Internasional

Belajar dari Jepang Soal Budaya Bersih

Oleh : Rikard Djegadut - Selasa, 08/10/2019 12:30 WIB


Para pelajar sekolah dasar sedang membersihkan ruangan kelas mereka. (Foto: Fimela)

Jakarta, INDONEWS.ID - Salah satu yang hal yang pertama kali disadari pengunjung Jepang adalah betapa bersihnya lingkungan di negara itu. Namun, tong sampah dan penyapu jalanan jarang dijumpai. Apa rahasianya? Mengapa Jepang bisa begitu bersih? Jawaban mudahnya adalah para warga Jepang punya kesadaran untuk menjaga kebersihan.

"Selama 12 tahun bersekolah, dari sekolah dasar hingga sekolah menengah atas, bersih-bersih adalah bagian dari jadwal rutin para pelajar," kata Maiko Awane, asisten direktur kantor perwakilan pemerintah Prefektur Hiroshima di Tokyo.

Demikian pun di rumah, orang tua mengajar mengajarkan anak-anaknya agar harus menjaga barang-barang dan ruangan tetap bersih.

Elemen kesadaran sosial dalam kurikulum sekolah membantu para pelajar mengembangkan kesadaran dan kebanggaan pada lingkungan mereka. Siapa yang ingin mengotori sekolah ketika mereka sendiri yang harus membersihkannya?

Ada yang mengeluh. Namun kemudian menerimanya karena itu bagian dari rutinitas. Sehingga membentuk pola pikir bahwa bersih-bersih di sekolah adalah sikap yang baik. Sebab dengan demikian memberikan pelajaran penting yakni bertanggung jawab atas kebersihan benda-benda dan tempat yang digunakan.

Beberapa contoh kebersihan Jepang yang viral adalah ritual tukang bersih-bersih di kereta Shinkansen selama tujuh menit. Aksi mereka telah menjadi tontonan wisatawan asing.  Saat Piala Dunia digelar di Brasil (2014) dan Rusia (2018), pendukung timnas Jepang memukau khalayak dunia dengan bertahan di dalam stadion guna memungut sampah.

Para pemain timnas Jepang juga meninggalkan ruang ganti dengan kondisi mengilap. "Sungguh sebuah contoh bagi semua tim," cuit koordinator umum FIFA, Priscilla Janssens. Pemandangan serupa berlangsung di berbagai festival musik di Jepang.

"Kami, orang Jepang, sangat sensitif dengan reputasi kami di mata orang lain," kata Awane. "Kami tidak ingin orang lain berpikir kami orang-orang buruk yang tidak terpelajar atau salah asuhan sehingga tidak bersih-bersih".

Contoh kesadaran sosial terdapat juga di keseharian. Pada pukul 08.00, misalnya, para karyawan kantor dan penjaga toko akan membersihkan jalanan di sekeliling tempat kerja.

Anak-anak sukarela bersih-bersih sekali sebulan di lingkungan sekitar rumah, memungut sampah dari jalanan dekat sekolah mereka. Rukun warga juga mengadakan kerja bakti secara reguler. Sejatinya tidak banyak yang dibersihkan karena orang-orang membawa sampah pribadi ke rumah.

Bahkan uang kertas yang muncul dari ATM begitu bersih dan mulus bagaikan diseterika. Akan tetapi, uang tetap bisa kotor. Itu sebabnya orang Jepang jarang menyerahkan uang langsung ke orang lain. Di toko, hotel, dan taksi, akan ada tempat kecil untuk menempatkan uang. Orang lain kemudian mengambilnya.

Kotoran tak terlihat—bakteri dan kuman—menjadi sumber kerisauan lain. Saat seseorang sakit flu, mereka memakai masker agar orang lain tidak tertular. Tindakan kepedulian terhadap sesama seperti ini mengurangi penyebaran virus, sehingga menurunkan beban ekonomi yang timbul akibat absen kantor karena sakit dan pengeluaran untuk obat-obatan.

Sikap ini bukan hal baru di Jepang, sebagaimana dituturkan seorang pelaut bernama Will Adams ketika mendarat pada 1600. Dia kemudian dikenal sebagai pria Inggris pertama yang menginjakkan kaki di daratan Jepang.

Dalam buku kisah hidupnya yang berjudul Samurai William, penulis Giles Milton mencatat `kaum bangsawan amat sangat bersih`. Mereka disebut punya kamar mandi beraroma kayu serta `selokan dan kakus tak ternoda`. Pada era yang sama, jalanan di Inggris `kerap melimpah dengan kotoran`.

Orang-orang Jepang ketika itu `kaget` oleh sikap bangsa Eropa yang abai pada kebersihan pribadi.

Kepedulian pada kebersihan ini dilatari oleh pemikiran pragmatis. Saat cuaca sedang panas dan lembab, makanan cepat basi, bakteri cepat berkembang biak. Sehingga kebersihan sama dengan kesehatan.

Tapi, sikap itu juga dilatari pemikiran yang lebih mendalam.
Kebersihan adalah bagian utama dari ajaran Buddha yang tiba dari China dan Korea antara abad ke-6 dan ke-8.

Faktanya, ajaran Buddha versi Zen, yang datang ke Jepang dari China pada abad ke-12 dan ke-13, menganggap berbenah dan memasak sebagai latihan spiritual yang sama pentingnya dengan bermeditasi.

"Dalam ajaran Zen, semua kegiatan rutin, seperti memasak dan bersih-bersih, harus dipandang sebagai kesempatan untuk mengamalkan Buddhisme. Membersihkan debu baik fisik maupun spiritual memainkan peranan penting dalam praktik keseharian," kata Eriko Kuwagaki dari Kuil Shinshoji di Fukuyama, Prefektur Hiroshima.

Dalam The Book of Tea karya Okakura Kakuro mengenai upacara minum teh dan filosofi Zen yang melatarinya, disebutkan bahwa ruangan tempat upacara minum teh digelar "…semuanya harus benar-benar bersih sehingga tidak ada partikel debu yang ditemukan di pojok tergelap. Jika ada, tuan rumahnya bukanlah master teh."

Okakura menulis kata-kata itu pada 1906 lampau, namun masih relevan hingga kini.

Sebelum upacara minum teh di Rumah Teh Seifukan di Taman Shukkeien di Hiroshima, pengunjung bisa menyaksikan asisten master teh berbalut kimono sedang memegang kertas cokelat nan lengket guna mengambil setiap debu.

Sebelum ajaran Buddha datang, Jepang sudah punya agama sendiri, yaitu Shinto (artinya `Jalan para Dewa`). Agama tersebut diyakini sebagai perwujudan jiwa dari identitas Jepang. Adapun kebersihan berada tepat di jantung Shinto.

Masyarakat Barat diajari bahwa kebersihan dekat dengan ketuhanan. Shinto mengajarkan kebersihan adalah ketuhanan. Dengan demikian, penekanan ajaran Buddha soal kebersihan dikuatkan dengan apa yang sudah dipraktikkan orang-orang Jepang.

Konsep utama Shinto adalah kegare alias ketidaksucian atau kotoran, lawannya kesucian. Contoh kegare beragam, mulai dari kematian dan penyakit hingga apapun yang tidak menyenangkan. Ritual pembersihan yang sering dilakukan, penting untuk membuang semua kegare.

"Jika suatu individu terpapar kegare, seluruh masyarakat akan kena dampak buruknya," jelas Noriaki Ikeda, asisten pemangku agama Shinto di Kuil Kanda, Hiroshima.

"Jadi sangat vital untuk mempraktikkan kebersihan. Ini memurnikan Anda dan membantu menolak bala ke masyarakat. Itulah mengapa Jepang adalah negara yang sangat bersih."

Jika Anda tinggal di Jepang, Anda akan mulai menerapkan gaya hidup yang bersih. Anda akan berhenti menyemprotkan isi hidung di depan umum, menggunakan pembersih tangan yang tersedia untuk umum di toko dan kantor, serta memilah sampah rumah tangga ke 10 jenis sampah guna memudahkan daur ulang.

Dan, seperti pelaut Will Adams dan rekan-rekannya pada 1600, Anda akan menyadari kualitas hidup yang meningkat.

Lalu, ketika Anda kembali ke kampung halaman, Anda akan terkejut oleh para barbar yang menyemprotkan isi hidung dan bersin di muka Anda, menginjak lantai rumah Anda dengan sepatu, atau memakai kakus dan shower di satu ruangan. Semua hal yang tidak terpikirkan di Jepang.

Bagaimanapun, masih ada secercah harapan. Lagipula, perlu waktu agar Pokémon, sushi, dan kamera ponsel menjadi tren dunia. *Rikardo).

Artikel Lainnya