Nasional

Klaim China di Laut Natuna, Indonesia Perlu Koordinasi dengan ASEAN

Oleh : very - Minggu, 05/01/2020 21:24 WIB

Pengamat pertahanan Connie Rahakundini Bakrie. (Foto: Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID -- Pengamat pertahanan Connie Rahakundini Bakrie mengatakan Indonesia seharusnya tidak perlu kaget lagi dengan arogansi China yang mengkaim Laut Natuna.

“Setiap ada kejadian baru kita melakukan patroli di Laut Natuna. Masalahnya adalah Indonesia sudah menyatakan dirinya sebai negara poros maritim dunia sejak 2014 lalu,” ujar pengamat dar Indonesia Institut for Maritime Studies itu di Jakarta, Minggu (5/1).

Connie mengatakan, sebagai negara yang menerapkan poros maritim, Indonesia tentunya sudah memiliki kebijakan maritim yang jelas.

Selain itu, menurutnya, Indonesia tidak perlu takut karena Indonesia adalah salah satu negara anggota Association of South East Asian Nations (ASEAN).

ASEAN, katanya, memiliki tiga pilar politik yang telah ditandatangani bersama, salah satunya yaitu ASEAN Security Community (ASC). “Jadi ASEAN mau diapain. Apa hanya untuk ngumpul-ngumpul setiap tahun saja,” ujar Connie.

Karena itu, Indonesia mesti aktif untuk melakukan koordinasi dengan ASEAN, terutama dalam kasus Natuna. Dia mencontohkan, patroli atau membuat pakta Coast Guard bersama. “Seharusnya Indonesia berfikir, ada 10 negara bersatu di ASEAN, karena itu China tidak berani macam macam,” ujarnya.

Karena itu, Connie berharap agar klaim China di perairan Natuna itu dapat menjadi momentum sekaligus upaya pemerintah Indonesia untuk memperkuat kerja sama dengan negara-negara Asia Tenggara dalam melindungi kedaulatan wilayah perairan mereka masing-masing.

Connie mengatakan, ada dua pendekatan bagi pemerintah Indonesia untuk memperjuangkan kedaulatan dalam negerinya. Pertama, pendekatan hard power atau dengan kata lain menggunakan political security pillar ASEAN. Pendekatakan ini, katanya, seluruh negara ASEAN bersepakat untuk bersama berpatroli untuk menjaga kedaulatan maritim dan dirgantara kawasan.

Kedua, pendekatan soft power. Kata Connie, semua negara ASEAN dan China dengan melibatkan para sejarawan dan antropolog membahas claim historical masing-masing termasuk bukti-bukti sejarah nenek moyang serta pendudukan pulau-pulau dalam area U tersebut. "Ini akan membuat China sadar bahwa bukan saja mereka yang memiliki history di sana," ujarnya.

 

Sudah Diingatkan Sejak 2012

Connie mengatakan, dirinya pernah mengingatkan konflik di perairan ini sejak 2012 silam. Sebuah makalah tentang sejarah konflik perairan Natuna atau Laut China Selatan (LCS) itu pernah disampaikannya pada forum internasional Amerika Serikat dan dalam Forum Group Diskusi (FGD) di Kementerian Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam) pada November 2012 silam.

Dalam makalah tersebut, Connie menyebut, pada grafik navigasi Kerajaan Britania Raya, wilayah yang sekarang diklaim sebagai LCS telah disebut sebagai pelataran berbahaya. Perairan ini dalam kedaulatan Indonesia merujuk pada perairan Natuna. "Pelataran berbahaya ini tumbuh menjadi jalur pelayaran tersibuk di dunia dan dijuluki Teluk Persia Baru atau Hidrokarbon Eldorado," ujar Connie.

Connie mengatakan, klaim maritim LCS melibatkan garis berbentuk U misterius yang terbentuk dari gugusan 9 titik pulau-pulau. Wilayah ini juga meliputi LCS tengah, di mana masyarakat internasional merasa memiliki hak untuk mengeksploitasinya. Connie mengatakan, garis U yang mengelilingi LCS dianggap mempengaruhi hak-hak negara yang memiliki hak-hak ZEE di sekitarnya.

Pelataran berbahaya itu kemudian tumbuh menjadi tempat yang strategis. Dalam hal ini, wilayah tersebut bercirikan ketegangan yang berimplikasi pada geopolitik. "Meskipun pertanyaan akan kedaulatan berpusat atas sengketa kepulauan, sengketa LCS dalam praktiknya merupakan wilayah sengketa maritim yang paling mungkin untuk memulai percikan konflik di kawasan," ujarnya.

Menurut Connie, dengan adanya kesepakatan dan penandatanganan UNCLOS, China harus menghormati dan tidak dapat mengklaim alasan sejarah yang memberikan pembenaran hak ruang maritim seputar garis U misterius tersebut. Klaim China tersebut, katanya, dapat diasumsikan sebagai ancaman bagi Indonesia, Filipina, Malaysia, Brunei Darussalam dan Vietnam.

"Hal tersebut juga dapat dianggap berpengaruh terhadap hak-hak masyarakat internasional karena UNCLOS juga memberikan hak dalam wilayah perairan ini untuk masyarakat internasional," ujarnya.

Karena itu, Connie menduga, China memiliki maksud tersendiri dari penolakannya terhadap upaya melakukan internasionalisasi LCS tersebut. "Terdapat kekhawatiran dengan tidak di-internasionalisasikannya sengketa ini, maka Beijing akan mampu membawa kekuatannya pada negara-negara Asia Tenggara dan memaksakan aturannya sendiri pada wilayah perairan ini," pungkasnya. (Very)

Artikel Terkait