Nasional

Anatomi 29 Menkeu-16 Gubernur BI vs 75 Tahun Rupiah Terpuruk

Oleh : Rikard Djegadut - Selasa, 12/05/2020 19:27 WIB

Christianto Wibisono atau Oey Kian Kok adalah seorang analis bisnis terkemuka di Indonesia. Ia adalah pendiri Pusat Data Bisnis Indonesia 1980.

Jakarta, INDONEWS.ID - Elite Indonesia sedang berdebat dan berpolemik hebat tentang mazhab cetak uang vs jual pandemic bond. Namun, polemik ini menjadi kian menarik bila mengamati pelbagai kebijakan para pejabat terdahulu sebagai referensi pengambil kebijakan.

Pendiri Pusat Data Bisnis Indonesia selaku analis bisnis terkemuka di Indonesia, Christianto Wibisono atau Oey Kian Kok mengatakan di tengah perdebatan itu, PDBI tidak tinggal diam. Lembaganya melakukan trace sejarah terkait permasalahan ini di antaranya 7 presiden, 10 PM, 29 Menkeu dan 16 Gubernur Bank Indonesia dalam sejarah perjalanan bangsa ini.

"Semua loyo karena kita tidak pernah memerangi ICOR 6,4. Dibandingkan dengan negara-negara tetangga se-ASEAN, Indonesia paling tidak efisien. Kalau anda tidak efisien pasti tidak kompetitive, tidak bisa ekspor dan tidak punya surplus. Akibatnya rupiah impoten," ungkap Christian dalam keterangan kepada INDONEWS.ID Selasa (5/2020).

Incremental Capital Output Ratio (ICOR) sendiri adalah suatu besaran yang menunjukkan besarnya tambahan kapital (investasi) baru yang dibutuhkan untuk menaikkan/menambah satu unit output. ICOR yang tinggi menujukkan tingkat efisiensi yang masih rendah.

Sejak 2016 hingga 2018 rasio ICOR Indonesia masih bertengger di level 6,3. Sementara di tahun 2011-2015, ICOR Indonesia sempat memburuk dari 5,02 menjadi 6,64.

Christian lantas menguraikan sejarah kebijakan para elite dari berbagai partai politik, ideologi dan personalitas yang berupaya mengeluarkan ICOR kompetitive dalam global marketplace, namun tidak bisa.

"Sanering atau devaluasi adalah pemotongan daya beli masyarakat melalui pemotongan nilai uang. Hal yang sama tidak dilakukan pada harga-harga barang, sehingga daya beli masyarakat menurun rendah," lanjut Christian.

Pada masa kepemimpinan Presiden Soekarno, Indonesia telah melakukan tiga(3) kali Sanearing atau devaluasi. Pertama, terjadi pada (10/3/1950) saat menteri keuangan pertama dijabat Mr Syafrudin Prawiranegara (Masyumi) Kabinet RIS. Sementara gubernur Bank Indonesia saat itu dijabat Drs. A Houwink, yang merupakan Gub terakhir de Javasche Bank1949-1951.

"Sanering kedua terjadi pada (24/8/1959) di era Menteri Keuangan Menkeu Djuanda np Mmkeu Notohamiprojo Rp 1000/500 jadi 100/50. Sementara Gub BI Lukman Hakim mundur prote sanering gajah 1000 macan 500 dihapus nolnya," tutur Christian.

Ketiga, pada (13/11/1965) Menko Keuangan Sumarno, sanering Rp 1.000 jadi Rp 1>BK lengser 1966 Gubernur BI. Sementara Gubernur BI Jusuf Muda, 1 dari 15 menteri yang ditahan oleh Supersemar pada (18/3/966).

 

Analis yang mengawali kariernya menjadi penulis di berbagai suratkabar ini menegaskan bahwa ada beberapa partai yang menjadi penyebab gagal mempertahankan nilai Rupiah.

"Menkeu Syafrudin (Masyumi) gunting uang pada Maret 1950,lalu PM Menkeu Djuanda dan Menmudkeu non-partai tehnokrat profesional Notohamiprojo pada 24 Agustus 1959 sanering Rp 10.000 & Rp.5000 jadi Rp 100 dan Rp 50," Christian mengisahkan. 

Pada 24 Agustus 1959, tutur Christian, Gubernur BI ke-2 Lukman Hakim dari PNI protes tidak dilibatkan, lalu Menkeu Sumarno dan Gub BI Jusuf Muda Dalam sanering 13 Nov 1965 yakni Rp1.000 diganti Rp1 uang baru, maka Bung Karno exit diganti Soeharto.

Perang Turunkan ICOR dari 6,4 ke 3,2

Christian menyebut korupsi dan high cost of socialpolitical bureaucratic rent di Indonesia adalah penyebab Indonesia tidak bisa menurunkan ICOR lantaran paling membebani ekonomi. Saat ini, ICOR Indonesia bertengger di angka 6,4, angkan ini paling tidak efesian dibandingkan negara-negara di ASEAN.

"Angka ICOR 6,4 paling tidak efisien se ASEAN, tidak bisa berdaya, saing ekspor global tidak bisa surplus devisa otomatis nilai rupiah impoten. Hukum besi ekonomi MV-PT berlaku. Kalau anda tidak produksi ya tidak mungkin anda ekspor dan daya surplus," tambah Christian. 

Kehadiran Omnibus Law, lanjut Christian, mampu menurunkan ICOR 6,4 dengan high cost low efficient menjadi 3,2. Ini Menjadi misi besar bangsa untuk diraih.

"Kalau elite hanya polemik saling menjatuhkan pakai teori mazhab padahal 75 tahun politisi (dan) tehnokrat kita dari ideologi kiri atau kanan semuana hanya bisa menyerah dengan gunting uang, sanering dan serial devaluasi ya itulah yang harus dipelajari kenapa nilai tukar Singapore dollar yang tahun 1950 = rupiah sekarang 10.000 x," imbuh Christian. 

Omnibus Law Turunkan ICOR 6,4

Lebih lanjut Christian mengungkapkan, prioritas yang diperlukan bangsa Indonesia paralel dengan belajar hidup damai atau bersama dengan Covid-19 di antaranya. Perang lawan ICOR 6,4, Stop Polemik Teori Quasi Mashab.

"Sejarah membuktikan, 7 Presiden, 10 PM, 29 Menkeu, 16 Gubernur BI semua tidak berdaya mempertahankan rupiah karena ICOR 6,4 paling tidak efisien. Jadi, our core problem is our ICOR, Stupid," pungkas Christian.*(Rikardo).

Artikel Terkait