Opini

Memaknai Ulang Ketentuan Belajar dari Rumah

Oleh : indonews - Rabu, 22/04/2020 23:58 WIB

Ilustrasi belajar dari rumah.(Foto:Kompas.com)

Oleh:Servasius S. Jemorang *)

INDONEWS.ID - Kemendikbud telah mengeluarkan surat edaran tentang pelaksanaan kebijakan pendidikan pada masa darurat penyebaran Covid-19. Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2020 dikeluarkan tanggal 24 Maret 2020.

Ada enam poin pokok dalam surat edaran tersebut, dari poin tentang pembatalan pelaksanaan UN tahun 2020 hingga tentang penggunaan dana BOS oleh pihak sekolah.

Pada poin kedua dari keenam poinnya, secara khusus dijelaskan mengenai ketentuan proses Belajar dari Rumah sebagai panduan bagi para guru di Indonesia.

Beberapa ketentuan tersebut diantaranya, pertama, Belajar dari Rumah melalui pembelajaran daring/ jarak jauh dilaksanakan untuk memberikan pengalaman belajar yang bermakna bagi siswa, tanpa terbebani tuntutan menuntaskan seluruh capaian kurikulum untuk kenaikan kelas maupun kelulusan.

Kedua, Belajar dari Rumah dapat difokuskan pada pendidikan kecakapan hidup antara lain mengenai pandemi Covid-19. Ketiga, aktivitas dan tugas pembelajaran Belajar dari Rumah dapat bervariasi antarasiswa, sesuai minat dan kondisi masing-masing, termasuk mempertimbangkan kesenjangan akses / fasilitas belajar di rumah.

Keempat, bukti atau produk aktivitas Belajar dari Rumah diberi umpan balik yang bersifat kualitatif dan berguna dari guru, tanpa diharuskan memberi skor / nilai kuantitatif.

Ketentuan mengenai proses Belajar dari Rumah ini rasanya perlu dimaknai ulang, terutama oleh para guru, pejabat di dinas-dinas pendidikan, dan pemilik sekolah-sekolah swasta.

Karena pasca pemberlakuan belajar jarak jauh atau Belajar dari Rumah, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima banyak aduan dari siswa dan orangtua siswa. Sejak tanggal 16 Maret hingga 9 April 2020, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima 213 pengaduan dari siswa dan orangtua siswa terkait pembelajaran jarak jauh (Kompas,14/04/2020).

KPAI membeberkan beberapa dasar pengaduan-pengaduan itu. Pertama, penugasan yang terlalu berat dan waktu pengerjaan yang pendek. Kedua, banyak tugas merangkum dan menyalin soal di buku. Ketiga, jam belajar masih kaku, seperti jam sekolah normal.

Keempat, siswa tidak memiliki pulsa yang cukup untuk mengikuti pembelajaran jarak jauh daring, terutama untuk siswa yang orangtuanya mengandalkan upah harian. Kelima, sebagian siswa tidak memiliki gawai pribadi sehingga sulit mengikuti ujian daring yang akan dilaksanakan akhir April-Mei 2020.

Pengaduan kepada KPAI bukanlah urusan yang gampang. Tentu orangtua siswa atau siswa merasa beban pembelajaran sudah kelewatan batas, sehingga perlu ambil langkah-langkah hukum. Dan langkah itu tidak salah, sebab di tengah situasi yang serba sulit, baik secara kesehatan mauapun ekonomi, pendidikan justru menghadirkan rasa frustasi yang baru.

Sementara di banyak institusi, ada begitu banyak kelonggaran aktivitas dan fleksibilitas pelaksanaan agenda-agenda penting. Institusi dan perkantoran lain lebih mengutamakan keselamatan diri daripada melaksanakan agenda secara penuh. Kenapa pendidikan justru merasa lebih penting dari huru-hara penanganan masalah Covid-19?

Di saat bersamaan, peristiwa pengaduan ini menandakan ada pemaknaan yang keliru atas ketentuan Belajar dari Rumah. Baik itu oleh guru, pejabat-pejabat terkait di dinas-dinas pendidikan, kepala sekolah atau pemilik sekolah-sekolah swasta.

Ada guru yang melaksanakan pembelajaran dengan hanya ikut-ikutan apa yang guru lain lakukan. Memberikan tugas dan mendesain proses pembelajaran sesuka hati tanpa memahami secara utuh ketentuan Belajar dari Rumah.

Pada lain kasus, guru mengaku mendapat beban administrasi dari dinas pendidikannya. Karena setiap selesai proses belajar, guru-guru wajib membikin laporan kinerja dan proses pembelajaran.

Pada situasi ini, guru benar-benar mengalami dilema. Antara menjawabi tuntutan administrasi dari dinas pendidikan yang tetap seperti normalnya dan mentaati ketentuan belajar dari Kemendikbud. Guru tidaklah salah dalam situasi ini.

Yang masih keliru ialah para pejabat terkait di dinas-dinas pendidikan. Maka perlu ada pemaknaan ulang oleh semua pihak atas ketentuan Belajar dari Rumah.

Memaknai Ulang

Terimplisit beberapa makna penting dalam ketentuan Belajar dari Rumah itu. Ketentuan pertama, Kemendikbud berupaya memberikan kelonggaran pada aturan belajar dan standar pencapaian belajar.

Guru tidak perlu dibebani oleh tuntutan pencapaian belajar peserta didik sebagaimana telah diatur dalam kurikulum. Berbeda sama sekali dengan pembelajaran di kelas-kelas biasanya, pembelajaran via daring lebih kepada bagaimana memberikan makna belajar bagi peserta didik.

Yang artinya peserta didik pada masa sekarang mempelajari hal-hal yang bermanfaat atau berguna bagi kehidupan mereka saat ini. Maka pilihan konten belajar yang bermakna saat ini tentu tidak keluar dari keterkaitan dengan konteks pandemi Covid-19.

Patokannya ialah pada kebermaknaan belajar bagi peserta didik dan kelonggaran atas standar pencapaian belajar.

Kedua, pembelajaran fokus pada kecakapan hidup siswa terutama tentang pandemi Covid-19. Ketentuan ini mengandung maksud bahwa materi-materi pelajaran disesuaikan sedemikian rupa dengan kondisi kehidupan siswa di masa pandemi ini.

Perlu ada eksplorasi pemahaman, keadaan, aturan kehidupan, hal-hal yang boleh dilakukan atau tidak, sejarah Covid-19, jumlah penderita dan korban jiwa, jumlah negara terpapar, masa depan situsi ekonomi, situasi lingkungan, orang-orang yang dirugikan secara langsung maupun yang tidak langsung, pahlawan-pahlawan baru di masa ini, bagian-bagian tubuh yang rentan dengan penyakit corona, aturan pola hidup yang sehat dan lain-lain.

Pesan pada ketentuan kedua ini sangat jelas, siswa harus cakap terkait covid-19 dan keadaan-keadaan yang mengikutinya. Tentu di sisi lainnya agar mereka tidak terpapar dan tetap sehat.

Ketiga, mengenai penugasan yang bervariasi antara siswa sesuai dengan kondisi dan minat masing-masing, termasuk soal kondisi keterbatasan fasilitas belajar daring. Penugasan tidak dilandasi oleh tuntutan pencapaian administrasi, tetapi ialah bagian lanjut dari proses eksplorasi situasi atau keadaan yang tengah dialami siswa.

Pada ketentuan penugasan ini, tidak hanya mengeksplorasi keadaan, tetapi juga mengeksplorasi bakat, minat belajar dan potensi masing-masing peserta didik. Karena setiap peserta didik, memiliki minat-minat belajar terpendam yang tidak terfasilitasi di sekolah. Bagi peserta didik yang bermasalah dengan jaringan internet atau fasilitas belajar via daring, keadaan-keadaan mereka perlu dieksplorasi melalui penugasan-penugasan terkait.

Keempat, mengenai bukti atau produk belajar dari rumah, guru berkewajiban memberikan umpan balik yang sifatnya kualitatif tanpa harus memberikan skor dan pelabelan-pelabelan tertentu

Misalnya memberikan apresiasi, menanyakan lebih jauh perihal karya-karya peserta didik, atau pertanyaan-pertanyaan lain seputaran karya yang dihasilkan peserta didik tanpa harus memberikan skor.

Soal nanti bagaimana laporan evaluasi belajar, erat kaitannya dengan hasil ujian yang sifatnya sangat otentik atau minimal tidak lari jauh dari pengetahuan mengenai situasi yang dialami masing-masing peserta didik.

Seberapapun dekatnya keterkaitan keadaan siswa dengan materi pelajaran, wajib dieksplorasi secara tuntas. Pada situasi ini, kreatifitas dan kemampuan guru untuk berimprovisasi sangat diuji.

Terhadap para pejabat di dinas-dinas pendidikan, kelonggaran tuntutan kurikulum mesti harus bisa diterjemahkan secepatnya. Benar bahwa dalam Surat Edaran (SE) Kemendikbud, tidak ada ketentuan detail menyangkut peran evaluasi dari dinas pendidikan.

Tetapi yang paling penting adalah makna kelonggaran atas tuntutan kurikulum, secara implisit menuju pada semua pelaku pendidikan. Jika proses pembelajaran difleksibelkan, maka tanggung jawab evaluasi dinas pendidikan juga mesti bertolak dari kelonggaran atas tuntutan pencapaian pembelajaran dalam kurikulum.

Karenanya, menanggapi edaran Kemendikbud, dinas-dinas pendidikan perlu melakukan penyesuaian administasi evaluasi dan pemantauan pendidikan. Ketentuan Belajar dari Rumah perlu dimaknai dan dterjemahkan sefleksibel mungkin ke dalam tata aturan administasi kedinasan.

Para pemilik yayasan atau sekolah swasta, juga diharapkan untuk memahami dan menghormati ketentuan proses belajar Kemendikbud ini. Agar peserta didik dan para guru tidak dibebani secara berlebihan di tengah situasi sulit.

Secara ringkas, pesan implisit itu ialah mengenai kelonggaran atas standar pencapaian belajar, kebebasan belajar bagi peserta didik, kebermaknaan belajar, dan pemusatan materi belajar pada kehidupan peserta didik.

Bagi siswa, kebermaknaan belajar sangatlah berpengaruh terhadap iklim belajar, semangat, dan gairahnya. Saatnya mereka diperkenalkan dengan konten materi pembelajaran yang bermakna. Bermakna berarti mereka memahami apa manfaat, tujuan dan keuntungan dari hal yang dipelajari.

Menyangkut kebermaknaan belajar, Arthur Combs, seorang penganut teori belajar humanis memandang bahwa, apa yang dipelajari haruslah memiliki makna bagi yang belajar, dan jika tidak, tidak dapat dikatakan sebagai belajar (Suprihatiningrum: 2013).

Barangkali slogan Merdeka Belajar Menteri Nadiem benar-benar terwujud manakala ada praktik pembelajaran yang bebas dan bermakna bagi peserta didik.*

*)Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Jurusan Manajemen Pendidikan di UKI Jakarta

 

 

Artikel Terkait