlu kita ketahui bersama, bahwa kendaraan bermotor yang berbahan bakar bensin tidak lagi mengemisikan gas buang CO2, melainkan akan berupa uap air jika menggunakan gas hidrogen sebagai pengganti bahan bakar bensinnya.

Teknologi otomotif yang terbaru adalah mobil dengan teknologi hydrogen fuel cells. Mobil tersebut  tergolong mobil listrik, namun sebagai pengganti baterai digunakanlah sel bahan bakar hidrogen (hydrogen fuel cells).  

Manfaat lainnya, adalah terbuka peluang tersebarnya industri bahan bakar hidrogen di banyak pulau, karena kapasitas produksi hidrogen bisa bervariasi dari skala kecil hingga besar.  Semoga dapat segera terlaksana.

*) Prof. Atmonobudi Soebagio MSEE, Ph.D. adalah Guru Besar Energi Listrik dan Terbarukan pada Universitas Kristen Indonesia.

Artikel Terkait