Nasional

Bendera Bintang Kejora, Ekspresi Budaya atau Politik?

Oleh : indonews - Selasa, 03/09/2019 12:01 WIB

Masyarakat Papua melakukan demonstrasi di depan Istana dengan mengibarkan bendera Bintang Kejora. (Foto:Tribunnews.com)

Jakarta, INDONEWS.ID -- Pengibaran bendera Bintang Kejoja kembali menjadi persoalan dalam beberapa pekan belakangan. Polda Metro Jaya akhirnya harus menangkap 13 orang asal Papua terkait pengibaran bendera tersebut dalam aksi unjuk rasa di depan Istana Merdeka pada 28 Agustus lalu. Salah satunya adalah Juru Bicara Front Rakyat Indonesia untuk West Papua, Surya Anta Ginting.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, Kemananan, (Menkopolhukam) Wiranto dalam pernyataannya menegaskan, pengibaran Bendera Bintang Kejora itu dilarang, termasuk dalam unjuk rasa di depan Istana Negara. Sebab, Indonesia hanya mempunyai satu bendera kesatuan, yakni Bendera Merah-Putih.

"Ya enggak boleh, enggak boleh ini (pengibaran bendera bintang kejora). Negara ini kan punya simbol yang salah satu simbol adalah bendera kesatuan Republik Indonesia bendera kebangsaan hanya satu," kata Wiranto saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (29/8/2019).

Bagi warga Papua, bendera Bintang Kejora adalah simbol kultural seperti berlaku pada era Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Bagi Gus Dur bendera Bintang Kejora disamakan dengan umbul-umbul dalam sebuah pertandingan sepak bola. Karena itu, pengibaran bendera tersebut di era Gus Dur diperbolehkan selama merupakan lambang kultural, bukan lambang kemerdekaan atau pemisahan Papua dari Indonesia. Pertanyaannya adalah bagaimana mendamaikan atau membedakan kedua hal tersebut?

Pengamat politik dari President University yang juga Mantan Menteri era Gus Dur, Muhmmad AS Hikam mengatakan, kendati mungkin sangat sulit untuk memisahkan antara dua dimensi tersebut, yaitu dimensi politik dan budaya, dirinya coba membedakannya berdasarkan pandangan Gus Dur, yaitu melalui pendekatan kultural.

“Paradigma Gusdurian terkait pengibaran bendera Bintang Kejora itu berlandaskan pada sebuah keyakinan bahwa Papua sebagai bagian tak terpisahkan dari NKRI adalah Final. Karena itu, upaya apapun juga yang bertujuan memisahkan wilayah paling Timur Indonesia tersebut dari pangkuan ibu pertiwi harus ditolak. Termasuk dengan penegakan hukum sesuai dengan konstitusi RI dan perundang-undangan yang berlaku,” ujar pendukung Gus Dur, Gusdurian, ini di Jakarta, Selasa (3/9).

Hikam mengatakan, pendekatan budaya dalam paradigma Gusdurian berarti mendukung upaya penyelesaian konflik dan mencari solusi terhadap masalah-masalah yang dirasakan rakyat Papua dengan memanfaatkan khazanah ekspressi budaya.

Karena itu, lambang daerah seperti Bintang Kejora, apabila dimaknai sebagai salah satu ekspresi budaya tentu tidak bermasalah. Bagi Gus Dur, ujarnya, bendera tersebut statusnya tidak akan pernah sama dan tidak boleh disamakan dengan sang saka Merah Putih yang merupakan lambang negara RI.

“Yang menjadi persoalan adalah ketika pemahaman tersebut ternyata mengalami distorsi dan bahkan sengaja dimanipulasi oleh pihak-pihak tertentu yang bertujuan memisahkan Papua dari NKRI. Mereka melakukan apropriasi terhadap lambang budaya tersebut dan memaknai serta menggunakannya sebagai lambang negara Papua merdeka,” ujar Hikam.

Mantan menteri Ristek pada era Gus ini mengatakan, dalam wacana dan praksis konflik terkait bendera bintang kejora itu pun lantas menjadi arena perebutan makna, antara budaya atau politik. Salah satu implikasinya adalah kesulitan menentukan apakah ketika individu dan/atau kelompok yang mengibarkannya merepresentasikan pemakaian lambang tersebut sebagai ekspresi budaya Papua atau politik pemisahan dari NKRI.

“Bagi saya, selama paradigma yang mendasari wacana dan praksis pengibaran bendera bintang kejora masih bertabrakan, maka tidak mungkin ada titik temu. Pihak separatis hanya akan memanipulasi solusi budaya Gus Dur demi kepentingan politiknya. Sebaliknya pihak aparat penegak hukum (gakkum) akan punya legitimasi dan alasan untuk melarang pengibaran lambang budaya tersebut karena dianggap sebagai ekspressi politik separatis,” pungkasnya. (Very)

 

Artikel Terkait