Nasional

Pelajaran dari Kasus Staf Khusus, Perlu UU Kepresidenan

Oleh : luska - Minggu, 26/04/2020 09:01 WIB

Presiden I-Otda Prof. Dr. Djohermansyah Djohan M.A

Jakarta, INDONEWS.ID - Pengunduran diri dua orang Staf Khusus milenial Presiden Joko Widodo di tengah mengganasnya pandemi COVID-19 mendapat sorotan publik. Andi Taufan Garuda Putra mohon mundur pada 17 April 2020, sebelumnya Bos Ruang Guru, Belva Devara usulkan undur diri pada 15 April 2020. Keduanya menjadi perbincangan publik lantaran Andi Taufan Garuda menyurati seluruh camat se-Indonesia dengan merekomendasikan perusahaan miliknya, PT. Amartha Mikro Fintek, terjun berpartisipasi untuk menjalankan program relawan di desa-desa. Sedangkan Belva Delvara ditengarai juga memiliki konflik kepentingan, terkait dugaan perusahaannya mendapat cipratan proyek pelatihan kartu prakerja dari APBN.

Mencermati polemik yang berkembang, Guru Besar IPDN, Prof. Dr. H. Djohermansyah Djohan, M.A atau yang akrab disapa Prof Djo mengaku tidak kaget dengan timbulnya persoalan.

“Saya sudah mengira akan terjadi serupa ini sejak perekrutan November 2019 lalu. Dari 13 orang yang direkrut menjadi staf khusus, ada 7 atau lebih separuh yang berasal dari kaum milenial. Mereka sukses dalam bisnis start up. Presiden beri atensi dengan mengajak mereka bekerja di istana yang merupakan pusat penggodogan kebijakan pemerintahan negara. Tapi, "pemerintahan itu bukan laboratorium percobaan.” Ungkap Pakar Otda ini saat dihubungi melalui media daring (25/4).

Mantan Pj Gubernur Riau (2013-2014) tersebut menjelaskan lebih lanjut bahwa pengangkatan menjadi staf khusus jangan ujug-ujug karena hebat bangun perusahaan, “Apalagi syaratnya longgar, tidak perlu mundur dari perusahaan. Ini yang riskan.”

Bahayanya rangkap jabatan dalam mengelola pemerintahan, menurut Presiden i-OTDA ini dapat menimbulkan conflict of interest, “stafsus melenial ini tidak berpengalaman dalam pemerintahan, artinya jabatan publik dipegang oleh orang yang buta pemerintahan. Maka kebijakan ini berpotensi melahirkan penyimpangan administrasi pemerintahan. Bahkan, penyalahgunaan jabatan. Semua itu jauh dari semangat good governance dan asas-asas umum pemerintahan yang baik.”

Prof Djo merasa prihatin karena menurutnya staf khusus itu merupakan jabatan setara eselon I. “Kesannya hanya untuk coba-coba. Sementara mereka yang bekerja di dunia PNS “berdarah-darah” untuk mendapatkan posisi setinggi itu lewat sekolah dan latihan, serta kerja keras puluhan tahun. Itupun sedikit yang bisa sampai ke sana. Mereka tidak boleh pula rangkap jabatan. Sekjen, Dirjen, atau Irjen sekalipun harus melepas jabatan strukturalnya bila mau jadi pejabat fungsional.”

Mantan Dirjen Otda Kemendagri (2010-2014) ini lantas menawarkan kita perlu menerbitkan Undang-Undang Kepresidenan yang mengatur lengkap the presidential power. “Ini elaborasi dari pasal 10 UUD 1945, dan relasi power presiden secara internal dengan menteri/kepala lembaga, dan dengan kepala daerah, di mana Undang-Undang Kementerian Negara sebaiknya disatukan ke dalamnya. Jadi pemerintahan bukan laboratorium percobaan, dia ladang pengabdian yang mesti dipatenkan pakemnya.” Pungkas Prof Djo yang pernah turut dalam tim penyusunan UU bidang Politik pada awal reformasi, UU Pemerintahan Daerah, UU DKI Jakarta, UU DI. Yogyakarta, dan UU Pemerintahan Aceh serta hingga kini masih bergabung dengan tim penyusunan revisi undang-undang terkait pemerintahan daerah. (Lka)

Artikel Terkait