Opini

Kenaikan Iuran BPJS: Mengisi Air Ke Kapal Bocor Di Tengah Badai

Oleh : Mancik - Jum'at, 15/05/2020 05:39 WIB

Pengamat Sosial, Rudi S Kamri (Foto: Istimewa)

Oleh:Rudi S Kamri*)

Presiden Jokowi pada 5 Mei 2020 menandatangani beleid baru tentang kenaikan iuran BPJS melalui Perpres nomor 64 tahun 2020 yang akan berlaku mulai 1 Juli 2020.

Rincian kenaikan iuran sesuai dalam Perpres sebagai berikut:


1. Kelas I dari Rp 80.000 jadi Rp 150.000
2. Kelas II dari Rp 51.000 jadi Rp 100.000
3. Kelas III dari Rp 25.500 jadi Rp 35.000
(Berlaku 1 Januari 2021).

Kalau dilihat dari manfaat yang diterima masyarakat terhadap BPJS sebetulnya secara obyektif kenaikan iuran tersebut tidak terlalu besar. Di sisi lain saya juga mengakui manfaat BPJS kepada masyarakat yang membutuhkan.

Lalu kenapa saya tidak setuju dengan kebijakan itu? Berikut pertimbangan saya:

PERTAMA:

Dalam kondisi darurat pandemi Covid-19 seluruh masyarakat Indonesia sedang dicekam kekhawatiran terpapar virus corona dan dampak sosial ekonomi yang terjadi dimana hampir seluruh level sosial masyarakat terpuruk, kebijakan Pemerintah untuk menaikkan iuran BPJS sudah pasti menimbulkan gelombang resistensi dari sebagian besar masyarakat.

Pemerintah pasti dianggap tidak punya empati. Dus artinya secara psikologis kebijakan itu tidak tepat waktu.

KEDUA:

Seperti kita ketahui bahwa Pemerintah pernah ada upaya untuk menaikkan iuran BPJS melalui Perpres nomor 75 tahun 2019. Namun karena uji materi (judicial review) yang dilakukan oleh Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI), kebijakan kenaikan iuran tersebut telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA) melalui putusan MA Nomor 7/P/HUM/2020.

Perpres terbaru nomor 64 tahun 2020 tentang kenaikan iuran BPJS jilid 2 ini sudah pasti akan menuai gugatan uji materi lagi. Prediksi saya Perpres tersebut berpotensi untuk dibatalkan kembali oleh MA, karena MA sudah punya jurisprudensi dari keputusan MA terdahulu.

Kalau hal Ini terjadi, dimana dua kali Perpres dengan obyek yang sama dibatalkan, maka yang muncul kesan di publik maupun secara politis adalah kewibawaan Pemerintah cq Presiden seolah terdegradasi. Hal ini yang saya khawatirkan.

KETIGA:

Kenaikan iuran BPJS tidak menjamin keuangan BPJS akan sehat atau membaik. Berdasarkan pengalaman sebelumnya beberapa kali Pemerintah telah menginjeksi dana trilyunan rupiah untuk BPJS ternyata neraca keuangan BPJS tetap berdarah-darah.

Di sini saya melihat adalah ketidakmampuan dari manajemen khususnya direksi BPJS dalam melakukan tata kelola program Jaminan Kesehatan Nasional.

Menaikkan iuran BPJS saat ini seperti menuang air ke kapal bocor karena kesalahan dan ketidakmampuan nakhoda dalam mengemudikan kapal. Seharusnya prioritas utama yang harus dilakukan Pemerintah saat ini adalah melakukan audit forensik menyeluruh terhadap tata kelola BPJS kemudian memperbaikinya dan mengganti nakhoda BPJS.

Karena saat ini tercium kuat aroma inefisiensi pengelolaan BPJS. Kalau tata kelola dan pelayanan BPJS sudah efisien dan sudah mendapat kesan baik pula dari masyarakat kenaikan iuran BPJS tidak ada masalah.

Itulah ketiga alasan mengapa saya tidak setuju dengan kebijakan Presiden Jokowi untuk menaikkan iuran BPJS saat ini. Bukan berarti saya tidak tahu kondisi keuangan Pemerintah atau BPJS.

Namun harus ada strategi dan cara yang lebih cerdas agar rencana kenaikan iuran BPJS itu dapat diterima oleh seluruh pemangku kepentingan dan masyarakat. Di sisi ini saya menyayangkan lemahnya strategi komunikasi publik dari para pembantu Presiden.

Mereka terlihat kurang persuasif dan tampak sengaja memposisikan Presiden sebagai sasaran tembak.

Saran saya, evaluasi kenaikan iuran BPJS dengan terlebih dahulu membenahi sistem tata kelola BPJS. Dan yang lebih penting direksi BPJS sekarang yang sudah terbukti gagal menakhodai kapal BPJS, mengapa mesti dipertahankan?

Siapa tahu dengan penggantian direksi yang lebih kualified dan perbaikan tata kelola manajemen BPJS, tidak perlu ada kenaikan iuran?

Salam SATU Indonesia
15052020

*)Penulis adalah Pengamat sosial dan tinggal di Jakarta.

Artikel Terkait